KEMENTERIAN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

Alternatif Pengendalian Penggerek Batang Merah untuk Tanaman Budi Daya Organik

Diposting     Selasa, 19 September 2023 03:09 pm    Oleh    perlindungan



Salah satu kegiatan yang dilaksanakan oleh Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Perkebunan pada TA 2023 adalah Pengembangan Desa Pertanian Organik Berbasis Komoditas Perkebunan. Kegiatan ini bertujuan untuk menerapkan kegiatan budi daya perkebunan yang ramah lingkungan dengan pola pemenuhan input usaha tani secara mandiri, sehingga menghasilkan komoditas perkebunan yang berkualitas dan aman dikonsumsi oleh masyarakat. Salah satu kelompok tani (KT) binaan kegiatan Desa Pertanian Organik Berbasis Komoditas Perkebunan di provinsi NTB adalah KT. Sebak Lestari yang berlokasi di Kabupaten Lombok Utara. Kelompok ini membudidayakan kopi robusta pada lahan seluas 12,3 Ha.

Ketua kelompok tani Sebak Lestari, Dewa Made Suardana menyampaikan panen kopi biasanya berlangsung pada bulan Agustus-September dengan jumlah produksi mencapai 2350 Kg kopi dalam bentuk cherry. Pak Dewa Made Suardana juga menyampaikan terkadang produksi kopi menurun, salah satunya disebabkan karena adanya serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT), yaitu Penggerek Batang Merah (Zeuzera coffeae Nietner). Disebut demikian, karena warna tubuh serangga ini pada stadia larva berwarna merah cerah hingga ungu dengan panjang tubuh berkisar 3-5 cm dan stadium 81-151 hari (Harni, dkk, 2018).

Penggerek Batang Merah merupakan serangga yang berasal dari famili Lepidoptera (Kupu-Kupu dan Ngengat). Serangga ini dianggap sebagai hama mayor pada komoditas kopi dan teh (Roychoudhury & Mishra, 2022) serta hama minor pada komoditas kakao. Namun, jika tidak ditangani secara tepat, serangga ini berpotensi menjadi hama mayor (Aini & Sulistyowati, 2016). Larva serangga ini umumnya menyerang kopi pada bagian batang dengan cara membuat lubang gerekan. Terkadang Penggerek Batang Merah juga ditemukan menyerang bagian cabang atau ranting pada tanaman kopi.

Gerekan larva dimulai dari kulit kayu batang bagian atas, kemudian bergerak ke bagian kambium hingga ke bagian xylem secara vertikal atau melingkar. Panjang gerekan dapat mencapai hingga 50 cm dengan diameter gerekan berkisar 1-1,2 cm. Gerekan yang terbentuk pada batang kopi menyebabkan batang menjadi rapuh, kering, hingga mati karena proses pengangkutan air dan zat hara tanaman dari tanah terganggu (Harni, dkk, 2018).

Gambar 1. (a) Larva Zeuzera coffeae (b) Bekas lubang gerekan Zeuzera coffeae
Sumber: Aini & Sulistyowati, 2016

Direktorat Jenderal Perkebunan menghimpun data serangan Penggerek Batang Merah pada komoditas kopi di provinsi NTB pada triwulan I tahun 2023 seperti yang terlihat pada gambar 2. Data yang dihimpun merupakan data yang diperoleh dari laporan serangan OPT melalui aplikasi Sipereda OPT. Warna yang terlihat pada peta merupakan pengkategorian berdasarkan data luas serangan Penggerek Batang Merah yang dilaporkan terjadi pada tahun triwulan I tahun 2023. Terdapat empat warna sebagai kategori, yaitu hijau, kuning, jingga, dan merah. Warna hijau menunjukkan bahwa tidak ada laporan serangan OPT di wilayah tersebut. Warna kuning, jingga, dan merah berturut-turut menunjukkan telah terjadi serangan OPT dengan intensitas ringan, sedang, dan berat pada wilayah tersebut.

Gambar 2. Peta Serangan Penggerek Batang Merah di Provinsi NTB pada Triwulan I tahun 2023

Serangan dengan intensitas sedang terjadi pada dua kabupaten, yaitu Lombok Utara dan Lombok Tengah. Sebagai antisipasi, perlu dilakukan pengendalian OPT agar luas serangan yang ditimbulkan tidak meluas. Sedangkan serangan dengan intensitas berat terjadi pada tiga kabupaten, yaitu Lombok Barat, Lombok Timur, dan Dompu. Menilik hal tersebut, dinas yang membidangi perkebunan di provinsi NTB perlu memberi perhatian khusus terhadap ketiga kabupaten tersebut dan segera melakukan upaya pengendalian terhadap serangan Penggerek Batang Merah secara intensif guna mencegah perkembangan populasi dan menyebar hingga ke kabupaten sekitar.

Pengendalian menggunakan insektisida kimia sintetis memang tergolong efektif yang mampu mengendalikan hingga 90% populasi. Namun, hal tersebut hanya dapat dilakukan sebagai alternatif terakhir dan pada waktu yang tepat (Harni, dkk, 2018). Akan tetapi pada pertanaman kopi yang dibudidayakan dengan sistem pertanian organik, penggunaan bahan kimia sintetis untuk pemupukan maupun pengendalian OPT dilarang penggunaannya sesuai SNI 6729:2016 tentang sistem pertanian organik. Oleh karena itu upaya pengendalian hama Penggerek Batang Merah pada pertanaman kopi organik sebagai berikut:

  • Pengendalian secara fisik
    Memangkas/memotong dan memusnahkan bagian tanaman yang telah terserang, sehingga seluruh stadia serangga yang masih ada di dalamnya mati.
  • Pengendalian secara mekanis
    Menggunakan alat perangkap dengan cahaya lampu (light trap) yang digunakan pada malam hari sebab serangga dewasa (imago) Penggerek Batang Merah tertarik pada cahaya lampu dan aktif pada malam hari.
  • Pengendalian secara kultur teknis
    Melakukan pemeliharaan tanaman kopi dengan menerapkan Good Agricultural Practices (GAP) sebagai upaya menjaga kesehatan tanaman.

Selain melakukan upaya pengendalian OPT, upaya pencegahan juga perlu dilakukan untuk meminimalisasi peluang terjadinya serangan OPT. Salah satu upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan sanitasi kebun. Sanitasi kebun dapat dilakukan dengan cara membersihkan/mengeliminasi bagian atau sisa-sisa tanaman yang memungkinkan menjadi tempat persembunyian hama atau sumber penularan penyakit pada tanaman di kebun.

Penulis: Reno Agassi dan Eva Lizarmi

DAFTAR REFERENSI

Aini, F. N & Endang, S. 2016. Mewaspadai Hama Minor pada Kakao: Zeuzera coffeae Nietner. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia 28(2): 24—29. https://adoc.pub/mewaspadai-hama-minor-pada-kakao-zeuzera-coffeae-nietner-pus.html.

Badan Standardisasi Nasional. 2016. Sistem Pertanian Organik SNI 6729:2016. Jakarta: iv+48 hlm.

Harni, R., Samsudin., Widi, A., Gusti, I., Funny, S., Khaerati., Eti, T., Abdul, M. H & Arlia, D. H. 2018. Teknologi Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Kopi. IAARD Press. Jakarta: viii+50 hlm. ISBN 978-602-344-133-4. Roychoudhury, N & Rajesh, K. M. 2022. Coffee Borer, Zeuzera coffeae: Its Pest Profile and Use as Tribal Food. Van Sangyan by Tropical Forest Research Institute 9(1): 24—26. ISSN: 2395 – 468X. https://tfri.icfre.gov.in/VanSangyan/January_2022_issue.pdf.


Bagikan Artikel Ini  

Peningkatan Kapabilitas Penanganan OPT Tanaman Kopi

Diposting     Senin, 06 Februari 2023 01:02 pm    Oleh    perlindungan



Kopi merupakan komoditas perkebunan Indonesia dengan peluang ekspor tertinggi. Kopi adalah tanaman tahunan yang dapat mencapai usia poduktif hingga 20 tahun. Kopi merupakan komonditas tanaman perkebunan yang paling banyak di perdagangkan, jadi tak heran jika kopi banyak ditanam atau dibudidayakan. Pusat budidaya kopi ini terdapat di Amerika latin, Asia-Pasifik, Amerika tengah dan juga Afrika. Sedangkan untuk konsumen kopi terbesar berada di negara-negara di benua Eropa dan juga Amerika utara. Ada 3 (tiga) jenis varietas utama tanaman kopi yang banyak digunakan yaitu kopi arabika (Coffea arabica), kopi robusta (Coffea robusta) dan kopi liberika. Jika dilihat dari data BPS tahun 2021 serta data dari Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian tahun 2021, Indonesia telah melakukan ekspor biji kering/primer sebesar 98,01%. Sedangkan perkembangan nilai ekspor kopi enam tahun terakhir cenderung berfluktuatif, berkisar antara 31% s.d 18% sehingga menjadikan Indonesia peringkat 4 negara produsen biji kopi di dunia setelah Brazil, Vietnam dan Kolombia. Pada tahun 2020 luas areal perkebunan kopi Indonesia seluas 1,25 juta ha, didominasi oleh Perkebunan Rakyat dengan rata-rata kontribusi sebesar 98,14% sementara Perkebunan Besar sebesar 1,86%. Estimasi produksi kopi tahun 2022 sebesar 793 ribu ton dan produktivitas sebesar 832 kg/ha.

Untuk merealisasikan estimasi produksi dan produktivitas kopi Indonesia, salah satunya peran Direktorat Perlindungan Perkebunan adalah melakukan pengendalian Organisme Penganggu Tumbuhan (OPT). Serangan OPT jika tidak dilakukan penanganan yang benar dan tepat dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis baik kualitas maupun kuantitas. Gangguan OPT pada tanaman kopi tidak hanya pada tanaman dewasa di lapang tetapi juga di pembibitan, kebun entres, dan penyimpanan. OPT utama tanaman kopi di Indonesaia antara lain penggerek buah kopi (Hypothenemus hampei), penggerek batang merah (Zeuzera coffeae), penggerek cabang dan ranting (Xylosandrus sp.), kutu hijau (Coccus viridis), penyakit karat daun (Hemileia vastatrix), dan Nematoda (Pratylenchus coffeae).

OPT  yang menyerang tanaman kopi merupakan faktor pembatas produksi yang sangat penting sehingga perlu mendapatkan perhatian dan pengelolaan yang serius melalui penerapan taktik dan strategi yang tepat sehingga kerugian yang ditimbulkan dapat ditekan menjadi sekecil mungkin. Adanya penurunan volume ekspor tersebut menjadi pemacu Direktorat Perlindungan Perkebunan untuk mendorong kembali peningkatan ekspornya. Salah satu caranya adalah dengan mengadakan Peningkatan Kapabilitas Penanganan OPT Tanaman Kopi kepada petugas perlindungan perkebunan dan petani. Sasaran kegiatan ini adalah untuk meningkatnya pengetahuan dan keterampilan petugas perlindungan perkebunan tentang penanganan OPT tanaman kopi.

Peningkatan Kapabilitas Penanganan OPT Tanaman Kopi diselenggarakan selama 4 hari mulai tanggal 31 Januari sampai dengan 3 Februari 2023 di Hotel The Wujil Ungaran Jawa Tengah. Kegiatan Peningkatan Kapabilitas Penanganan OPT Tanaman Kopi menghadirkan narasumber dari Pusat Penelitian Tanaman Kopi dan Kakao Indonesia dan diikuti 26 peserta yang berasal dari perwakilan Direktorat Perlindungan Perkebunan, Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya, Dinas Pertanian dan Perkebunan Jawa Tengah, serta petani dari Kelompok Tani Ngundi Makamur X Desa Genting, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Gambar 1. Pembukaan dan Arahan Direktur Perlindungan Perkebunan
Gambar 2. Narasumber dan Peserta Kegiatan

Kegiatan Peningkatan Kapabilitas Penanganan OPT Tanaman Kopi di buka oleh Direktur Perlindungan Perkebunan Ir. Hendratmojo Bagus Hudoro, M.Sc, dalam arahannya Direktur Perlindungan Perkebunan berpesan kepada peserta agar kegiatan ini bisa dimanfaatkan sebaik mungkin, dan hal-hal yang belum diketahui peserta agar ditanyakan kepada narasumber tentang informasi terupdate dalam penanganan OPT kopi, selain itu dampak pengaruh perubahan iklim terhadap perkembangan OPT terutama hama penggerek buah kopi (Hypotenemus hampei). Dalam rangka mendukung peningkatan produktivitas komoditas kopi di Indonesia Direktorat Perlindungan Perkebunan mempunyai fungsi untuk melakukan pembinaan, bimbingan, dan pendampingan kepada pekebun dalam menerapkan teknologi perlindungan perkebunan, pengamatan dan pengendalian OPT.

Beberapa materi yan disampaikan pada kegiatan peningkatan kapabilitas penanganan OPT tanaman kopi tahun 2023 antara lain :

  1. Budidaya Kopi yang Baik
  2. Pengenalan OPT Kopi (Pembibitan, Akar, Batang, dan Buah)
  3. Pengamatan Serangan OPT Kopi
  4. Taksasi Produksi (pembibitan dan Produktivitas)
  5. Pengendalian OPT Kopi
  6. Penggunaan Pestisida dalam Penerapan GAP Kopi
Gambar 3. Pemaparan Narasumber , Rais Widiyanto, Gracia M. A dan Ari Wibowo

Selain materi yang disampaikan oleh para narasumber, kegiatan Peningkatan Kapabilitas Penanganan OPT Tanaman Kopi juga dilakukan kunjungan praktik di Desa Genting, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Selain peserta kegiatan hadir juga Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Jawa Tengah yang diwakili Bidang Pasca Panen dan Pengolahan. Dalam rangka mendukung pengembangan komoditas kopi di Jawa Tengah, Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Jawa Tengah senantiasa melakukan pembinaan, pendampingan dan fasilitasi guna mendorong kemajuan usaha kelompok tani kopi. Salah satu kelompok tani kopi yang memiliki perkembangan yang baik adalah Kelompok Tani Ngudi Makmur X di Dusun Tompak, Desa Genting, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang. Kelompok tani ini terbentuk sejak tahun 2018 dan diketuai oleh Bapak Antep Rosit (Simon). Produk yang sudah dihasilkan yaitu Kopi Gayeng dan POC Super 38.

Gambar 4. Diskusi Bersama Kelompok Tani

Adapun praktik yang telah dilakukan peserta kegiatan antara lain:

  1. Praktik pengamatan OPT
  2. Praktik pemasangan perangkap
  3. Praktik aplikasi Agens Pengendali Hayati (APH)
  4. Praktik pengenalan OPT
  5. Praktik okulasi/grafting
Gambar 5. Praktik Pemasangan Perangkap PBKo
Gambar 6. Praktik Pengamatan PBKo

Melalui penyelenggaraan peningkatan kapabilitas penanganan OPT tanaman kopi yang sudah dilakukan oleh peserta terutama petugas perlindungan perkebunan akan menambah keterampilan dalam membimbing petani untuk melakukan identifikasi, pengamatan, dan pengendalian OPT kopi.

Gambar 7. Kunjungan Lapangan di Kebun Kopi Desa Genting, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah

Penulis: Bibit Bakoh dan Ratri Wibawanti


Bagikan Artikel Ini  

Penanganan Residu Glifosat dan Parakuat Pada Biji Kopi Ekspor

Diposting     Rabu, 28 Desember 2022 03:12 pm    Oleh    perlindungan



Kopi merupakan salah satu komoditas unggulan perkebunan yang turut memberikan kontribusi cukup besar bagi perekonomian tanah air. Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, kopi Indonesia juga diperdagangkan ke beberapa negara lintas benua antara lain Amerika Serikat, Malaysia, Mesir, Jepang, Jerman, Italia, Inggris, Belgia, Rusia, dan India dengan total volume ekspor pada tahun 2020 mencapai 379.354 ton dan total nilai ekspor sebesar 821.932 US Dollar.

Kopi merupakan salah satu komoditas unggulan perkebunan yang turut memberikan kontribusi cukup besar bagi perekonomian tanah air. Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, kopi Indonesia juga diperdagangkan ke beberapa negara lintas benua antara lain Amerika Serikat, Malaysia, Mesir, Jepang, Jerman, Italia, Inggris, Belgia, Rusia, dan India dengan total volume ekspor pada tahun 2020 mencapai 379.354 ton dan total nilai ekspor sebesar 821.932 US Dollar.

Glifosat merupakan bahan aktif herbisida berspektrum luas untuk gulma daun lebar dan daun sempit yang paling banyak digunakan di seluruh dunia. Bahan aktif ini juga digunakan di hampir semua tanaman budidaya baik perkebunan, tanaman pangan, maupun hortikultura. Aplikasi glifosat yang kurang tepat dapat meninggalkan residu berbahaya. Selain itu, dampak aplikasi glifosat bagi pengguna dapat menyebabkan iritasi mata, kabur penglihatan, kulit terbakar atau gatal, mual, sakit tenggorokan, sesak napas, sakit kepala, mimisan, bahkan kanker jika telah akut. Glifosat juga dilaporkan dapat bersifat toksik terhadap biota aquatik.

Struktur Kimia Glifosat

Glifosat bersifat sistemik, tidak mudah terbakar (non-flammable), dan degradasi residunya berkisar satu bulan pada kondisi normal. Cara kerjanya menghambat enzim 5-enolpiruvil-shikimat-3-fosfat sintase (EPSPS) yang berperan dalam pembentukan asam amino aromatik, sehingga tumbuhan akan mati karena kekurangan asam amino.

Sementara itu, parakuat yang sering disebut parakuat diklorida bersifat relatif stabil pada suhu, tekanan, dan pH normal, serta mudah larut dalam air sehingga berpotensi mencemari biota akuatik. Parakuat diklasifikasikan oleh World Health Organization (WHO) sebagai bahan aktif Kelas II (Moderately hazardous technical grade active ingredients in pesticides). Namun, sejak terjadi kasus terpaparnya sebagian penduduk Burkina Faso pada tahun 1996-2010, parakuat diusulkan sebagai bahan aktif dengan kategori Severely Hazardous Pesticide Formulation (pestisida yang dapat menimbulkan efek akut terhadap kesehatan dan atau lingkungan dalam periode singkat setelah paparan tunggal atau berulang) meskipun belum disepakati hingga kini. Di Indonesia, parakuat digolongkan ke dalam pestisida terbatas sesuai Peraturan Menteri Pertanian No 39 Tahun 2015

Struktur Kimia Parakuat

Mirip dengan glifosat, paparan parakuat dapat mengakibatkan gatal, kesemutan, kulit terbakar, luka pada kulit, demam, pusing, nyeri pada tulang, kehilangan kesadaran, sesak nafas, batuk, masalah penglihatan, sakit mata, telinga berdengung, sakit perut, mual, dan muntah. Parakuat merupakan herbisida kontak yang aktif pada bagian tanaman berwarna hijau, daya kerjanya cepat, keberadaannya di dalam tanah dapat menghambat pertumbuhan mikroba tanah, serta menimbulkan residu di dalam tanah dalam waktu cukup lama.

Cemaran residu glifosat dan parakuat pada biji kopi seringkali disebabkan karena para pelaku budidaya masih menganggap bahwa herbisida merupakan alternatif pengendalian gulma yang dianggap praktis dan efektif dan cenderung mudah didapatkan di pasaran. Di sisi lain, hanya sebagian kecil dari pelaku budidaya yang menerapkan Good Agricultural Practice (GAP) dan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) di kebunnya.

Notifikasi produk ekspor perkebunan akibat cemaran residu glifosat dan parakuat dapat ditekan melalui beberapa tindakan sebagai berikut :

  • Penggunaan reduktan nabati/hayati;
  • Hindari aplikasi herbisida menjelang panen (setidaknya satu bulan sebelumnya pada kondisi normal);
  • Penerapan Good Agricultural Practice, Penerapan Pengelolaan Hama Terpadu (PPHT), atau Pertanian Oganik;
  • Pelatihan dan pendampingan budidaya dan pascapanen oleh petugas dan stake holder terkait;
  • Sosialisasi persyaratan produk ekspor dan Sanitary Phyto Sanitary (SPS) kepada petani oleh petugas dan calon eksportir;
  • Pensyaratan mutu produk oleh eksportir kepada petani dengan jaminan harga produk lebih tinggi;
  • Hindari pencampuran produk bermutu baik dengan produk bermutu rendah
  • Pengujian kadar residu oleh laboratorium terakreditasi sebelum produk diekspor ke negara tujuan
  • Pensyaratan perusahaan eksportir terakreditasi dan memenuhi standar internasional
  • Perketat regulasi/peraturan ekspor-impor.

Penulis : Romauli Siagian


Bagikan Artikel Ini  

Pengendalian OPT Kopi dengan Pestisida Nabati di Kabupaten Kepahiang Provinsi Bengkulu

Diposting     Senin, 31 Oktober 2022 10:10 am    Oleh    perlindungan



Serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) pada tanaman perkebunan, khususnya tanaman kopi selain menurunkan produksi, juga dapat menurunkan kualitas sehingga mempengaruhi harga produk. Hal tersebut akan berdampak pada menurunnya pendapatan petani sehinga mengakibatkan kerugian petani yang cukup besar. Penggunan pestisida kimia saat ini sebisa mungkin dihindari sehingga petani dan pelaku usaha tani kopi menggunakan metode yang lebih ramah lingkungan, salah satunya yaitu dengan aplikasi Pestisida Hayati dan Pestisida Nabati (Pesnab).

Gambar 1. Kegiatan Pengendalian OPT Kopi dengan Pesnab di Kec. Tebat Karai Kab. Kepahiang

Salah satu serangan OPT utama penyebab kehilangan hasil perkebunan kopi  yaitu hama Penggerek Buah Kopi Hypothenemus hampei (Ferr.) atau biasa disebut PBKo. Serangga hama ini termasuk ke dalam ordo Coleoptera, dengan morfologi tubuh berwarna hitam kecokelatan dan mengkilap. Hama PBKo menyerang buah kopi yang masih hijau, merah, maupun yang sudah kering hitam. Gejala serangan berupa bekas lubang gerekan pada buah kopi.  Akibat gerekan tersebut biji kopi menjadi berlubang sehingga menurunkan mutu kopi. Kerusakan yang ditimbulkan dapat menurunkan produksi sebesar 10-40%.

Gambar 2. Morfologi Hama PBKo (Hypothenemus hampei (Ferr.))
Gambar 3. Tanda serangan PBKo pada Kopi

Kegiatan pengendalian serangan hama PBKo dengan pestisida nabati  di Kabupaten Kepahiang disertai dengan pemberian bantuan barang berupa pestisida nabati berbahan aktif Azadirachtin dan Eugenol kepada 5 (lima) kelompok tani. Bahan aktif Azadirachtin dapat diekstrak dari daun dan biji mimba (Azadirachta indica A. Juss). Azadirachtin terdiri dari sekitar 17 komponen yang bekerja dengan cara mengganggu hormon eklosi dan juvenile, sehingga proses metamorfosa terganggu dan berpengaruh terhadap reproduksi serangga dewasa.

Total dosis dari aplikasi ke-1 sampai ke-4 pestisida nabati pada tanaman yang terserang hama PBKo adalah sebanyak 20 liter/ha. Interval aplikasi adalah setiap 5 hari sekali, pengamatan dilakukan 5 kali yaitu P0 (pengamatan awal sebelum aplikasi), P1 (pengamatan setelah aplikasi ke-1), P2 (pengamatan setelah aplikasi ke-2), P3 (pengamatan setelah aplikasi ke-3), dan P4 (pengamatan setelah aplikasi ke-4).  Hasil data pengamatan yang diperoleh akan dianalisis untuk mengetahui efektivitas aplikasi fungisida nabati tersebut terhadap hama PBKo.

Berdasarkan hasil diskusi dengan petani dan petugas Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Bengkulu, hasil aplikasi pestisida nabati tersebut tidak langsung terlihat, namun perlahan-lahan tanaman menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik. Hal ini karena kandungan di dalam pestisida nabati selain toksin juga terdapat hormon yang berperan dalam pertumbuhan dan produksi tanaman. Kelompok Tani merasakan manfaat pengendalian OPT dengan pestisida nabati di kebunnya, dan mereka akan tetap melanjutkan pengendalian OPT secara berkelanjutan, sehingga produktivitas tanaman kopi menjadi lebih baik dan kesejahteraan petani meningkat.

Penulis : Annisa Balqis, Andi Asjayani, Rony Novianto

DAFTAR PUSTAKA

Johnson, A. et.al. Draft Guide to Identification of Coffee Berry borer from similar bark beetles in Papua New Guinea. dikutip dari https://www.ambrosiasymbiosis.org/wp-content/uploads/2016/08/Identification_of_CBB_from_similar_beetles_v0p1_.html, diakses pada 7 Oktober 2022.

Anonim. Pengendalian PBKo Pada Tanaman Kopi Secara Alami. dikutip dari
https://tanilink.com/bacaberita/151/pengendalian-pbko-pada-tanaman-kopi-secara-alami/, diakses pada 10 Oktober 2022.

Kurniawati. Pemanfaatan Ekstrak Mimba Sebagai Pestisida Nabati. https://disbun.jatimprov.go.id/web/baca/pemanfaatanekstrakmimbasebagaipestisidanabati.html, diakses pada 10 Oktober 2022.


Bagikan Artikel Ini  

Sosialisasi Penerapan Pengendalian Hama Terpadu Pada Tanaman Kopi di Kabupaten Toba

Diposting     Senin, 05 September 2022 09:09 am    Oleh    perlindungan



Gambar 1. Sosialiasi Kegiatan PPHT di Kabupaten Toba

Dalam era perdagangan bebas, konsumen akan cenderung memilih kopi yang bermutu baik. Secara umum, tuntutan konsumen kopi meliputi tiga hal, yaitu citra rasa dan konsistensinya, kebersihan dan kemurniannya, serta kesehatan dan keamanan bagi konsumen. Oleh karena itu, salah satu upaya untuk meningkatkan peranan kopi sebagai penghasil devisa, adalah dengan meningkatkan produktivitas dan mutu kopi Indonesia. Direktorat Perlindungan Perkebunan cq Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Medan mengalokasikan kegiatan Penerapan Pengendalian Hama Terpadu OPT Kopi di Kabupaten Toba. Salah satu kendala dalam upaya peningkatan mutu dan produktivitas kopi di Kabupaten Toba, Sumatera Utara adalah serangan Organisme Penganggu Tumbuhan (OPT). Menurut Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Toba produktivitas kopi yang ditanam di sekitar Kabupaten Toba yaitu rata-rata kurang dari 1 ton/ha/tahun. Produktivitas kopi yang ditanam di wilayah Kabupaten Toba masih sangat rendah dibawah rata-rata nasional yaitu 1,5 ton/ha/tahun.

Dalam upaya peningkatan mutu dan produktivitas kopi di Kabupaten Toba, kendala utama yang dihadapi adalah adanya serangan OPT. Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi kebun, OPT yang menyerang yaitu PBKo, Karat daun, dan lalat buah. Menurut beberapa petani (peserta) produktivitas maksimal ketika umur tanaman sekitar 4 tahun, dan akan menurun produksi ketika umur tanaman 8-10 tahun. Penurunan produksi dapat diduga karena sebagian petani di Desa Gugur Aek Raja belum menerapkan budidaya tanaman kopi dengan baik, seperti jarak tanam dan belum menggunakan tanaman penaung.

Sosialisasi kegiatan penerapan pengendalian hama terpadu yang dilaksanakan di Desa Gugur Aek Raja, Kecamatan Tampahan, Kabupaten Toba, Sumatera Utara pada tanggal 25 Agustus 2022 akan menjadi jawaban permasalahan OPT pada tanaman kopi selama ini di Desa Aek Raja. Kegiatan penerapan pengendalian hama terpadu diikuti 4 kelompok tani yaitu, kelompok tani Makmur, Patogu, Wanita Mandiri dan Dolok Tolong dengan luasan 50 ha dan jumlah peserta 51 orang. Kegiatan penerapan pengendalian hama terpadu akan dilaksanakan empat kali pertemuan. Adapun materi yang akan diberikan dalam penerapan pengendalian hama terpadu OPT kopi, diantaranya pengenalan OPT tanaman kopi, Pengamatan OPT secara rutin, Pembuatan metabolit sekunder, Pembuatan mikro organisme lokal, dan pembuatan pupuk kompos. Sosialisasi kegiatan penerapan PHT tanaman kopi di hadiri oleh Bupati Kabupaten Toba, Direktur Perlindungan Perkebunan dan Kepala Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Medan. Menurut Direktur Perlindungan Perkebunan Baginda Siagian bahwa  petani kopi  di Desa Gugur Aek Raja jangan terburu-buru menuju pertanian organik, akan tetapi dimulai dengan pengetahuan tentang cara pengendalian hama secara terpadu terlebih dahulu. Sedangkan Bupati Toba Poltak Sitorus menyampaikan dalam kata sambutannya bahwa ilmu pertanian tidak akan pernah cukup, khususnya membuat pupuk kompos mesti lebih hati-hati dan teliti sehingga berhasil dengan baik. Sebagai rangkaian acara, turut diserahkan bantuan peralatan dan bahan pembuatan pupuk dan metabolit sekunder kepada 4 kelompok tani di Desa Gugur Aek Raja.

Gambar 2. Direktur Perlindungan, Bupati Toba dan Kepala BBPPTP Medan melihat langsung serangan OPT tanaman kopi

Penerapan PHT pada tanaman kopi di Desa Gugur Aek Raja perlu ditekankan dan dipraktekkan yaitu berupa penerapan GAP kopi, Pengendalian OPT dengan metabolit sekunder, Pengendalian OPT dengan pestisida nabati. Penerapan pengendalian hama terpadu untuk komoditas kopi di Desa Gugur Aek Raja bertujuan membantu atau mendorong petani untuk menerapkan PHT di kebunnya sehingga dapat dilakukan secara mandiri dan berkelanjutan. Selain itu memberdayakan petani untuk memperbanyak bahan pengendali OPT secara mandiri. Strategi PHT adalah memadukan secara kompatibel semua teknik atau metode pengendalian OPT didasarkan pada asas ekologi dan ekonomi. Menurut Untung (2001), Pengendalian hama terpadu adalah system pengendalian OPT yang merupakan bagian dari system pertanian berkelanjutan yang efektif, ekonomis, aman dan ramah lingkungan. Penerapan PHT di pertanaman kopi dapat dilakukan dengan cara kultur teknis yaitu sanitasi dengan cara petik bubuk dan memungut buah-buah yang terserang ditanah dengan tujuan untuk memutus siklus hidup serangga hama (PBKo) dengan cara meniadakan makanannya. Pengendalian secara biologi dengan menggunakan teknologi metabolit sekunder, dan pengendalian secara mekanis yaitu dengan cara pemasangan dan penggunaan perangkap yang berisi senyawa kairomone (Wiryadiputra, 2008). Sedangkan untuk pengelolaan penyakit karat daun kopi dapat dilakukan dengan penerapan PHT seperti pengaturan jarak tanam, penggunaan klon yang tahan terhadap penyakit karat dan aplikasi metabolit sekunder serta pestisida nabati secara berkala.

Gambar 3. OPT dan Gejala Serangan (a. PBKo, b. Karat Daun, c. larva lalat buah, d. gejala serangan lalat buah kopi) di kebun kopi lokasi kegiatan PPHT

Sosialisasi penerapan pengendalian hama terpadu untuk komoditas kopi perlu dilakukan secara masif dan berkelanjutan serta dapat dilakukan secara menyeluruh di sentral tanaman kopi agar petani kopi dapat memahami dan menerapkan pengendalian hama terpadu secara mandiri.

Penulis : Bibit Bakoh, Ratri Wibawanti, dan Andi Asjayani

Daftar Pustaka

Untung, K. 2001. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Wiryadiputra. 2008. Hypotan Senyawa Penarik Hama Penggerek Buah Kopi dalam Rangka Pengendalian yang Efisien dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jember.


Bagikan Artikel Ini  

Mengenal Penyakit Rebah Batang pada Kopi

Diposting     Senin, 22 Agustus 2022 01:08 pm    Oleh    perlindungan



Rhizoctonia solani adalah patogen tular tanah yang dapat menyebabkan penyakit rebah batang/rebah kecambah/damping off pada benih tanaman kopi. R. solani juga dikenal mengakibatkan penyakit mati ujung pada tanaman kopi. Patogen ini dapat membentuk struktur untuk bertahan dalam tanah disebut dengan sklerotia. Infeksi pada tanaman akan terjadi jika kelembaban tanah relatif tinggi dan didukung oleh cuaca yang lembab. Penyebaran jamur ini dapat terjadi melalui percikan air hujan ataupun tanah yang terinfeksi (Semangun, 2000). R. Solani memiliki inang yang luas diantaranya kopi, jagung dan kacang-kacangan, serta rumput-rumputan sebagai inang alternatif (Hiddink et al., 2005).

Gejala serangan Rhizoctonia sp. menunjukkan gejala matinya ujung batang, cabang atau ranting yang disertai dengan menguning dan gugurnya daun-daun pada bagian yang sakit. Cabang-cabang disekeliling batang berkembang tidak simetris. Daun-daun pada cabang yang pendek berwarna hijau kekuningan suram. Daun pupus pada cabang-cabang tampak suram, berwarna kekuningan, kaku, dan keras (Departemen PTN, 2011).

Gambar 1. Gejala Serangan Rhizoctonia sp. pada Tanaman Kopi.
Sumber : Abidin, 2018.

Pada benih tanaman R. solani menyerang pada fase pratumbuh dan paca tumbuh. Gejala serangan ditandai dengan benih yang mati sebelum berkecambah dan menyebabkan koleoptil dan sistem perakaran berwarna cokelat, tampak basah, dan busuk (Yulianti, dkk., 2004). Serangan dapat juga terjadi pada pasca tumbuh, yaitu pada saat benih tumbuh sebelum gejala serangan berkembang yang mengakibatkan rebah batang, tanaman berwarna kuning, layu, dan mati.

Gambar 2. Gejala Serangan R. solani (a) pra tumbuh dan (b) pasca tumbuh
Sumber: Mustafa, Z., 2011.

Serangan Rhizoctonia sp. pada pangkal batang yang sakit mula-mula terjadi memar, kemudian busuk dan akhirnya mengering sehingga batang tampak berlekuk. Penyakit ini dapat terjadi pada bibit yang masih dalam stadium serdadu, stadium kepel, atau yang sudah berdaun beberapa pasang tetapi batangnya masih lunak. Serangan dalam stadium serdadu dan stadium kepel dapat mematikan bibit, sedangkan pada bibit yang batangnya sudah mengeras hanya dapat menghambat pertumbuhan (Harni, R., et.al., 2015).

Gambar 3. Gejala serangan penyakit rebah batang oleh Rhizoctonia sp. Sumber: Harni, R., et.al., 2015

Kejadian serangan penyakit rebah batang/mati ujung ini pernah dilaporkan di Kabupaten Lampung Barat pada kebun hutan lindung dengan intensitas serangan sebesar 70%, pada kebun tetap 30%, dan di Kabupaten Tanggamus dengan intensitas serangan mencapai 25% (Darwis, 2013). Berdasarkan Harni, R., et.al. (2015) berikut beberapa strategi pengendalian yang dapat dilakukan, antara lain:

  • Mengurangi kelembaban di pembibitan melalui penebaran benih yang tidak terlalu rapat, diusahakan mendapatkan cahaya matahari, dan pengaturan frekuensi penyiraman.
  • Memilih tanah pembibitan yang bebas dari cendawan patogen R. solani.
  • Aplikasi Trichoderma sp. dengan dosis 200 g/tanaman pada media pembibitan.
  • Secara kultur teknis dengan cara memangkas cabang dan ranting tanaman kopi yang sakit akibat terinfeksi oleh cendawan patogen R. solani. Pemangkasan dilakukan pada jarak minimal 10 cm dari bagian tanaman yang sakit.
  • Cendawan dapat bertahan sampai 7 minggu di dalam ranting yang sakit. Oleh sebab itu, tanaman yang terinfeksi maupun cabang dan ranting sisa pemangkasan harus segera dikeluarkan dari kebun dan dimusnahkan atau dikubur di lubang tanah dengan kedalaman minimal 30 cm.
  • Khusus untuk daerah-daerah yang rawan penyakit mati ujung, disarankan menjaga tanaman kopi hanya memiliki sekitar 3-4 cabang saja.

Penyusun: Aidha Utami, Yani Maryani, Eva Lizarmi

Referensi :

Abidin, Z. 2018. Pengendalian Penyakit Mati Ujung Pada Tanaman Kopi. https://kopinian.blogspot.com/2018/09/pengendalian-penyakit-mati-ujung-pada.html.

Darwis, H.S. 2013. Ayo Kenali Penyakit Mati Ujung Pada Kopi. BBP2TP Medan, Ditjenbun. https://pdfcoffee.com/download/penyakit-kopi-2-pdf-free.html.

Departemen Proteksi Tanaman. 2011. Mati Pucuk. https://www.opete.info/detail2.php?idp=820

Harni, R., Samsudin, Amaria, W., Indriati, G., Soesanthy, F., Khaerati, Taufiq., E., Hasibuan, A.M., dan Hapsari, A.D. 2015. Teknologi Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Kopi. IAARD Press. Bogor.

Hiddink, G.A.,Termorshuizen,A.J., Raajimakers, J.M.,& van Bruggen, A.H.C. 2005. Effect of Mixedand Single Crops on Diseases Suppressivenessof Soils. Phytopathology. 95: 1325″1332.

Mustafa, Z. 2011. Pengaruh Aplikasi Trichoderma spp. terhadap penyakit rebah batang Rhizoctonia solani pada persemaian bibit kopi robusta. Universitas Jember: [Skripsi].

Semangun, H. 2000. Penyakit-penyakit tanaman hortikultura di Indonesia. Yokyakarta: Gajah Mada University Press. Yulianti, T., Suhara, C. 2004. Patogenisitas Scelerotium rolfsii, Rhizoctonia solani, dan R. batacticola dari beberapa sumbe inokulum terhadap kecambah nilam. https://www.nysaes.cornell.edu/ent/ biocontrol/pathogens/trichoderma.html. Diakses tanggal 4 Agustus 2022.


Bagikan Artikel Ini  

Pembukaan Lahan Tanpa Membakar dalam Budidaya Kopi

Diposting     Jumat, 27 Mei 2022 09:05 am    Oleh    perlindungan



Pembukaan lahan dengan cara membakar secara nyata telah menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan dan perikehidupan manusia di sektor kesehatan, sosial dan ekonomi. Selain hilangnya aset fisik seperti hutan/lahan dan kerusakan ekologi, dampak negatif yang sangat menonjol dan sering dirasakan oleh masyarakat adalah terjadinya kabut asap yang sangat merugikan khususnya yang berkaitan dengan kesehatan, seperti meningkatnya penderita penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan penyakit gangguan pernafasan lainnya. Pelaksanaan pembukaan lahan tanpa bakar untuk pengembangan usaha perkebunan disesuaikan dengan kondisi vegetasi yang akan dibuka, yang dapat berupa areal penggunaan lain (APL), peremajaan kebun, semak belukar dan lahan gambut.

A. Pembukaan Lahan Kopi

Pembukaan lahan pada APL berhutan dapat dilakukan dengan cara Kombinasi Manual dan Mekanis

a. Cara Manual

Tahapan pekerjaan untuk sistem ini meliputi perencanaan penanaman, membuat rintisan dan membagi petak-petak tanaman, mengimas, menebang, merencek, membuat pancang jalur tanam dan membersihkan jalur tanaman.

1)Perencanaan penanaman

Membuat rencana dan desain kebun yang akan dikelola dengan mempertimbang kan: ukuran kebun, ukuran petak tanaman, topografi, tipe tanah, sistem/jaringan jalan dan transportasi, sistem konservasi tanah dan air, dan rencana operasional lainnya.

2) Membuat rintisan dan pembagian petak tanaman

Semak belukar dan pohon kecil yang berdiameter hingga 10 cm dibabat dan dipotong, sehingga merupakan jalan di dalam areal untuk memudahkan pekerjaan selanjutnya. Pembagian petak tanaman antara lain didasarkan pada kondisi topografi, jenis tanah dan jaringan jalan, sebagai contoh: kebun dapat dibagi ke dalam petak-petak seluas 100 ha yang kemudian dibagi ke dalam sub petak seluas 25 ha (1000 m x 250 m). Setiap sub petak dikelilingi oleh jalan utama (main roads) dan jalan pengumpulan (collection roads)

3) Mengimas

Penebasan semak dan pohon kayu yang berdiameter hingga 10 cm dengan menggunakan parang atau kapak.

Pohon kayu yang berdiameter > 10 cm ditebang dengan menggunakan kampak atau gergaji rantai (chainsaw). Tinggi penebangan tergantung pada diameter batang, seperti di bawah ini :

  • Diameter pohon 10 – 20 cm: tinggi tebang > 40 cm
  • Diameter pohon 21 – 30 cm: tinggi tebang > 60 cm
  • Diameter pohon 31 – 75 cm: tinggi tebang > 100 cm.

4) Merencek

Cabang dan ranting pohon yang telah ditebang, dipotong dan dicincang (direncek) serta dirumpuk. Tujuan merencek adalah untuk mempermudah pengendalian kebakaran (sekat bakar) dan mempercepat proses pelapukan sisa tebangan. Banyak ditemukan di lapangan pada Perusahaan Perkebunan Besar/ PTPN merencek hanya untuk cabang dan ranting, sedangkan bagian batang kayu tidak di rencek. Hal ini akan mempersulit pembuatan sekat bakar apabila terjadi kebakaran karena ukuran kayu yang terlalu besar sulit untuk dipindahkan.

5) Membuat Pancang Jalur Tanam/ Pancang Kepala

Jalur tanam dibuat menurut jarak antar barisan tanaman (gawangan). Hal ini dimaksud untuk  memudahkan pembersihan jalur tanam dari hasil rencekan.

6) Membersihkan Jalur Tanam

Hasil rencekan ditempatkan pada lahan diantara jalur tanaman, dengan jarak 1 meter di kiri-kanan pancang jalur tanam. Dengan demikian diperoleh 2 meter jalur yang bersih dari potongan-potongan kayu, seperti Gambar 1.

b. Cara Mekanis

Sistem ini dilakukan pada areal yang memiliki topografi datar hingga berombak (lereng 0-8%). Umumnya menebang pohon dilakukan dengan traktor/tree dozer atau stumper.

1)Perencanaan penanaman

Membuat rencana dan desain kebun dengan tetap mempertimbangkan: ukuran kebun, ukuran petak tanaman, topografi, tipe tanah, sistem/jaringan jalan dan transportasi, sistem konservasi tanah dan air, dan rencana operasional lainnya.

2) Membuat rintisan dan pembagian petak tanaman

Semak belukar dan pohon kecil yang berdiameter hingga 10 cm dibabat dan dipotong, sehingga merupakan jalan di dalam areal untuk memudahkan pekerjaan selanjutnya. Pembagian petak tanaman antara lain didasarkan pada kondisi topografi, jenis tanah dan jaringan jalan, sebagai contoh: kebun dapat dibagi ke dalam petak-petak seluas 100 ha yang kemudian dibagi ke dalam subpetak seluas 25 ha (1000 m x 250 m). Setiap subpetak dikelilingi oleh jalan utama (main roads) dan jalan pengumpulan (collection roads).

3) Menebang

Pohon yang besar maupun yang kecil ditebang dengan traktor atau ditebang dengan gergaji rantai. Penumbang dimulai pinggir ke tengah berbentuk spiral.

4) Merencek

Cabang dan ranting pohon yang telah ditebang dipotong dan dicincang (direncek).

5) Membuat Parang Jalur Tanam/Pancang Kepala

Jalur tanam dibuat menurut jarak antar barisan tanaman (gawang). Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pembersihan jalur tanam.

B. Pengolahan Lahan Kopi

Setelah kegiatan pembukaan lahan kopi selesai perlu ditindaklanjuti dengan pengolahan lahan untuk persiapan tanam kopi.

1.Pengendalian alang-alang

a.  Cara Manual

1) Daun dan batang alang-alang yang telah direbahkan akan kering dan mati tanpa merangsang pertumbuhan tunas dari rimpang serta dapat berfungsi sebagai mulsa.

2) Perebahan dapat menggunakan papan, potongan kayu atau drum.

3) Setelah alang-alang terkendali, lahan siap untuk usahatani kopi dengan tahap-tahap seperti telah diuraikan di atas

b.  Cara Mekanis

1)Dilakukan dengan pengolahan tanah.

2) Penebasan dapat mengurangi persaingan alang-alang dengan tanaman pokok tetapi hanya bersifat temporer dan harus sering diulangi minimum sebulan sekali.

3) Setelah alang-alang terkendali, lahan siap untuk usahatani kopi dengan tahapan seperti telah diuraikan di atas.

c.  Cara Kultur Teknis

1) Penggunaan tanaman penutup tanah leguminosa (PTL). Jenis-jenis PTL yang sesuai meliputi Centrosema pubescens, Pueraria javanica, P. triloba, C. mucunoides, Mucuna sp. dan Stylosanthes guyanensis.

2) Semprot alang-alang dengan herbisida dengan model lorong, lebar lorong 2 m dan jarak antar lorong 4 m.

3) Apabila alang-alang sudah kering, buat dua alur tanam sedalam 5 cm dan jarak antar alur 70 cm.

4) Gunakan PTL sesuai rekomendasi untuk daerah setempat, kebutuhan benih 2 kg/ha.

5) Benih dicampur pupuk SP-36 sebanyak 24 kg/ha kemudian ditaburkan di dalam alur.

6) Tutup alur dengan tanah setebal 1 cm.

7) Alang-alang akan mati setelah tertutup oleh tajuk PTL.

d.  Pengendalian Secara Terpadu dengan Pengolahan Tanah Minimum dan Penggunaan Herbisida

1) Alang-alang yang sedang tumbuh aktif disemprot dengan herbisida sistemik.

2) Alang-alang yang sudah mati dan kering direbahkan.

3) Tanaman semusim tanam dengan cara tugal sebagai pre- cropping.

4) Bersamaan dengan itu lahan siap di tanami penaung dan tanaman kopi, dengan tahap-tahap seperti telah diuraikan di atas

2. Jarak Tanam Dan Lubang Tanam

a.    Mengajir dan menanam tanaman penaung sementara dan penaung tetap.

b.    Pada lahan miring, penanaman mengikuti kontour/teras, sedangkan pada lahan datar-berombak (lereng kurang dari 30%) barisan tanaman mengikuti arah Utara-Selatan.

c.    Ajir lubang tanam disesuaikan dengan jarak tanam.

d.    Jarak tanam kopi Arabika tipe katai (misalnya: Kartika 1 dan Kartika 2) 2,0 m x 1,5 m, tipe agak katai (AS 1, AS 2K, Sigarar Utang) 2,5 m x 2,0 m, dan tipe jangkung (S 795, Gayo 1 dan Gayo 2) 2,5 m x 2,5 m atau 3,0 m x 2,0 m.

e.    Jarak tanam kopi Robusta 2,5 m x 2,5 m atau 3,0 m x 2,0 m.

f.     Jarak tanam kopi Liberika 3,0 m x 3,0 m atau 4,0 m x 2,5 m.

g.    Pembuatan lubang tanam. Ukuran lubang tergantung tekstur tanah, makin berat tanah ukuran lubang makin besar. Ukuran lubang yang baik yaitu 60 cm x 60 cm pada permukaan dan 40 cm x 40 cm pada bagian dasar dengan kedalaman 60 cm.

h.    Lubang sebaiknya dibuat 6 bulan sebelum tanam.

i.     Untuk tanah yang kurang subur dan kadar bahan organiknya rendah ditambahkan pupuk hijau dan pupuk kandang.

j.     Menutup lubang tanam sebaiknya 3 bulan sebelum tanam kopi. Menjaga agar batu-batu, padas, dan sisa-sisa akar tidak masuk ke dalam lubang tanam.

k.     Selama persiapan lahan tersebut areal kosong dapat ditanami beberapa jenis tanaman semusim sebagai pre-cropping, misalnya: keladi, ubi jalar, jagung, kacang-kacangan. Jenisnya disesuaikan dengan kebutuhan petani, peluang pasar dan iklim mikro yang ada.

3. Pengendalian Erosi

a. Erosi ditenggarai merupakan penyebab utama degradasi tanah di perkebunan kopi di Indonesia, utamanya pada areal yang kemiringannya cukup tinggi.

b. Pengaruh merusak air hujan terjadi pada periode persiapan lahan dan periode Tanaman Belum Menghasilkan (TBM).

c.  Setelah tanaman dewasa dan tajuk tanaman menutupi seluruh permukaan tanah, maka pengaruh merusak air hujan menjadi berkurang.

d. Pada tanah yang kemiringannya cukup tinggi terjadi aliran permukaan yang menyebabkan terjadinya erosi, sehingga perlu diupayakan pencegahan terhadap erosi.

e. Jika lereng lapangan kurang dari 8 % tidak perlu teras, hanya perlu rorak. Jika lereng lapangan lebih dari 8 % perlu dibuat teras bangku kontinu/teras sabuk gunung dan rorak. Jika kemiringan lahan lebih dari 45 % sebaiknya tidak dipakai untuk budidaya tanaman kopi dan digunakan untuk tanaman kayu-kayuan atau sebagai hutan cadangan/hutan lindung. Dalam kondisi tertentu areal yang curam (lebih dari 45%) digunakan untuk penanaman kopi, sehingga diperlukan teras individu.

f.  Teras bangku dibuat dengan cara memotong lereng dan meratakan tanah di bagian bawah sehingga terjadi suatu susunan berbentuk tangga. Teras bangku tidak untuk tanah yang mudah longsor dan jeluknya (soil depht) dangkal. Dalam pembuatan teras bangku perlu diperhatikan aspek- aspek kesuburan tanah.

g. Teras individu yaitu perataan tanah di sekitar tanaman. Biasanya garis tengahnya 1,0 – 1,5 m. Teras dikerjakan pada tanah-tanah yang sangat miring (lebih dari 45 %). Pembuatan teras sabuk gunung sebagai berikut:

1) Dibuat garis kontour dan ditandai dengan ajir.

2) Jarak antara kaki alat bantu pembuatan kontour disamakan dengan jarak tanam.

3) Perataan tanah dimulai dari ajir terasan yang paling atas.

4) Mencangkul tanah 1 m di depan garis kontour (batas ajir) kemudian di tarik ke belakang sebagai bokongan teras.

5) Tanah hasil galian selanjutnya diinjak supaya padat dan tidak mudah terbawa air hujan

4. Pembuatan Rorak

a. Rorak dibuat dalam rangka konservasi air dan kesuburan tanah. Dibuat setelah benih ditanam di kebun, dan pada tanaman produktif dibuat secara rutin setiap tahun. Ukuran rorak 120 cm x 40 cm x 40 cm.

b. Rorak dibuat dengan jarak 40 – 60 cm dari batang pokok, disesuaikan dengan pertumbuhan tanaman.

c.  Pada lahan miring, rorak dibuat memotong lereng atau searah dengan terasan (sejajar garis kontur).

d. Ke dalam rorak diisikan bahan organik (seresah, hasil pangkasan ranting kopi dan penaung, hasil penyiangan gulma, kompos, dan pupuk kandang). Dalam kurun waktu satu tahun rorak biasanya sudah penuh dengan sendirinya (rata dengan pemukaan tanah).

Penulis : Kiswandhono, SH., MH , Herly Kurniawan, S.Sos dan Sarjoko, SP., MP

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 49/Permentan/Ot.140/4/2014. Pedoman Teknis Budidaya Kopi Yang Baik. Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian.

Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 05/Permentan/Kb.410/1/2018 Tentang Pembukaan Dan/Atau Pengolahan Lahan Perkebunan Tanpa Membakar. Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian.


Bagikan Artikel Ini  

Sistem Pertanian Organik sebagai Jawaban Penanganan Isu Residu Isoprocarb pada Biji Kopi Indonesia

Diposting     Selasa, 15 Maret 2022 10:03 am    Oleh    perlindungan



Isu cemaran residu pestisida berbahan aktif Isoprocarb yang menerpa biji kopi Indonesia asal Lampung kerap menyita perhatian dari berbagai pihak. Pasalnya, negara tujuan ekspor yaitu Jepang “mengancam” akan menutup ekspor kopi secara keseluruhan dari Indonesia. Sebaliknya, jika Indonesia mampu membuktikan dalam 2 tahun dan/atau 300 kali shipment dalam 1 tahun, kopi Indonesia mampu menunjukkan nilai MRL (Maximum Residue Limit) berada di bawah ambang 0,01 ppm, maka Jepang akan membatalkan pemberlakuan inspection order 100% atas kopi asal Indonesia dan membuka kembali jalur perdagangan kopi tersebut.

Dengan menggelar Forum Group Discussion (FGD), Senin 14 Maret 2022 bertempat di Novotel- Bandar Lampung, Direktur Perlindungan Perkebunan beserta jajarannya menggandeng berbagai pihak untuk bersama-sama berkomitmen dalam menuntaskan dan memulihkan kembali nama baik kopi Lampung Indonesia khususnya dan kopi Indonesia pada umumnya agar dapat dinikmati kembali oleh seluruh dunia.

Pertemuan dimoderatori oleh Dr Antarjo Dikin (Analis Perkarantinaan Tumbuhan Ahli Utama) serta narasumber pertemuan dihadiri oleh Direktur Perlindungan Perkebunan, perwakilan dari Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, Direktorat Tanaman Tahunan dan Penyegar, Badan Karantina Pertanian, Badan Pangan Nasional, Dinas Perkebunan Provinsi Lampung. Pertemuan juga dihadiri oleh Badan Karantina Pertanian Provinsi Lampung, Kepala Otoritas Kompeten Keamanan Pangan Daerah (OKKPD), Provinsi Lampung, Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Lampung Barat, Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Tenggamus, Dinas Perkebunan Kabupaten Way Kanan, Dinas Pertanian Kabupaten Lampung Utara, Dinas Pertanian Kabupaten Pesisir Barat serta para eksportir kopi.

Kasus pencemaran residu ini diduga bermula dari perilaku oknum petani yang “menyemprot” kopi untuk mengusir semut pada saat panen dengan menggunakan insektisida berbahan aktif Isoprocarb. Hal ini berbuntut panjang, karena pestisida kimia yang diaplikasikan menjelang panen dapat menimbulkan residu pada produk akhir. Berdasarkan data Direktorat Pupuk dan Pestisida bahwa insektisida berbahan aktif Isoprocarb terdaftar dan mendapat ijin Menteri Pertanian untuk pengendalian hama kutu putih (Planococcus citri) pada tanaman kopi (SK Mentan RI No. 597/KPTS/SR.330/M/10/2021).

Pengelolaan semut di lahan pertanian perlu dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, karena pada dasarnya semut berperan sebagai predator yaitu sahabat petani dalam mengendalikan hama tanaman. Kelimpahan populasinya memerlukan pengamatan dan monitoring yang intensif, jika sudah melewati ambang batas dan sangat mengganggu, maka tindakan pengelolaan dapat dilakukan dengan memerhatikan ekologi semut tersebut. Identifikasi jenis semut perlu dilakukan agar dapat diketahui bioekologinya, misalnya untuk jenis semut api (Solenopsis sp.) memiliki ciri khas membentuk sarang berupa gundukan tumpukan seperti pasir. Tindakan petani dengan menyemprot semut pada ranting kurang efektif karena semut pekerja yang berada di luar sarang kurang dari 20% dari populasi, koloni semut yang harus dikelola berada di sarang gundukan. Sehingga cara terbaik yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan cara umpan.

Penerapan Good Agriculture Practices (GAP) dan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang mengarah pada penggunaan biopestisida yang ramah lingkungan perlu dilakukan, mendorong penerapan sistem pertanian organik pada komoditas kopi, penerapan registrasi kebun kopi dengan system ketelusuran atau traceability  sehingga ketika terdapat kontaminasi bahan aktif yang melebihi ambang batas dapat ditelusuri asal produknya. Treaceability produk serta melakukan inspeksi/monitoring biji kopi yang akan diekspor perlu diperhatikan guna mendapatkan informasi ketelusuran asal produk. Tracebility bukan hanya tanggung jawab Direktorat Jenderal Perkebunan dan Badan Karantina Pertanian saja namun juga oleh stakeholders lainnya seperti pihak swasta maupun eksportir. Offtaker atau eksportir juga harus proaktif agar permasalahan ini dapat terselesaikan.

Dalam upaya mengurangi risiko adanya residu pestisida pada komoditas perkebunan yang dikonsumsi, Direktorat Perlindungan Perkebunan telah menyebarkan informasi melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik terkait dengan pengendalian OPT ramah lingkungan dan penerapan sistem pertanian organik berbasis komoditas perkebunan, salah satunya pada komoditas kopi sejak tahun 2016. Pertanian organik menjadi solusi terbaik untuk menghindari cemaran kimiawi pada produk pertanian, “tegas Ir. Baginda Siagian, Direktur Perlindungan Perkebunan. Kita akan mencoba menyelesaikan permasalahan terkait Isoprocarb dari segala sisi, bahkan juga pada residu bahan aktif lainnya yang tidak boleh lebih dari ambang batas ketentuan. Kita berbenah di dalam negeri, namun juga tidak melupakan diplomasi dagang internasional, “ pungkas Baginda.

Penulis: Farriza Diyasti, Tulus Tri Margono, Eva Lizarmi


Bagikan Artikel Ini