KEMENTERIAN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

Penanganan Residu Glifosat dan Parakuat Pada Biji Kopi Ekspor

Diposting     Rabu, 28 Desember 2022 03:12 pm    Oleh    perlindungan



Kopi merupakan salah satu komoditas unggulan perkebunan yang turut memberikan kontribusi cukup besar bagi perekonomian tanah air. Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, kopi Indonesia juga diperdagangkan ke beberapa negara lintas benua antara lain Amerika Serikat, Malaysia, Mesir, Jepang, Jerman, Italia, Inggris, Belgia, Rusia, dan India dengan total volume ekspor pada tahun 2020 mencapai 379.354 ton dan total nilai ekspor sebesar 821.932 US Dollar.

Kopi merupakan salah satu komoditas unggulan perkebunan yang turut memberikan kontribusi cukup besar bagi perekonomian tanah air. Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, kopi Indonesia juga diperdagangkan ke beberapa negara lintas benua antara lain Amerika Serikat, Malaysia, Mesir, Jepang, Jerman, Italia, Inggris, Belgia, Rusia, dan India dengan total volume ekspor pada tahun 2020 mencapai 379.354 ton dan total nilai ekspor sebesar 821.932 US Dollar.

Glifosat merupakan bahan aktif herbisida berspektrum luas untuk gulma daun lebar dan daun sempit yang paling banyak digunakan di seluruh dunia. Bahan aktif ini juga digunakan di hampir semua tanaman budidaya baik perkebunan, tanaman pangan, maupun hortikultura. Aplikasi glifosat yang kurang tepat dapat meninggalkan residu berbahaya. Selain itu, dampak aplikasi glifosat bagi pengguna dapat menyebabkan iritasi mata, kabur penglihatan, kulit terbakar atau gatal, mual, sakit tenggorokan, sesak napas, sakit kepala, mimisan, bahkan kanker jika telah akut. Glifosat juga dilaporkan dapat bersifat toksik terhadap biota aquatik.

Struktur Kimia Glifosat

Glifosat bersifat sistemik, tidak mudah terbakar (non-flammable), dan degradasi residunya berkisar satu bulan pada kondisi normal. Cara kerjanya menghambat enzim 5-enolpiruvil-shikimat-3-fosfat sintase (EPSPS) yang berperan dalam pembentukan asam amino aromatik, sehingga tumbuhan akan mati karena kekurangan asam amino.

Sementara itu, parakuat yang sering disebut parakuat diklorida bersifat relatif stabil pada suhu, tekanan, dan pH normal, serta mudah larut dalam air sehingga berpotensi mencemari biota akuatik. Parakuat diklasifikasikan oleh World Health Organization (WHO) sebagai bahan aktif Kelas II (Moderately hazardous technical grade active ingredients in pesticides). Namun, sejak terjadi kasus terpaparnya sebagian penduduk Burkina Faso pada tahun 1996-2010, parakuat diusulkan sebagai bahan aktif dengan kategori Severely Hazardous Pesticide Formulation (pestisida yang dapat menimbulkan efek akut terhadap kesehatan dan atau lingkungan dalam periode singkat setelah paparan tunggal atau berulang) meskipun belum disepakati hingga kini. Di Indonesia, parakuat digolongkan ke dalam pestisida terbatas sesuai Peraturan Menteri Pertanian No 39 Tahun 2015

Struktur Kimia Parakuat

Mirip dengan glifosat, paparan parakuat dapat mengakibatkan gatal, kesemutan, kulit terbakar, luka pada kulit, demam, pusing, nyeri pada tulang, kehilangan kesadaran, sesak nafas, batuk, masalah penglihatan, sakit mata, telinga berdengung, sakit perut, mual, dan muntah. Parakuat merupakan herbisida kontak yang aktif pada bagian tanaman berwarna hijau, daya kerjanya cepat, keberadaannya di dalam tanah dapat menghambat pertumbuhan mikroba tanah, serta menimbulkan residu di dalam tanah dalam waktu cukup lama.

Cemaran residu glifosat dan parakuat pada biji kopi seringkali disebabkan karena para pelaku budidaya masih menganggap bahwa herbisida merupakan alternatif pengendalian gulma yang dianggap praktis dan efektif dan cenderung mudah didapatkan di pasaran. Di sisi lain, hanya sebagian kecil dari pelaku budidaya yang menerapkan Good Agricultural Practice (GAP) dan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) di kebunnya.

Notifikasi produk ekspor perkebunan akibat cemaran residu glifosat dan parakuat dapat ditekan melalui beberapa tindakan sebagai berikut :

  • Penggunaan reduktan nabati/hayati;
  • Hindari aplikasi herbisida menjelang panen (setidaknya satu bulan sebelumnya pada kondisi normal);
  • Penerapan Good Agricultural Practice, Penerapan Pengelolaan Hama Terpadu (PPHT), atau Pertanian Oganik;
  • Pelatihan dan pendampingan budidaya dan pascapanen oleh petugas dan stake holder terkait;
  • Sosialisasi persyaratan produk ekspor dan Sanitary Phyto Sanitary (SPS) kepada petani oleh petugas dan calon eksportir;
  • Pensyaratan mutu produk oleh eksportir kepada petani dengan jaminan harga produk lebih tinggi;
  • Hindari pencampuran produk bermutu baik dengan produk bermutu rendah
  • Pengujian kadar residu oleh laboratorium terakreditasi sebelum produk diekspor ke negara tujuan
  • Pensyaratan perusahaan eksportir terakreditasi dan memenuhi standar internasional
  • Perketat regulasi/peraturan ekspor-impor.

Penulis : Romauli Siagian


Bagikan Artikel Ini