KEMENTERIAN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

Pengendalian Hama Tikus Pada Tebu

Diposting     Senin, 10 Oktober 2022 11:10 am    Oleh    perlindungan



Dalam meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman tebu, masih terkendala oleh adanya serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT).  Gangguan OPT tersebut dapat menimbulkan kerusakan berarti yang pada akhirnya menimbulkan kerugian hasil dan pendapatan petani.

Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah adanya serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) seperti tikus dan apabila tidak dilakukan upaya pengendalian akan menimbulkan kerusakan berarti yang pada akhirnya menimbulkan kerugian hasil/pendapatan petani.

Ada tiga spesies tikus yang sering dijumpai di perkebunan tebu  adalah tikus sawah  (Rattus argentiventer), tikus ladang (Rattus exulans), dan tikus wirok (Bandicota indica).

Gambar 1. Tiga spesies  tikus yang menyerang perkebunan tebu
Sumber: P3GI

Tikus memiliki daya rusak yang besar karena merusak tanaman dalam waktu yang singkat, merusak berbagai stadia tanaman, mampu bereaksi atau merespon terhadap setiap tindakan pengendalian, mempunyai mobilitas yang tinggi dan menimbulkan  kehilangan hasil dalam jumlah yang besar walaupun hanya dilakukan oleh beberapa ekor tikus saja.

Daya rusak tersebut didukung oleh: kemampuan indera (penglihatan, penciuman, pendengaran, perasa dan peraba); kemampuan fisik (menggali, memanjat, meloncat, mengerat, berenang dan   menyelam); dan kemampuan reproduksi yang tinggi.

a. Biologi

Tikus betina mempunyai 6 pasang puting susu yang terletak di kiri dan kanan pada bagian dada dan perut, memanjang sepanjang badan. Tikus sawah dapat berkembang biak pada umur 1,5 – 5 bulan setelah kawin. Seekor tikus betina dapat melahirkan 8 ekor anak setiap melahirkan. Pada saat periode puncak perkembangannya, 92% tikus bunting dijumpai sedang menyusui anaknya.  Oleh karena itu dalam satu sarang sering dijumpai induk tikus hidup bersama dengan 2 – 3 generasi anak – anaknya.  Masa bunting tikus sawah sekitar 3 minggu, dan dalam waktu kurang dari 1 minggu sekali tikus betina mengalami masa birahi.  Masa menyusui bagi anak tikus baru berhenti setelah berumur 18 – 24 hari.  Umur tikus bisa mencapai 1 tahun.

b. Gejala Serangan

Pada tanaman tebu yang muda, tikus merusak batang tebu sehingga daun menjadi layu.  Pada tanaman tebu tua, tikus merusak batang di dalam tanah, batang di atas permukaan tanah, dan pucuk tebu.  Tikus menyerang bagian batang sehingga tidak dapat diproses di pabrik menjadi gula karena banyak batang yang patah hingga roboh dan mati. Jumlah kebun yang diserang hama tanaman ini mencapai puluhan hektar dan lebih dari 60%-nya roboh. Hama tanaman ini menyerang tanaman tebu jika sumber makanan lainnya seperti padi atau jagung tidak ada.

Gambar 2.  Gejala serangan tikus pada bagian akar dan batang tebu
Sumber: P3GI

c. Pengamatan

Perlu pengamatan siang maupun malam hari untuk menggambarkan populasi hama tikus, di antaranya: (i) populasi liang aktif tikus; (ii) kerusakan pada tanaman tebu muda dan tebu tua; dan (iii) kerusakan pada tanaman palawija di sekitarnya (padi, jagung, kedelai).  Pengamatan dilakukan secara rutin dan sistematis, bersamaan dengan pengamatan hama tebu yang lain seperti hama penggerek tetapi dasar pengambilan keputusannya adalah berapa banyak tikus, lubang tikus dan gejala serangan tikus yang ditemukan/ diamati.  Cara perhitungan persentase serangan sebagai berikut:

d.  Pengendalian

Cara pengendalian tikus secara terpadu  adalah sebagai berikut:

1)Pengendalian secara kultur teknis yaitu dengan tanam dan panen serempak, serta sanitasi lingkungan pada sarang – sarang tikus dan gulma yang ada dalam kebun tebu.

2). Pengendalian secara mekanis:

  • Gropyokan dan penggalian liang
    Liang tikus dengan bantuan anjing terutama pada pematang-pematang sawah dan sekitar saluran irigasi. 

Gambar  3.   Gropyokan dengan menggunakan   anjing terlatih
Sumber: Ditlinbun

  • Emposan/ pengasapan beracun/fumigasi
    Sistem emposan asap beracun efektif bila dilakukan di pematang- pematang sawah atau tepi saluran irigasi dimana dijumpai banyak liang tikus yang aktif.

Gambar  4.   Jenis emposan tikus
Sumber: bbpadi

  • Perangkap
    Salah satu jenis perangkap tikus yang dapat digunakan adalah perangkap yang terbuat dari kawat.

Gambar  5. Jenis perangkap kawat tikus
Sumber: bibliotika.com

3) Penggunaan Musuh alami dengan menggunakan burung hantu (Tyto alba)

4) Pengumpanan beracun (rodentisida), baik berupa racun akut maupun racun antikoagulan. Aplikasi rodentisida dilaksanakan pada saat setelah tanaman padi dipanen.  Jika menggunakan racun antikoagulan pada musim hujan, maka disarankan memakai yang sudah dalam bentuk kubus (misal klerat RMB) untuk menghindari kehilangan rodentisida terbawa oleh aliran air hujan.

Penulis : Alimin, S.P., M.Sc.

SUMBER PUSTAKA

Achadian, Etik M.  2022.  Materi Bimtek Tebu: Hama-Hama Penting Pertanaman Tebu di Indonesia. P3GI. Pasuruan.

Ditlinbun.  2016. Lapdin Pengawalan dan Pembinaan serta Monev Daerah Endemis Pengendalian OPT Tansimpah di Kabupaten Indramayu. Ditlinbun, Ditjenbun. Jakarta.

P3GI. 1989.  Hama dan Penyakit Tanaman Tebu. P3GI. Pasuruan.

Wibawanti R., Cucu D. dan Alimin.  2011.  Pengenalan dan Pengendalian Hama Penting Tanaman Tebu.  Ditlinbun, Ditjenbun.  Jakarta.


Bagikan Artikel Ini  

Strategi Pengendalian Hama Uret Tebu (Lepidiota stigma)

Diposting     Jumat, 02 September 2022 11:09 am    Oleh    perlindungan



Tebu merupakan tanaman yang multifungsi, selain sebagai penghasil gula juga dapat dimanfaatkan sebagai biofuel, daunnya bisa menjadi sumber pakan ternak, serasahnya dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan organik yang jika dikembalikan lagi ke tanah dapat meningkatkan kesuburan tanah. Namun demikian, tebu juga rentan terhadap serangan hama. Lebih dari 100 jenis hama dapat menyerang tebu seperti golongan serangga (Lepidoptera, Coleoptera, Hemiptera, kutu-kutuan (Aphid); tungau (Acarina); burung (kakatua); mamalia (tikus dan babi hutan).

Salah satu golongan serangga yang menyerang akar tanaman tebu adalah hama uret Lepidiota stigma.  Beberapa hama uret lainnya yang menyerang akar tanaman tebu antara lain: Leucopholis rorida, Phyllophagahelleri, dan Apogonia destructor. Sampai saat ini, serangan L. stigma masih menjadi kendala bagi petani khususnya di wilayah Kebumen dan Purwerejo (Jawa Tengah), Sleman (Yogyakarta), serta Jombang, Kediri, Situbondo, dan Bondowoso (Jawa Timur), bahkan sudah menjadi daerah endemik hama tersebut. Pada tahun 2011, produksi tebu di Kabupaten Bondowoso mengalami penurunan sampai 60% akibat serangan uret yaitu rata-rata hanya sekitar 40 ton/ha yang biasanya normal 100 ton/ha. Bahkan ada pada pertanaman petani yang tidak melakukan pengendalian hanya menghasilkan 5 ton per ha.

 Gambar 1.  Perbedaan kumbang: a, Lepidiota stigma; b. Leucopholis rorida;  c.  Phyllophaga sp.;  dan d. Apogonia sp.

Larva  L. stigma berukuran besar, panjang tubuh sampai 7,5 cm.  Celah anal membukanya melintang berbentuk akolade. Sikat-sikat pada bagian perambutan tersusun teratur sejajar membujur daerah perambutan.  Jumlah sikat tiap deretan berkisar antara 20 – 25 buah (Ananda, 1975  dalam Purnami, 1996).  Tipe larva  L. stigma adalah scarabaeform yaitu berbentuk seperti huruf C berwarna putih krem.  Kepala berwarna cokelat dan berukuran lebar 10 – 11 mm.  Larva dari subfamili Melolonthinae tubuhnya tidak mudah direntangkan dengan baik dan sangat sulit bergerak di permukaan tanah.

Ciri yang membedakan larva genus Lepidiota dibandingkan ketiga larva genus lainnya (Leucopholis, Phyllophaga dan Apogonia) yang potensial sebagai hama yang menyerang akar tanaman tebu.

Gambar 2. Bentuk perambutan pada ventral anal abdomen: a. Lepidiotastigma; b. Leucopholis rorida; c. Phyllophaga helleri; dan d. Apogonia destructor (Kalshoven, 1981)

Masa stadia telur L. stigma 14 hari; instar ke-1 (35 hari);  instar ke-2  ( 49 hari); instar ke-3 (194 hari); periode prepupa (10 hari); masa pupa jantan dan betina  (30 hari); dewasa jantan tidak aktif (25 hari); betina tidak aktif  (26 hari);  jantan aktif (25 hari);  betina aktif (35 hari). Total daur hidup jantan (385 hari) dan betina (397 hari). Ukuran lebar kepala larva instar 2 akhir berkisar antara 5 – 7 mm, sedangkan larva instar 3 lebih dari 7 mm sampai 12 mm. 

Gambar 3.  Siklus hidup uret tebu
Sumber: P3GI

Imago L. stigma berukuran panjang 3,5 – 5 cm dengan tubuh berwarna coklat keabu-abuan dan memiliki spot warna putih pada bagian belakang elytranya. Kumbang aktif pada malam hari dan tertarik cahaya.  Setiap imago betina mampu menghasilkan telur sebanyak 15 – 60 butir. Telur berbentuk lonjong atau oval, berwarna putih dengan panjang berkisar 2,0 – 4,25 mm dan lebarnya antara 1,2 – 2,95 mm.

Gambar 4. Larva L. stigma

Serangan L. stigma menyerang perakaran tebu yang berpotensi menimbulkan kerugian secara ekonomi, sehingga perlu dilakukan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dengan cara sebagai berikut:

1. Fisik
Pengendalian dengan pengambilan dan pemusnahan uret secara langsung pada saat pengolahan tanah.

2. Sanitasi
Sanitasi dilakukan dengan membersihkan kebun dari sampah-sampah organik sehingga kumbang tersebut tidak ada kesempatan untuk berkembang biak.

3. Mekanis

a. Lampu perangkap kumbang

Pemasangan lampu perangkap dikombinasikan dengan Agens Pengendali Hayati (APH) jamur Metarhizium sp. dengan cara:

  • Limbah kandang yang belum diolah ditumpuk pada lokasi agak jauh dari lokasi tanaman tebu.
  • Limbah kandang dicampur  dengan serbuk gergaji atau batang kelapa yang sudah membusuk kemudian taburkan jamur Metarhizium sp. dan aduk sampai tecampur merata.
  • Lampu perangkap dipasang di atas tumpukan limbah kandang. Hal ini dimaksudkan sebagai penarik kumbang untuk mendekat.  Diharapkan kumbang betina yang meletakkan telur di limbah tersebut, ketika menetas menjadi uret yang akan terinfeksi oleh jamur Metarhizium sp.

b. Lampu perangkap dan plastik mika kumbang

  • Lampu yang baik digunakan untuk memerangkap kumbang adalah lampu sookley. Di Kediri bisa memerangkap sekitar 1.500 ekor semalam yaitu dari pukul 18.00 sampai 20.00.
  • Kumbang lebih menyukai pertanaman tebu muda daripada tua dalam hal meletakkan telur.

Gambar 5. Perangkap lampu dan plastik mika untuk kumbang
Sumber: P3GI

c. Lubang perangkap uret

Lubang ini dibuat pada lahan-lahan endemis uret, dengan cara:

  • Perangkap uret berupa lubang dibuat dengan ukuran 0,5 x 0,5 x 0,5 m sebanyak 3 lubang setiap 1.000 m2.
  • Lubang tersebut diisi dengan limbah kandang yang belum diolah dan dicampur dengan bahan organik, misalnya serasah daun, jerami, sekam, serbuk kayu, kemudian ditaburi jamur Metarhizium sp. dan dicampur sampai merata.
  • Uret akan berkumpul dalam lubang perangkap tersebut dan akan mati terinfeksi jamur Metarhizium sp.

d. Pemasangan jaring-jaring di sekitar pertanaman tebu sehingga kumbang yang terbang dapat terperangkap.

Gambar 6.  Pemasangan jaring perangkap

4. Seleksi bibit tebu

  • Bibit yang ditanam agar menggunakan varietas unggul yang sesuai dengan ekologis, tipe iklim dan jenis tanah.
  • Memisahkan bibit yang rusak akibat gangguan pengangkutan dan hama uret.
  • Memotong stek bagal, kemudian dikelompokkan antara stek yang berasal dari bagian bawah, tengah serta pucuk dan masing-masing ditanam pada luasan tersendiri agar diperoleh tanaman yang seragam pertumbuhannya.

5. Menggunakan APH
Pengendalian dengan Metarhizium sp. dengan dosis 25 gram/m2 dan Nematoda Entomo Patogen (NEP) jenis Steinernema spp. dengan dosis 20 spons/Ha.

6. Apabila diperlukan dapat dilakukan pengendalian dengan insektisida berbahan aktif Karbofuran dan Diazinon.

Penulis : Alimin, S.P., M.Sc.

Sumber Pustaka

Achadian Etik M.  2022. Materi Bimtek Tebu: Hama-Hama Penting Pertanaman Tebu di Indonesia.  P3GI.  Pasuruan, Jawa Timur.

Borror, D. J. And De Long.  2005.  Introduction to The Study of Insect 7th Edition.  Thomson Learning, Inc.  USA.

Kalshoven, L.G.E.  1981.  The Pests of Crops in Indonesia.  P.T. Ichtiar Baru Van Hoeve.  Jakarta

Pracaya.  2008.  Hama dan Penyakit Tanaman (Edisi Revisi).  Penebar Swadaya.  Jakarta.

Wahyu, K.  2015.  Pengendalian Uret pada Tanaman Tebu (Saccharum officinarum).  Seri Liptan, Sinar Tani: Edisi 28 Janurai – 3 Februari 2015, No.3592 Tahun XLV. Jakarta.


Bagikan Artikel Ini  

Mengenal Penyakit Pokahbung Pada Tebu dan Pengendaliannya

Diposting     Rabu, 13 Juli 2022 10:07 am    Oleh    perlindungan



  Gb 1. Penyakit pokahbung

Sumber: P3GI

Tebu merupakan tanaman yang multifungsi, selain sebagai penghasil gula juga dapat dimanfaatkan sebagai biofuel, daunnya bisa menjadi sumber pakan ternak, serasahnya dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan organik yang jika dikembalikan lagi ke tanah dapat meningkatkan kesuburan tanah. Namun demikian, tebu juga rentan terhadap serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) .

Serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) merupakan salah satu penyebab rendahnya produksi dan produktivitas tebu karena menyebabkan kerusakan berarti yang pada akhirnya menimbulkan kerugian hasil dan pendapatan petani. Beberapa jenis penyakit lokal tebu yang dapat menyebabkan kerugian hasil yang cukup tinggi, baik itu menurunkan produksi maupun kualitas nira yang dihasilkan antara lain: penyakit pokahbung, daun hangus, karat daun, noda kuning, noda cincin, bercak bertarget , serta busuk akar dan pangkal batang.

Pokahbung merupakan salah satu jenis penyakit lokal tanaman tebu yang disebabkan oleh jamur Fusarium moniliforme.  Penyakit ini dapat menurunkan hasil 0,35 sampai 0,85% dari setiap persentase serangan 1%.    Penyakit pokahbung dilaporkan dapat menyebabkan hilangnya hasil 10-38 % pada varietas POJ 2878. Penyakit pokahbung meningkat setelah terjadinya hujan besar atau musim hujan. Tetapi, penyakit tersebut saat ini terlihat sepanjang musim pertumbuhan selama periode basah dan kering.

a. Gejala Penyakit

Gejala umum yang ditimbulkan pada penyakit pokahbung yaitu adanya bintik-bintik klorosis pada daun terutama pada pangkal daun serta cacat bentuk sehingga daun-daun tidak dapat membuka secara sempurna. Dan pada akhirnya tanaman tebu akan mengalami pembusukan dengan mengeluarkan bau yang tidak sedap, serta untuk serangan yang lanjut tanaman akan mati.

Gejala khusus penyakit pokahbung dibagi menjadi tiga tingkat yang lazim disebut pb1, pb2 dan pb3. Pada pb1 (Chlorotic phase) gejala hanya terdapat pada daun. Helaian daun yang baru saja membuka pangkalnya tampak klorosis. Pada bagian ini kelak timbul titik atau garis-garis merah. Jika penyakit meluas kedalam, maka daun-daun yang belum membuka akan terserang juga. Daun-daun ini akan rusak dan tidak dapat membuka dengan sempurna. Pada pb2 (Acute phase) jamur menyerang ujung batang yang masih muda, tetapi tidak menyebabkan pembusukan. Pada batang yang masih muda ini terjadi garis-garis merah kecoklatan yang dapat meluas menjadi rongga-rongga yang dalam. Rongga-rongga ini mempunyai sekat-sekat melintang hingga tampak seperti tangga. Jika ujung batang dapat tumbuh terus akan terjadi hambatan (stagnasi) pertumbuhan, dan pada bagian yang berongga tadi batang membengkok. Pada pb3 (Knife cut phase) jamur menyerang titik tumbuh dan menyebabkan pembusukan. Busuknya tunas ujung sering disertai dengan timbulnya bau tidak sedap. Pada fase ini, satu atau dua atau lebih potongan melintang pada kulit batang atau batang seolah-olah seperti jaringan dihilangkan dengan pisau tajam.  Serangan ini menyebabkan matinya tanaman.

Gambar 2. Fase-fase gejala penyakit pokahbung:
a) pb1 atau chlorotic phase;  
b) pb2 atau acute phase; dan
c) pb3 atau knife cut phase                                  
Sumber: Fertiliserindia.com

b. Morfologi Fusarium moniliforme                            

Secara mikroskopis konidiospora dari F. moniliforme hialin, sederhana atau bercabang, bantalan konidia dalam rantai dan spora massa di ujung cabang. Konidia hialin, mimiliki dua jenis yakni makrokonidia, berbentuk perahu, dengan sedikit melengkung pada sel apikal, dan memiliki 2 pusat sel silinder, bersel 4 sampai 5, dan mikrokonidia hialin, ellipsoidal spora atau bulat telur, apikulat pada salah satu ujungnya serta tidak terbentuk klamidiospora

Gambar 3. Morfologi Jamur Fusarium moniliforme
A-C: Konidiofor dan Mikrokonidia.
D. Konidiofor dan Makrokonidia.
E. Makrokonidia                   
Sumber: Young et al., 1978

Gambar 4. Biakan murni F. moniliforme

Sumber: bioimagen.bioucm.es

c. Bioekologi Patogen       

Patogen masuk ke jaringan tanaman inang melalui luka yang disebabkan oleh serangga atau penggerek dan dapat juga melalui retakan akibat pertumbuhan tebu yang dilakukan secara alami. Setelah patogen masuk, benang infeksi mengembangkan hifa normal yang tumbuh didalam jaringan tanaman inang dalam beberapa waktu. Kemudian keluar malalui sel ke sel permukaan luar, spora bersarang atau hidup disekitar balik selubung daun. Spora yang sudah berkembangbiak dan miselium sudah terbentuk pada sisik tunas, primordial akar atau bekas luka di jaringan tanaman. Pada umumnya pokhabung adalah penyakit yang disebarkan melalui udara khususnya melalui sirkulasi udara dan infeksi sekunder meliputi kumpulan tanaman yang sudah terinfeksi, air irigasi, hujan dan tanah yang tidak sengaja tersiram yang terdapat patogen F. moniliforme. Patogen dapat bertahan hidup selama 12 bulan di puing-puing pabrik dengan kondisi yang alami serta dapat bertahan selama lebih dari 10 tahun di kondisi laboratorium.       

d. Pengendalian

Pengendalian penyakit pokahbung harus dilaksanakan secara terpadu dan terintegrasi antara lain:

1) Penggunaan varietas tahan
Varietas tahan terhadap penyakit pokahbung seperti PSJK 922. 2)

2) Perlakuan bibit yang benar
Dengan Hot Water Treatment (HWT) 52°C selama 30 menit + perendaman dalam fungisida.

3) Karantina
Karantina dapat mencegah penyebaran penyakit ke daerah baru.  Suksesnya  program karantina memerlukan komitmen semua pihak (Balai Karantina, Balai Penelitian, Perusahaan Gula, dan Petani).

4) Monitoring penyakit di lapangan dilakukan secara periodik.

5) Sanitasi lahan, yaitu:

  • Sanitasi tebu melalui eradikasi tanaman sakit.
  • Sanitasi gulma.
  • Aplikasi kompos , termasuk vermi kompos , biochar untuk meningkatkan kesuburan lahan dan mendukung pertumbuhan tanaman.

6) Pengendalian Hayati
Dengan memanfaatkan agens hayati dan bahan alami seperti aplikasi mikroba antagonis dari golongan jamur (Trichoderma harzianum, Gliocladium sp.), dan golongan bakteri (Bacillus subtilis dan Pseudomonas fluorescens).

Penulis :  Alimin, S.P., M.Sc.

Sumber Pustaka

Fertiliser India.  2021. Major Crop Disease/Sugarcane: Pokkah Boeng (Fusarium moniliforme Sheldon) Sugarcane Crop Disease.  Internet: Fertiliserindia.com.  Diakses tanggal 6 Juni 2022.

Hanudin & Budi M.  2012.  Prospek Penggunaan Mikroba Antagonis sebagai Agens Pengendali Hayati Penyakit Utama pada Tanaman Hias dan Sayuran.  Balit Tan. Hias, Cianjur.

Nurindah & Titiek Y.  2018.  Strategi Pengelolaan Serangga Hama dan Penyakit Tebu dalam Menghadapi Perubahan Iklim.  Balittas, Malang.

Siregar, A. Z. dan Syahputra, T. S.   2017.  Keanekaragaman Hama dan Penyakit pada Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.). Agroteknologi, Faperta. Unsu, Medan.

Wijayanti, Agustina Nurul.  2018.  Pengaruh Waktu Pemberian Kompos Daduk Terhadap Kejadian Penyakit Pokahbung (Fusarium Moniliformae) dan Pertumbuhan Tebu (Saccharum officinarum L. ) Di Lahan Kering. Faperta, Univ. Barawijaya, Malang.

Young. et al. 1978. Disseminated Infection by Fusarium moniliforme During Treatment for Malignant Lymphoma.  Journal of Clinical Microbiology Vol.7 No.6, USA.  Internet: https://journals.asm.org. Diakses tanggal 5 Juni 2022.

   


Bagikan Artikel Ini  

Pengendalian Tiga Hama Penting Pada Tebu

Diposting     Rabu, 15 Juni 2022 10:06 am    Oleh    perlindungan



Tebu merupakan tanaman yang multifungsi, selain sebagai penghasil gula juga dapat dimanfaatkan sebagai biofuel, daunnya bisa menjadi sumber pakan ternak, serasahnya dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan organik yang jika dikembalikan lagi ke tanah dapat meningkatkan kesuburan tanah. Namun demikian, tebu juga rentan terhadap serangan patogen. Beberapa penyakit yang menginfeksi tebu dapat menyebabkan kerugian hasil yang cukup tinggi, baik itu menurunkan produksi maupun kualitas nira yang dihasilkan. Antara lain: mosaik, Ratoon Stunting Disease (RSD), luka api (smut).

Lebih dari 100 jenis hama dapat menyerang tebu seperti golongan serangga (Lepidoptera, Coleoptera, Hemiptera); kutu-kutuan (Aphid); tungau (Acarina); burung (kakatua); mamalia (tikus dan babi hutan).  Ada tiga hama penting tebu yang ditemukan di beberapa wilayah di  Indonesia yang keberadaannya sangat mengganggu produksi dan produktivitas tebu, yaitu sebagai berikut:

1) Penggerek pucuk (Scirpophaga excerptalis)

Kematian karena penggerek pucuk pada 5, 4, 3, 2 dan 1 bulan sebelum tebang, kerugian gula mencapai 77%, 58%, 46%, 24%, dan 15%.

Gejala serangan adalah larva yang baru menetas menggerek masuk ke dalam daun muda yang belum terbuka. Larva menggerek menuju titik tumbuh dan menembus batang. Daun yang terserang akan menggulung dan kering (mati puser). Setiap batang yang terserang biasanya dihuni oleh satu ekor penggerek.

Gambar 1.  Pupa (kiri) dan gejala serangan S. excerptalis (kanan) pada pengamatan di lapangan

Sumber: P3GI

2) Penggerek batang (Chilo sacchariphagus)

Setiap persen kerusakan ruas, kerugian gula sebesar 0,5%. Kerugian karena serangan penggerek batang akan menyebabkan penurunan bobot tebu.  Serangan berturut-turut 10%, 20%, dan 30% akan menurunkan bobot tebu berturut-turut 16%, 38,8%, dan 60,8%.

Gambar 2. Larva C. sacchariphagus menggerek ruas tebu (kiri) dan gejala serangan pada pengamatan di lapangan

Sumber: P3GI

Gejala serangan sering terjadi pada titik tumbuh dan pucuk tanaman yang masih muda, sehingga daun muda layu dan mati. Lorong gerek yang disebabkan penggerek ini sangat tidak teratur.  Di dalam satu ruas biasanya dijumpai satu atau lebih larva.

3) Uret Tebu (Lepidiota stigma)

Uret merupakan hama polifag.  Selain tebu, tanaman yang menjadi sumber pakannya seperti singkong, jagung, pepaya, karet, mahoni, dan lain-lain. Uret menyukai tanah ringan berpasir dan pada stadia instar 3 paling rakus (3-4 ekor dapat menghabiskan perakaran 1 rumpun tebu). Tanda-tanda serangan tampak jelas ketika musim kemarau dan pada tanaman keprasan lebih menderita. Spesies Lepidiota stigma yang paling merusak perakaran tebu.

Gambar 3. Uret tebu (kiri) dan gejala kerusakan pada akar

Sumber: P3GI

4) Pengendalian Hama Tebu

a. Penggerek hama penggerek tebu

Pengendalian hayati: pemanfaatan parasitoid telur (Trichogramma japonicum dan chilonis); parasitoid larva (Elasmus zehntneri, Stenobracon sp., Rachonotus sp.); dan parasitid pupa (Isotima javensis, Tetrastichus sp.).  Yang harus diperhatikan dalam pelepasan pias Trichogramma adalah sebagai berikut:

–   dilakukan saat tebu umur 1,5 – 4 bulan, sebanyak 10 kali  dengan interval waktu 1 minggu.

–  Jumlah tiap kali pelepasan 50 pias/ha (2.000 Trichogramma per pias).

–  Jarak pemasangan pias 10 – 15 meter dan dilakukan sebelum jam 07.00 pagi.

–  Prioritas untuk kebun-kebun dengan serangan penggerek di  atas 2%.

–   Pelepasan 1 hari sebelum parasitoid menetas.

–  Rawan terserang predator (semut, laba-laba), dianjurkan diberi pengaman grease/stempet

Pengendalian kimiawi : Soft chemical, aplikasi perangkap dengan umpan feromon seks sintesis; dan penyemprotan insektisda pada batang bawah atau kanopi tanaman (kurangi penggunaaan karbofuran).  Hal-hal yang harus diperhatikan dalam aplikasi feromon seks adalah sebagai berikut:

–  Aplikasi feromon dianjurkan ketika tebu berumur 2 sampai 5 bulan  dan mampu bertahan selama 1 bulan setelah pemasangan.

–  Pemasangan feromon sekitar 25 cm di atas tajuk tanaman tebu.

b. Hama uret tebu

  • Pengaturan waktu tanam dan sanitasi kebun.
  • Pengolahan tanah yang sesuai aturan baku (2 kali bajak, garu dan kair).
  • Pengumpulan uret secara manual saat pengolahan tanah.
  • Penangkapan imago pada musim penerbangan (Awal musim hujan).
  • Penaburan insektisida cair/granular, biopestisida, jamur entomo patogen (Metarhizium anisopliae) bersamaan dengan waktu tanam.

Gambar 4. Biakan jamur  M. anisopliae (kiri) dan uret tebu terinfeksi M. anisopliae (kanan)

Sumber: P3GI

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengendalian uret tebu adalah sebagai berikiut:

  • Pemasangan Light Trap untuk mengendalikan kumbang dilakukan pada awal musim hujan atau awal penerbangan.
  • Lampu yang baik digunakan untuk memerangkap kumbang adalah lampu sookley. Di Kediri bisa memerangkap sekitar 1.500 ekor semalam yaitu dari pukul 18.00 sampai 20.00.
  • Kumbang lebih menyukai pertanaman tebu muda daripada tua dalam hal meletakkan telur.

Gambar 5. Perangkap lampu dan plastik mika untuk kumbang

Sumber: P3GI

Penulis : Alimin, S.P., M.Sc.

Sumber Pustaka

P3GI. 2022.  Materi Bimtek Penanganan OPT Tebu: Gulma pada Tanaman Tebu. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI).Pasuruan.

Pracaya.  2008.  Hama dan Penyakit Tanaman (Edisi Revisi).  Penebar Swadaya.  Jakarta.

Wahyu, K.  2015.  Pengendalian Uret pada Tanaman Tebu (Saccharum officinarum).  Seri Liptan, Sinar Tani: Edisi 28 Janurai – 3 Februari 2015, No.3592 Tahun XLV. Jakarta.


Bagikan Artikel Ini  

Waspada Epidemi Penyakit Luka Api

Diposting     Senin, 06 Juni 2022 11:06 am    Oleh    perlindungan



Penyakit luka api pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1881. Serangan yang parah terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan pada tahun 1979 dan 1995. Baru-baru ini, penyakit luka api kembali dijumpai pada pertanaman tebu di Indonesia setelah sekian lama keberadaan penyakit ini jarang ditemukan. Kejadian ini diduga akibat hilir mudik varietas tebu yang rentan, budidaya yang kurang baik, dampak perubahan iklim, serta patahnya ketahanan varietas. Penyebaran penyakit ini cukup cepat sehingga perlu diwaspadai dengan pencegahan sedini mungkin agar serangan tidak meluas.

Awalnya Ustilago scitaminea diduga sebagai penyebab penyakit ini, namun hasil identifikasi lebih mendalam penyakit ini disebabkan oleh Sporisorium scitamineum. Patogen ini menginfeksi jaringan muda melalui bagian meristem pada mata tunas lateral maupun tunas apical. Miselia patogen tumbuh di dalam jaringan tunas, sehingga terbentuk seperti cambuk diselimuti spora tebal dari pangkal hingga ujung. Gejala yang parah memperlihatkan tunas apical tampak gosong berwarna hitam. Selain menghasilkan spora yang sangat banyak dan mudah tersebar, patogen ini mampu membentuk teliospora, yaitu struktur istirahat yang terbentuk apabila kondisi lingkungan kurang menguntungkan. Teliospora ini menyebabkan patogen dapat bertahan di perkebunan tebu hingga sekitar dua tahun lamanya. Menurut Kristini (2022), Penyakit luka api dapat menyebabkan kehilangan hasil bobot tebu sebesar 73% yang mana setiap serangan 2% menyebabkan kehilangan hasil sebesar 5%.

Gambar 1. Perkembangan gejala penyakit luka api: a. tunas apical/ujung membentuk seperti cambuk diselimuti spora tebal, b dan c. tunas apical tampak gosong berwarna hitam

(sumber: dokumentasi pribadi)

Dyasti et. al. (2021), melaporkan bahwa intensitas penyakit luka api akan meningkat di Provinsi Jawa Barat, namun terjadi penurunan di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur berdasarkan model peramalan y = 0.64 + 0.63x. Namun jika tindakan pengendalian dan antisipasi dampak perubahan iklim tidak dilakukan, luas serangan akan semakin meningkat di sentra-sentra pertanaman tebu di Indonesia.

Pengendalian penyakit luka api yang dapat dilakukan adalah dengan cara mekanis (eradikasi sumber inokulum), kultur teknis (sanitasi kebun), penanaman varietas tahan antara lain PS 862, PS 941, PS 882, dan VMC-76-16, serta dengan aplikasi fungisida kimia berbahan aktif flutriafol (P3GI, 2022).

Penulis : Akhmad Faisal Malik dan Romauli Siagian

PUSTAKA

Dyasti F., Akhmad Faisal Malik, Bibit Bakoh. 2021. Model Peramalan Perkembangan Penyakit Luka Api Pada Pertanaman Tebu Di Indonesia. Jurnal Pertanian Presisi. Vol. 5:(2). 109-125.

Kristini, A. 2002. Penyakit Penting pada Tanaman Tebu; Bimbingan Teknis Kapabilitas Penangaan OPT Tebu. Pasuruan: 29 Maret-1 April 2022.

Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. 2002. Konsultasi dan Bimbingan Teknis Kapabilitas Penangaan OPT Tebu. Pasuruan: 29 Maret-1 April 2022.


Bagikan Artikel Ini  

Sugarcane Mosaic Virus (SCMV)

Diposting     Rabu, 05 Januari 2022 03:01 pm    Oleh    perlindungan



Tebu merupakan tanaman yang ditanaman diseluruh dunia di daerah tropis dan subtropis. Selain diambil gulanya tanaman tebu juga menghasilkan biofuel karena tebu dapat digunakan secara langsung untuk menghasilkan etanol. Produk sampingan produksi gula tebu seperti jerami dan ampas tebu dapat digunakan untuk memproduksi biofuel. Produk sampingan tebu juga banyak mengandung molase, rum yang dapat digunakan sebagai pakan ternak.

Sugarcane mosaic virus (SCMV) merupakan salah satu virus utama pada tanaman tebu. Virus ini menyerang secara sistematik pada tanaman tebu. Masa inkubasi umumnya sekitar 10 hari, tetapi kadang-kadang mencapai 20-30 hari. Penyakit ini pertama kali dijelaskan pada tahun 1892 oleh Musschenbroek di daerah jawa yang dikenal sebagai “penyakit belang kuning”. Sebelum tahun 1990-an para peneliti menyimpulkan bahwa penyakit ini disebabkan oleh Sugarcane mosaic virus (SCMV) yang telah diklasifikasikan sebagai spesies virus baru penyebab penyakit mosaic oleh International Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV) yang didasarkan pada karakteristik molekulernya.

Jika batang tanaman tebu yang terinfeksi diratun atau pada batang yang digunakan sebagai bahan perbanyakan, menyebabkan virus dapat terakumulasi dalam jumlah besar. Hal tersebut disebabkan karena tetapi virus dapat bergerak cepat dalam ikatan pembuluh bersama-sama dengan aliran nutrisi tanaman Akibatnya virus dapat menyebar ke hampir semua jaringan tanaman tebu. Pada tanaman tebu yang terinfeksi virus menyebabkan klorofil hancur, kemampuan dari tanaman tebu untuk melakukan fotosintesis menurun, pertumbuhannya terhambat, menghasilkan ruas yang lebih pendek, akar menjadi lebih pendek, tingkat perkecambahan menjadi menurun, hasil batang tebu menurun, menurunkan kadar sukrosa, dan kecepatan kristalisasi yang pada akhirnya dapat mengurangi hasil tebu sebesar 10-50% (Li et.al. 2017). Dalam tulisan ini, karakteristik virus, metode identifikasi, serta strategi pengendalian SCMV akan dibahas sebagai bahan informasi serta referensi pengendalian terhadap SCMV.

A. Karakteristik penyakit mosaic

1. Gejala penyakit

Pada bagian tengah dan bawah daun baru terdapat banyak garis kuning dan hijau yang tidak beraturan, garis-garis tersebut berselang seling dengan urat-urat daun dan akan lebih jelas terlihat jika dilihat dibawah sinar matahari dibandingkan dengan daun tanaman tebu yang sehat seperti terlihat pada Gambar 1a-b. Pada beberapa daun tebu ada yang menunjukkan gejala sebagian besar daun berwarna hijau normal dengan hanya terdapat sedikit garis kuning pucat, dan pada beberapa daun tebu lainnya menunjukkan gejala terjadi klorosis  pada seluruh permukaan daun. Daun dengan gejala berat akan berubah menjadi kuning atau kuning keputihan dengan hanya menyisakan beberapa spot hijau atau sejumlah kecil nekrosis seperti terlihat pada Gambar 1.c. Pada daun muda gejala yang tampak adalah daun menggulung secara tidak normal seperti terlihat pada Gambar 1.d (Grisham et.al.2011).

Gambar 1. Gejala infeksi SCMV pada tanaman tebu (a) daun sehat, (b) daun terinfeksi, (c) daun yang terinfeksi berat, (d) daun bagian atas yang menggulung secara tidak normal (Sumber: Guilong, 2021)

2. Inang

Inang dari virus SCMN adalah Panicum miliaceum , Setaria italilica L. Setaria viridis L, Sorghum halepense L., Sorgum sundanense (Piper) Stapf dan lebih dari 100 spesies dalam family Graminae.

3. Transmisi

Sumber infeksi utama SCMV adalah tanaman tebu yang terinfeksi serta beberapa tanaman inang lainnya. Transmisi SCMV terutama oleh beberapa vector kutu seperti Dactynotus ambrosiae, Hysteroneura setariae, Longiunguis sacchari, Rhapalosiphum maidis, dan Toxoptera graminum.  Semut juga memiliki pengaruh terhadap penularan yang tidak langsung dimana ketika semut tersebut berikteraksi dengan kutu daun di pertanaman tebu yang terinfeksi SCMV. Alat pertanian juga berperan dalam penularan virus SCMV terutama alat pemotong (Raza, 2017). Diagram jalur transmisi  dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2.  Daur penyakit SCMV

4. Epidemiologi

Tingkat keparahan SCMV di lahan tebu berkaitan erat dengan varietas tebu, lokasi, kondisi iklim, serta inang perantara. Tanaman tebu muda lebih rentan dibandingkan dengan tanaman tebu yang telah dewasa. Lingkungan yang kering dan kurang curah hujan sangat mendukung dalam reproduksi kutu daun, yang mendorong penyebaran penyakit SCMV menjadi meningkat, tetapi iklim yang sangat panas tidak kondusif untuk penularan penyakit karena menyebabkan poliferasi virus menjadi lambat yang berkibat pada menurunnya gejala penyakit, dan kejadian penyakit menjadi ringan. Pada umumnya, penyakit SCMV banyak terjadi pada pertanaman tebu yang sanitasinya kurang baik, atau penanaman tebu dengan sistem tumpangsari. Factor-faktor penyebab terjadinya kejadian penyakit SCMV pada tanaman tebu adalah suhu yang tinggi, curah hujan rendah, dan penanaman monokultur dalam jangka waktu yang panjang (He et.al.2006).

5. Strategi Pencegahan dan Pengendalian

5.1. Pemanfaatan varietas tahan.

Seleksi dan distribusi varietas tahan penyakit merupakan tindakan pencegahan dan pengendalian yang paling ekonomis dan efektif terhadap SCMV.

5.2. Pemuliaan tanaman

Pemulian tanaman dengan menggunaan penanda molekuler serta perbaikan melalui rekayasa genetika merupakan metode yang efektif untuk mempercepat proses pemuliaan varietas tahan. Teknologi interferensi RNA berhasil digunakan untuk mengembangkan tebu transgenic tahan penyakit SCMV (Widyaningrum, 2021), tetapi sampai dengan saat ini belum ada tanaman tebu transgenic yang ditanam secara komersil di lapangan karena terkait regulasi.

5.3. Pengendalian dengan memperbaiki sistem budidaya

Pengelolaan lahan yang baik adalah cara lain yang efektif untuk meningkatkan ketahanan tanaman dan mengurangi penyebaran virus. Tindakan yang dilakukan meliputi: menghindari penanaman tanaman inang virus disekitar pertanaman tebu, segera memindahkan tanaman tebu atau gulma yang terinfeksi SCMV dari areal pertanaman tebu,  memperbaiki struktur tanah melalui pemupukan yang seimbang dan memperbaiki saluran irigasi, melakukan pengendalian terhadap kutu daun secara kimiawi dan biologis, serta melakukan rotasi tanaman dengan tanaman yang bukan inang SCMV seperti kedelai, ubi jalar, dan kacang tanah

Penulis : Merry Indriyati Karosekali, Romauli Siagian

Daftar Pustaka

Grisham, M.P. Mosaic. In A Guide to Sugarcane Diseases; Rott, P., Bailey, R.A., Comstock, J.C., Croft, B.J., Eds.; CIRAD Publication Services: Montepellier, France, 2011; pp. 249–254.

He, Y.S.; Li, R.M. Research Status of Sugarcane Mosaic Virus Disease in China. Sugar Crop. China 2006, 28, 47–49.

Li, Y.J.; Tang, S.Y.; Huang, Y.Z.; Duan, W.X.; Wang, Z.P.; Luo, T.; Lin, S.H. Occurrence and resistance analysis of sugarcane mosaic in Liuzhou and Laibin regions. China Plant Prot. 2017, 37, 51–55.

Pang, Z.; Dong, F.; Liu, Q.; Lin, W.; Hu, C.; Yuan, Z. Soil Metagenomics Reveals Effects of Continuous Sugarcane Cropping on theStructure and Functional Pathway of Rhizospheric Microbial Community. Front. Microbiol. 2021, 12, 369.

Raza, A.; Farooq, T. Sugarcane mosaic virus in sugarcane. In Pest Management Decision Guides; CABI Publishers: Wallingford, UK, 2017; p. 1.

Widyaningrum, S.; Pujiasih, D.R.; Sholeha, W.; Harmoko, R.; Sugiharto, B. Induction of resistance to sugarcane mosaic virus by RNA interference targeting coat protein gene silencing in transgenic sugarcane. Mol. Biol. Rep. 2021, 48, 3047–3054.


Bagikan Artikel Ini