KEMENTERIAN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

UPAYA MASIF TERHADAP SERANGAN ULAT KEPALA HITAM PADA PERKEBUNAN KELAPA

Diposting     Selasa, 30 Juli 2024 08:07 am    Oleh    perlindungan



Baru-baru ini diperoleh laporan dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali mengenai keberadaan ulat kepala hitam di kebun kelapa milik petani pekebun di Desa Tuwed, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana seluas 10-15 Ha. Pada saat diamati daun yang terserang adalah daun yang tua. Ulat menggerek jaringan epidermis daun dan yang tersisa hanya bagian kutikula. Pada daun yang intensitas serangan berat, dua sampai tiga helai daun pada bagian ujung menggulung menjadi satu bagian, menguning hangus seperti terbakar dan kering.

Bernama latin Opisina arenosella Walker (Lepidoptera: Xylorictidae), hama ini pertama kali dideskripsikan di India dan Sri Lanka pada pertengahan abad ke-19. Ulat kepala hitam (Black Head Caterpillar/BHC) menginvasi beberapa negara Asia, termasuk Myanmar, Bangladesh, Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Pakistan, serta kemungkinan invasi ke Indonesia pertama kali diduga terjadi di wilayah utara Indonesia (Aceh, Sumatera Utara, dan Riau) melalui wilayah yang terkena dampak hama ini di Malaysia atau Thailand (Lu et al, 2023).

Larva ulat kepala hitam membangun tempat makan yang dilapisi sutra di mana mereka memakan lamina daun kelapa dari permukaan daun bagian bawah dengan dilindungi oleh kotoran ulat/frass, sehingga mengakibatkan berkurangnya area fotosintesis tanaman yang terserang. Larva ditemukan di daun dan buah muda, sedangkan imago menunjukkan kemampuan terbang dan potensi penyebaran yang kuat.

Pihak Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali telah berupaya secara massif mengendalikan serangan hama ini, antara lain:

  1. Memberikan bantuan Pinjam Pakai 5 Unit mesin Power Sprayer lengkap dengan komponennya beserta 5 buah Drum besar kapasitas 250 liter kepada petani.
  2. Memberikan bantuan sarana pengendalian berupa pestisida biologi ( bahan aktif : Eugenol 20 g/l, Azadirachtin 0,02 g/l) sebanyak 4 liter dan Insektisida Kimia Dimacide 400 EC ( bahan aktif : Dimetoat 400 g/l ) sebanyak 61 Liter dengan teknik spraying menggunakan mesin power sprayer serta sistem injeksi (bor) pada bagian batang tanaman kelapa dengan dosis 15 cc/pohon.

Gejala serangan yang serupa juga ditemukan di kebun percobaan Ciomas dan Cibodas pada petak komoditas kelapa.  Selama ini kegiatan pengendalian yang dilakukan petugas setempat dengan cara mengaplikasikan Asefat melalui infus akar dengan dosis 20 ml/50 ml air jika tingkat serangan tinggi, jika ringan-sedang cukup 10 ml/50 ml air. Menurut beberapa literatur, sebagai tindakan pencegahan, daun pertama yang terserang dapat dipotong dan dibakar pada awal musim panas. Penggunaan agens biologi dapat dilakukan dengan pelepasan parasitoid larva/pupa (Goniozus nephantidis, Elasmus nephantidis (spesies coklat) dan Brachymeria nosatoi) (Aniyaliya et al., 2021). Jika serangan sangat parah dan biokontrol tidak efektif, pengaplikasian kimiawi dapat dilakukan di permukaan bawah daun dengan insektisida berbahan aktif Dichlorvos 0,02%, Malathion 0,05%, Quinalphos 0,05%, Endosulfan 0,05% atau Fosalone 0,05% (Adhi, 2016).

Hama ini merupakan serangga oligofagus dengan inang utama kelapa dan menyerang tanaman Palma lainnya. Selain itu, O. arenosella juga menyerang pisang, tebu nangka, jambu mete, jagung, nanas, dan karet. Ulat kepala hitam melewati empat tahap perkembangan berturut-turut: telur, larva, pupa, dan dewasa. Untuk strain O. arenosella India, waktu perkembangan tahap telur adalah 5-8 hari, tahap larva 42-48 hari, tahap kepompong 12 hari, sedangkan umur dewasa berkisar antara 5-8 hari pada suhu 26°C. Variabel iklim memengaruhi dinamika populasi hama di lapangan, dengan suhu rendah memperlambat atau menghambat pertumbuhan populasi. Pada suhu lingkungan yang rendah (misalnya pada bulan Januari di India), periode pra-oviposisi O. arenosella meluas hingga 3-4 hari. Selama bulan November, tingkat fekunditas dewasa mencapai tingkat tertinggi dengan imago betina menyimpan rata-rata 231,1 ± 19,6 butir telur. Suhu rendah pada bulan Januari menyebabkan tingkat eklosi telur rendah (2,7%), sehingga menghasilkan jumlah larva instar pertama terendah (4,17 ± 2,94 individu) dibandingkan bulan Maret (87,9 ± 14,9 individu). Hama ini mencapai tingkat kelimpahan tertinggi pada akhir musim panas, yaitu Juli-November (Lu et al, 2023).

Beberapa aspek yang memfasilitasi penyebaran hama antar dan dalam negara yaitu kemampuan terbang imago yang tinggi (di malam hari), serta jalur mobilisasi perdagangan dengan manusia sebagai carrier. Hal ini memerlukan respons yang waspada dan masif untuk mencegah jenis organisme maupun strain patogen yang lebih ganas sehingga dapat menyebabkan gangguan ekonomi global. Menurut KLHK (2015) Introduksi Invasive Alien Species (IAS), selain mengancam sistem ekologi, pada gilirannya juga akan menyebabkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Dengan demikian, pengamatan secara intensif dan strategi pengendalian hama terpadu termasuk budaya, biologi, dan pendekatan kimia dalam pengelolaan ekosistem sangat diperlukan, tentunya dengan dukungan sumber daya dan personel yang kompeten.

Penulis: Farriza Diyasti, Eva Lizarmi, Yani Maryani

Sumber Pustaka :

[KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2015. Strategi Nasional dan Arahan Rencana Aksi Pengelolaan Jenis Asing Invasif di Indonesia. Diakses pada 10 Juli 2023 pada ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/STRANAS_Jenis_Invasif.pdf

Adhi, RK. 2016. Ulat Pemakan Daun Kelapa dan Cara Mengendalikannya. Balai Besar Pelatihan Pertanian Binuang

Lu Hui, et al., 2023. Ekologi, sejarah invasi dan pengelolaan ulat kepala hitam kelapa yang didorong oleh keanekaragaman hayati Opisina arenosella di Asia. https://doi.org/10.3389/fpls.2023.1116221 diakses tanggal 8 juli 2023 pada: https://www-frontiersin-org.translate.goog/journals/plant-science/articles/10.3389/fpls.2023.1116221/full?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc&_x_tr_hist=true

MD Aniyaliya, JP Patel, PB Patel and NP Trivedi. 2021. Goniozus nephantidis: A hymenopteran weapon for management of coconut black headed caterpillar. The Pharma Innovation Journal 2021; SP-10(8): 461-463.


Bagikan Artikel Ini  

Aksi Gerakan Pengendalian Oryctes rhinoceros di FOOD ESTATE Kalimantan Tengah

Diposting     Jumat, 20 Oktober 2023 10:10 am    Oleh    perlindungan



Pembangunan pertanian di Indonesia dihadapkan pada masalah isu perubahan lingkungan strategis global dan ketahanan pangan nasional.  Beberapa permasalahan tersebut diantaranya, peringatan musim kemarau, adanya himbauan dari WFO mengenai ancaman krisis pangan, penyediaan pangan bagi 270 juta penduduk Indonesia, daya beli masyarakat terhadap produk pertanian yang lemah, dan gangguan stok pangan nasional. Masalah lainnya di sektor pertanian adalah inefisiensi pengelolaan lahan dalam kaitannya dengan luas dan status lahan yang digarap petani, produktivitas yang masih rendah, penggunaan teknologi yang masih terbatas serta inovasi yang lemah.

Food Estate (FE) merupakan salah program strategis pertanian nasional dalam upaya meningkatkan produktivitas yang diusahakan dalam skala luas dengan penerapan mekanisasi dan digitalisasi serta berbasis korporasi petani. Food Estate merupakan konsep pengembangan produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan yang berada di suatu kawasan lahan yang luas.  Pengembangan FE di setiap wilayah diharapkan dapat mengatasi persoalan pangan, minimal di wilayah tersebut sebagai penyanggah pangan daerah dan/atau nasional.

Tujuan program Food Estate di Provinsi Kalimantan Tengah antara lain:

  1. Membangun kawasan tanaman pangan, perkebunan dan ternak terpadu yang berdaya saing, ramah lingkungan dan modern di Provinsi Kalimantan Tengah.
  2. Mendorong sinergitas dengan stakeholders dalam pengembangan FE berbasis tanaman pangan, perkebunan dan ternak di Provinsi Kalimantan Tengah.
  3. Mendorong terbentuknya kelembagaan petani berbasis korporasi di Provinsi Kalimantan Tengah

Direktorat Jenderal Perkebunan, melalui Direktorat Perlindungan Perkebunan menindaklanjuti hasil monitoring dan evaluasi (monev) terpadu Pengembangan FE di Kalimantan Tengah.  Salah satu permasalahan yang menjadi titik kritis yaitu pertumbuhan kelapa genjah kurang optimal. Hal ini disebabkan kurangnya pemeliharaan secara intensif dan adanya serangan Organisme Penganggu Tumbuhan (OPT). Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan, Pasal 48 menyatakan bahwa pelindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem pengelolaan hama terpadu. Penerapan pengendalian hama terpadu dilakukan melalui upaya preventif dan responsif. Tindakan responsif telah dilakukan oleh Direktorat Perlindungan Perkebunan terhadap serangan OPT pada kelapa genjah yaitu sebagai berikut:

1. Tanggal 22 s.d 25 Agustus 2023 Direktorat Perlindungan Perkebunan melakukan identifikasi OPT yang menyerang tanaman kelapa genjah di lokasi FE (Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas). Beberapa OPT yang menyerang tanaman kelapa genjah di lokasi FE tersebut, yaitu kumbang tanduk (Oryctes rhinoceros) dan kumbang janur (Brontispa longissima).

Gambar 1. Gejala Serangan dan Imago O. rhinoceros
Gambar 2. Gejala Serangan dan Imago B. longissima

2. Tanggal 20 September 2023 Direktorat Perlindungan Perkebunan melakukan gerakan pemasangan perangkap dengan feromon untuk menekan populasi dari kumbang O. rhinoceros. Kegiatan gerakan pengendalian O. rhinoceros dengan bantuan 80 perangkap dan 80 feromon di Kabupaten Pulang Pisau serta 20 perangkap dan 20 feromon di Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah.

Gambar 3. Penyerahan perangkap dan feromon ke kelompok tani
Gambar 4. Pemasangan perangkap dan feromon O. rhinoceros

Dalam melakukan pengendalian hama O. rhinoceros di Provinsi Kalimantan Tengah perlu kebijakan pembangunan perkebunan yang berkelanjutan dan dukungan pengendalian OPT yang berdasarkan pada pertimbangan ekologi sehingga tidak mengakibatkan resistensi dan resurjensi OPT, serta tidak membahayakan kesehatan manusia maupun lingkungan. Keberhasilan suatu aksi pengendalian, harus didukung dengan sinergisitas dan keterpaduan para pihak dalam mengoptimalkan gerakan pengendalian O. rhinoceros serta pemberdayaan masyarakat secara bersama-sama.

Penulis: Dedy Aminata, Bibit Bakoh dan Ratri Wibawanti


Bagikan Artikel Ini  

Pengendalian Kumbang Oryctes rhinoceros Pada Tanaman Kelapa

Diposting     Selasa, 01 Agustus 2023 02:08 pm    Oleh    perlindungan



Kelapa (Cocos nucifera) merupakan komoditas strategis yang memiliki peran sosial, budaya, dan ekonomi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Manfaat tanaman kelapa tidak saja terletak pada daging buahnya yang dapat diolah menjadi santan, kopra, dan minyak kelapa, tetapi seluruh bagian tanaman kelapa mempunyai manfaat yang besar, sehingga kelapa juga disebut sebagai “pohon kehidupan”. Sebagian besar produksi kelapa Indonesia dimanfaatkan untuk konsumsi dan industri dalam negeri. Industri tersebut berupa industri rumah tangga, kecil, dan menengah yang membutuhkan bahan baku kelapa sebagai upaya diversifikasi produk kelapa sehingga memiliki nilai tambah. Alternatif produk yang dapat dikembangkan dari kelapa antara lain: Virgin Coconut Oil (VCO), gula kelapa, oleokimia, kelapa parut kering, coconut cream/milk, arang tempurung, dan serat kelapa. Disamping itu, arti penting kelapa bagi masyarakat Indonesia juga tercermin dengan luasnya areal perkebunan rakyat yang mencapai 99,08 % dari 3.355.535 ha dan produksi sebesar 2.877.504 ton serta melibatkan 5,8 juta petani (Ditjenbun, 2021).

Produksi kelapa di Indonesia masih pasang surut karena sebagian besar merupakan perkebunan rakyat yang masih tradisional tanpa didukung inovasi teknologi yang memadai terutama dalam hal pemeliharaan tanaman, kondisi tanaman tua/rusak dan adanya serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT). Salah satu jenis OPT utama pada tanaman kelapa yang masih menjadi ancaman dalam upaya peningkatan produksi dan produktivitas kelapa, yaitu hama kumbang badak/tanduk (Oryctes rhinoceros). Berdasarkan data laporan serangan O. rhinoceros tahun 2022, hampir seluruh tanaman kelapa di Indonesia melaporkan adanya serangan hama ini. Luas serangan terbesar ada di Provinsi Jawa Tengah, Sulawesi Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Barat dan Sulawesi Utara.

Gambar 1. Peta luas serangan O. rhinoceros di Indonesia

Hama Oryctes rhinoceros termasuk dalam Ordo Coleoptera, Famili Scarabaeidae yang aktif pada malam hari dan tertarik cahaya lampu. Imago Oryctes rhinoceros membuat gerekan melalui tangkai pelepah sampai ke pucuk, mengarah vertikal ke titik tumbuh. Gejala serangan berupa bekas guntingan dengan pola seperti huruf ‘V” yang terlihat jelas saat daun membuka. Serangan kumbang Oryctes rhinoceros dapat menurunkan produksi sekitar 40%.

Adanya serangan hama Oryctes rhinoceros pada tanaman kelapa, sehingga perlu dilaksanakan kegiatan perlindungan tanaman. Konsep perlindungan tanaman pada dasarnya adalah sistem pengendalian populasi hama atau OPT lainnya dengan memanfaatkan semua teknologi yang dapat digunakan bersama untuk menurunkan dan mempertahankan populasi hama atau OPT lainnya sampai di bawah batas ambang toleransi. Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perkebuan mengalokasikan dana APBN TP tahun 2023 pada kegiatan pengendalian OPT tanaman kelapa (Oryctesrhinoceros) seluas 50 ha di Kabupaten Kulon Progo, Provinsi D.I. Yogyakarta.

Perlindungan tanaman dalam budi daya tanaman adalah sangat penting dan mutlak dilakukan, mengingat tanaman merupakan jaminan dalam mempertahankan produksi tanaman terhadap serangan OPT. Pada budi daya tanaman apabila tidak dilakukan perlindungan tanaman maka akan sulit dipastikan bahwa petani akan mampu panen sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu penanganan OPT dengan sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT) memegang peranan yang sangat strategis pada proses usaha perkebunan, baik pada tingkat on farm maupun di tingkat off farm. Kontribusi penanganan OPT terhadap pendapatan usaha tani perkebunan atau kontribusi terhadap kelangsungan usaha tani sangat signifikan bahkan menentukan keberhasilan. Untuk mengendalikan serangan kumbang Oryctes rhinoceros pada tanaman kelapa, berikut teknologi pengendalian yang dapat diterapkan oleh petani kelapa:

1. Sanitasi merupakan pembersihan seluruh tempat berkembang biak Oryctes rhinoceros seperti tumpukan serbuk gergaji, batang kelapa atau kayu yang sudah lapuk, dll. Selanjutnya tumpukan batang kelapa atau material lain yang dapat menjadi tempat berkembangbiak Oryctes rhinoceros dimusnahkan.

Gambar 2. Breeding sites O. rhinoceros pada batang kelapa lapuk

2. Penghancuran tempat peletakkan telur dan dilanjutkan dengan pengumpulan larva untuk dibunuh dan dilakukan pengutipan (handpicking) terhadap kumbang dewasa di tanaman yang terserang apabila jumlahnya masih terbatas.

3. Pengumpulan kumbang Oryctes rhinoceros secara langsung dari lubang gerekan pada tanaman kelapa dengan menggunakan alat kait berupa kawat. Tindakan ini dilakukan setiap 3 bulan apabila populasi 3-5 ekor/ha, tiap 2 minggu jika populasi 5-10 ekor, dan setiap minggu pada populasi Oryctes rhinoceros lebih dari 10 ekor.

Gambar 3. Lubang gerekan O. rhinoceros pada pangkal pelepah kelapa

4. Pengendalian Oryctes rhinoceros secara biologi diantaranya menggunakan jamur Metarhizium anisopliae dan Baculovirus oryctes. Jamur Metarhizium anisopliae dapat menyebabkan kematian pada stadia larva Oryctes rhinoceros dengan gejala mumifikasi yang tampak 2-4 minggu setelah aplikasi. Baculovirus oryctes juga efektif mengendalikan larva maupun kumbang Oryctes rhinoceros.

Gambar 4. Larva O. rhinoceros terinfeksi (a) Metarhizium sp. dan (b) Baculovirus
  • Aplikasi dengan menaburkan Metarhizium anisopliae dengan dosis 20 g/m2 (dalam medium jagung) pada tumpukan bahan organik/sarang aktif (trapping).
  • Jamur juga dapat diaplikasikan pada perangkap yang dibuat dari batang kelapa maupun perangkap permanen yang ditaburi dengan serbuk gergaji dan biakan Metarhizium anisopliae.
  • Pada kotak perangkap dengan ukuran 1 x 1 x 0,5 m3 ditambahkan serbuk gergaji setinggi 8 cm kemudian ditaburi sebanyak 25 g Metarhizium anisopliae dan diaduk.
  • Kotak perangkap ditambahkan serbuk gergaji sampai setinggi 0,5 m dan 25 g Metarhizium anisopliae kemudian diaduk merata.
  • Perangkap dibuat sebanyak 5 perangkap per ha.
  • Serbuk gergaji dalam perangkap perlu diganti setiap 3 bulan.
Gambar 5. Perangkap O. rhinoceros dengan: (a) batang kelapa dan (b) permanen

5. Pemerangkapan Oryctes rhinoceros menggunakan feromon trapping (ferotrap) berupa feromon sintetik yang digantungkan pada perangkap (ember plastik atau pralon). Kebutuhan feromon sebanyak 1-2 sachet per ha dan penggantian feromon dilakukan setiap 3 bulan.

Gambar 6. Jenis-jenis ferotrap kumbang O. rhinoceros

6. Pemanfaatan kanfer (naftalene balls) sebagai penolak (repellen). Pada tanaman kelapa berumur 3-5 tahun digunakan 3,5 g kanfer per tanaman yang diletakkan pada tiga pangkal pelepah di bagian pucuk. Aplikasi diulang setiap 45 hari.

7. Pemanfaatan serbuk mimba (powdered neem oil cake) sebanyak 250 g dicampur dengan 250 g pasir kemudian diaplikasikan pada pucuk kelapa yang menjadi tempat masuk Oryctes rhinoceros. Aplikasi dilakukan pada 3 – 4 pangkal pelepah di bagian pucuk dengan interval 45 hari.

Penulis : Yuni Astuti, Ratri Wibawanti dan Bibit Bakoh

DAFTAR PUSTAKA

Alouw, J.C. 2007. Feromon dan Pemanfaatannya dalam Pengendalian Hama Kumbang Kelapa Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae). Buletin Palma 32: 12-21.

Anonim. 1993. Baku Operasional Pengendalian Terpadu Hama Kumbang Kelapa (Oryctes rhinoceros L.). Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta.

Astuti, M., Hafiza, Elis Y, Destiana M., Agus R.W., dan Irfan M.N. 2014. Pedoman Budidaya Kelapa (Cocos nucifera) yang Baik. Direktorat Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Direktorat Perlindungan Perkebunan. 2017. Teknis Pengamatan dan Pelaporan OPT Perkebunan. Direktorat Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Diyasti, F., Merry I.K., Cecep S., dan Dwimas S. 2021. Pengenalan dan Pengendalian OPT pada Tanaman Kelapa. Direktorat Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Hosang, M.L.A. 2021. Pengenalan dan Pengendalian OPT Tanaman Kelapa dan Sagu. Prasaran pada Pertemuan Pembuatan Buku Saku 2021 di Bogor. Balai Penelitian Tanaman Palma. Manado.

Tim Direktorat Perlindungan Perkebunan.  2017. Instruksi Kerja Pengamatan dan Pengendalian OPT Penting Tanaman Perkebunan. Direktorat Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian. Jakarta.


Bagikan Artikel Ini  

Sepak Terjang Thosea monoloncha Menghabisi Daun Kelapa Indonesia

Diposting     Senin, 03 Juli 2023 12:07 pm    Oleh    perlindungan



Hama ulat api dari famili Limacodidae sudah tidak asing sebagai penghuni tetap ekosistem kelapa di Indonesia. Dengan ciri khas larva berwarna menarik, dan sensasi panas jika terkena kulit manusia, hama ini pernah menjadi outbreak di beberapa sentra perkebunan kelapa di Indonesia dengan hanya menyisakan tulang daunnya saja.  Dari beberapa genus Limacodidae, Thosea memiliki spesies terbanyak dan inang spesifik (Hosang et al. 1992). Sejarah mencatat sepak terjang spesies Thosea monoloncha yang bermula dari status OPT Karantina (OPTK) A1 hingga OPTK A2 saat ini, sebagai berikut (Widyantoro et al., 2021):

1. Pertama kali diidentifikasi sebagai T. monoloncha Meyrick di Papua New Guinea pada tahun 1889, namun sebagai spesies yang berbeda yaitu Autocopa monoloncha kemudian pada tahun 1924, Hulstaert mengidentifikasi kembali sebagai T. axiothea dengan ciri dan struktur tubuh sama dengan T. monoloncha.

2. Pada tahun 1931, ditemukan spesies dengan karakteristik yang sama dengan T. monoloncha di Maluku (Ambon) dan diidentifikasi sebagai T. caliginosa Hering, kemudian pada tahun 1935 ditemukan T. moluccana Roepke di Maluku Utara (Bacan).

3. Dilihat dari segi historis, menurut Holloway et al. (1987) serangga ini termasuk endemis pada sentra produksi kelapa di Sulawesi, Maluku, Maluku Utara dan Papua New Guinea. Zhang (1994) menambahkan bahwa T. monoloncha memiliki pola sebaran terbatas di Indonesia dan Papua New Guinea.

Gambar 1. (A) Larva dan (B) Gejala serangan T. monoloncha pada kelapa (Widyantoro et al., 2021)

4. Holloway (1997) telah menetapkan pulau Sulawesi sebagai habitat alami spesies Lepidoptera dengan nilai keanekaragaman cukup tinggi. Merujuk pada tahun sebelumnya pada daerah yang sama, Balai Penelitian Palma melaporkan kejadian serangan T. monoloncha pada kelapa di Kupa- Kupa, Halmahera Utara pada tahun 1999.

5. Tahun 2014 laporan Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Halmahera Utara menunjukkan bahwa T. monoloncha menyerang pertanaman kelapa di Pulau Tolonuo dengan intensitas serangan berat, sedang dan ringan dengan luasan berturut-turut 32, 20 dan 35 ha. Larva yang ditemukan dapat menghabiskan epidermis bawah, lamina daun sampai tertinggal lidi. Kehilangan lamina daun kelapa mencapai 95% (Sambiran et al. 2017).

6. Laporan terbaru menunjukkan, T. monoloncha menjadi hama penting pada perkebunan kelapa di Filipina (Barantan, 2020).

Berikut beberapa regulasi terkait dengan keberadaan T. monoloncha di Indonesia:

T. monoloncha menyelesaikan siklus hidupnya yang terdiri dari stadia telur, larva, pupa dan serangga dewasa (ngengat) selama kurang lebih 35 hari (Cock et al., 1987). Ngengat betina mampu meletakkan telur sebanyak 200 butir selama hidupnya. Larva menyukai tanaman kelapa dan kelapa sawit muda dengan tingkat serangan pada tanaman belum menghasilkan mencapai 92,98%, sedangkan kerusakan tanaman menghasilkan 87,82% pada kategori sangat berat (Wagiman et al., 2012). Larva muda merusak bagian bawah lamina daun mulai dari pinggir kearah lidinya. Bagian yang pertama kali diserang adalah anak daun pada bagian ujung pelepah. Akibatnya daun menjadi kering, pelepah menggantung dan buah gugur.

Ledakan populasi T. monoloncha diduga kuat terjadi akibat beberapa hal berikut:

  1. Karakteristik hama dengan siklus hidup yang pendek dapat berkembangbiak maksimal dalam waktu 2 bulan.
  2. Kondisi inang berupa tanaman kelapa dengan jarak tanaman yang rapat memudahkan hama mendapatkan makanan berpindah dari satu tanaman ke tanaman lain.
  3. Lingkungan yang mendukung berupa cuaca yang ekstrim selama 2 bulan, memungkinkan kurang berperannya mikroba antagonis dan musuh alami hama ini secara maksimal.
  4. Keterbatasan petugas pengamat di lapangan sehingga tidak diperoleh data populasi hama yang akurat.

Kasus outbreak T. monoloncha yang terjadi di Maluku Utara cenderung mengelompok, dan cenderung tertahan penyebarannya ke lokasi lain karena adanya barrier alami berupa lautan. Hal ini cukup menguntungkan, namun perlu diperhatikan dengan seksama bahwa alat transportasi dan mobilitas manusia dapat berpotensi sebagai media penyebaran efektif bagi imago T. monoloncha.

Beberapa pendekatan teknik pengendalian yang dapat dilakukan saat spesies ini sudah berada di lapangan yaitu dengan menggunakan Light Trap; pengendalian hayati berupa mikroba antagonis seperti  Bacillus thuringiensis, Cordyceps militaris dan virus Multi-Nucleo Polyhydro Virus (MNPV); parasitoid yang dapat diperbanyak dan dikonservasi dengan menyediakan makanan bagi imago parasitoid berupa beberapa gulma seperti Antigonon leptopus, Turnera subulate, Turnera ulmifolia Euphorbia heterophylla, Cassia tora, Boreria alata, Elephantopus tomentosus dan tanaman penutup tanah. Dengan kata lain, clean weeding tidak dianjurkan pada areal perkebunan (Tondok, 2012).

Penulis: Farriza Diyasti, Eva Lizarmi, Yani Maryani

Sumber Pustaka         :

[Barantan]. Badan Karantina Pertanian. 2020. Lampiran Jenis Organisme Penggangu Tumbuhan Karantina. Jakarta: Pusat Karantina Tumbuhan dan Keamanan Hayati Nabati.

Cock MWJ, Godfray HCJ, and Holloway JD. 1987. Slug and nettle caterpillars: The biology, taxonomy and control of the Limacodidae of economic importance on palms in South-east. Wallingford: CAB International Publisher.

Holloway JD, Cock MJW, Chenon RD. 1987. Systematic account of South East Asian Pest Limacodidae. Wallingford: CAB International Publisher.

Holloway JD. 1997. Sundaland, Sulawesi and eastwards: a zoogeographic perspective. Malayan Nature Journal 50: 207-227.

Hosang MLA, Lolong AA, Mawikere J. 1992. Kemampuan makan larva Thosea monoloncha Meyrick. Buletin Balitka 16: 53-56.

Sambiran WJ, Lala F, Susanto AN, Soetopo D, Hosang MLA. 2017. Outbreaks of coconut pest Thosea monoloncha Meyrick (Lepidoptera: Limacocidae) at Tolonuo Island, North Maluku. Buletin Palma 17 (2): 127-137.

Tondok ET. 2012. Keragaman Cendawan Endofit pada buah kakao dan potensinya untuk pengendalian busuk buah Phytophthora [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB.

Wagiman, F.X., Hosang, M.L.A., dan Lala. F. 2012. Dampak serangan hama belalang Sexava terhadap kerusakan bunga betina dan buah kelapa. Prosiding Seminar Nasional: Peran Penelitian Bidang Pertanian dan Perikanan dalam Mewujudkan Kedaulatan Pangan untuk Kesejahteraan Petani dan Masyarakat. Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 15 September 2012. p. 347-356.

Widyantoro, A., Arianti, K., Al Qosam, AJ. 2021. Status Sebaran Thosea Monoloncha pada Kelapa dan Potensi Inang terhadap Komoditas Pertanian Di Maluku Utara. Crop Agro Vol. 14 No.1 – Januari 2021.


Bagikan Artikel Ini  

Ulat Pemakan Daun Artona catoxantha Serang Ribuan Pohon Kelapa di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan

Diposting     Kamis, 11 Agustus 2022 10:08 am    Oleh    perlindungan



Kabupaten Banyuasin merupakan penghasil kelapa terbesar di Provinsi Sumatera Selatan. Sayangnya hilirisasi produksi perkebunan kelapa ini belum banyak dilakukan di kabupaten yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Musi Banyuasin. Berdasarkan data statistik perkebunan Indonesia tahun 2019-2021, luas areal perkebunan kelapa di Kabupaten Banyuasin mencapai 48.053 ha, dengan produksi sebesar 46.496 ton, produktivitas sebesar 1.231 kg/ha dan melibatkan 33.779 KK.  Perkebunan kelapa ini seluruhnya dikelola oleh rakyat dan belum sepenuhnya didukung oleh inovasi teknologi yang memadai, sehingga menjadi kendala dalam upaya meningkatkan produksi. Selain itu, Provinsi Sumatera Selatan juga memiliki potensi yang besar sebagai penghasil kopra. Sebelum pandemi covid-19, Provinsi Sumatera Selatan dapat memproduksi kopra sebesar 57 ribu ton/tahun yang kini telah menembus pasar dunia. Dari sisi produksi, penghasil terbesar berasal dari Kabupaten Banyuasin yang mencapai 44 ribu ton per tahun. Potensi kelapa di Kabupaten Banyuasin sangat menjanjikan jika digarap dengan serius dengan berbagai turunannya. Hal ini dapat meningkatkan peluang pekerjaan bagi masyarakat di Provinsi Sumatera Selatan dan Kabupaten Banyuasin khususnya. Selain produk kopra, pasar ekspor juga membutuhkan produk dalam bentuk arang dan asap cair yang mempunyai nilai tinggi.

Beberapa permasalahan dalam budi daya tanaman kelapa di Kabupaten Banyuasin, antara lain: fluktuasi harga karena keterbatasan akses pasar dan tidak tersedianya industri pengolahan di sekitar lokasi perkebunan kelapa, terbatasnya sarana produksi seperti pemupukan dan pengelolaan air di kawasan pasang surut yang menyebabkan tanaman tergenang, serta penggunaan benih untuk pengembangan dan peremajaan. Selain itu, kondisi tanaman kelapa yang sudah tua/rusak dan kurangnya pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT), sehingga serangan OPT meningkat bahkan berpotensi menjadi eksplosif. Berdasarkan laporan UPTD Balai Proteksi Tanaman Perkebunan, Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan diketahui serangan hama pemakan daun, Artona catoxantha pada awal tahun 2022 menyerang sekitar 10.000 tanaman kelapa di areal seluas 200 ha di Desa Sido Makmur, Kecamatan Muara Sugihan, Kabupaten Banyuasin.

Hama Artona catoxantha dapat menyebabkan kerusakan yang serius pada tanaman kelapa. Telur Artona catoxantha berbentuk oval, bening, berwarna kuning, berukuran 0.6 x 0.5 mm, dan dapat ditemukan secara berkelompok sebanyak 3 – 13 butir pada permukaan bawah daun. Seekor betina dapat menghasilkan telur 40 – 60 butir. Telur menetas antara 3 – 5 hari. Larva hampir sama dengan ulat siput (slug caterpillar), terdapat garis memanjang berwarna hitam pada bagian dorsal dan berwarna gelap pada bagian lateral. Kepala larva muda berwarna kuning dan larva tua berwarna kuning merah. Panjang badan larva tua 11 – 12 mm.  Stadium larva 16-23 hari. Pupa muda berwarna kekuning-kuningan, sedangkan pupa tua telah kelihatan bakal sayap dan mata yang berwarna hitam. Panjang pupa 12-14 mm dan lebar 6-7 mm.  Lama stadium pupa 8-13 hari. Imago berwarna coklat kehitaman pada bagian dorsal dan kuning pada bagian ventral. Rentangan sayap 13-16 mm. Imago mulai meletakkan telur setelah berumur sekitar 2 hari. Di dataran rendah, perkembangan dari telur sampai imago selama 31-35 hari atau rata-rata 35 hari, sehingga dalam satu tahun dapat menghasilkan sekitar 9 generasi.

Gambar 1. (a) telur, (b) larva, (c) pupa, dan (d) imago A. catoxantha (Sumber: Hosang, 2021)

Pada tingkat serangan berat, tanaman yang terserang tidak mati walaupun hampir seluruh daun menjadi kekuningan, kering dan gugur seperti bekas terbakar, bahkan yang tertinggal hanya lidinya.  Tetapi dua atau tiga bulan kemudian buah muda mulai gugur kemudian diikuti oleh buah yang lebih tua.  Pada keadaan seperti ini, tanaman kelapa tidak berproduksi normal selama 1 – 1,5 tahun, dan apabila terjadi serangan pada musim kemarau, produksi kelapa hanya sekitar 3 – 10% dari produksi normal.

Gambar 2. Gejala serangan A. catoxantha pada: (a) tanaman dan (b) daun kelapa
(Sumber: UPTD BPTP Sumsel, 2021)

Serangan Artona catoxantha ditandai dengan generasi yang tidak sama untuk setiap minggu. Pada minggu pertama hanya ada fase telur, minggu kedua hanya larva muda. Demikian juga pada minggu-minggu selanjutnya sampai dewasa. Hal inilah yang disebut generasi sinkron.  Setiap jenis parasitoid hanya dapat memarasit stadia tertentu dari hama Artona catoxantha, misalnya parasitoid Apanteles artonae Wlk., memarasit larva instar 2, sedangkan Bessa remota (Aldr.) memarasit larva instar 3 sampai larva instar 5. Pada waktu populasi Artona catoxantha berada pada generasi sinkron, larva instar 2 hanya berlangsung dalam waktu yang pendek, karena itu banyak parasitoid Apanteles artonae Wlk. akan mati sebelum generasi berikutnya berkembang. Oleh karena itu jumlah parasitoid tidak pernah cukup untuk mengendalikan Artona catoxantha.

Gambar 3. (a) Apanteles artonae, (b) Bessa remota dan (c) Callimerus arcufer
(Sumber: Hosang, 2021)

Teknik pengambilan contoh di lapangan dan pengendalian

  1. Pilih 2 pohon kelapa setiap hektar di daerah serangan Artona catoxantha.  Pohon dipanjat kemudian dipotong 2 pelepah yaitu 1 pelepah daun tua tetapi masih hijau dan yang lainnya diambil pada bagian tengah mahkota pohon. Kedua pelepah daun tersebut diturunkan perlahan-lahan dengan tali.
  2. Potong setiap anak daun ke 10 pada 1 sisi pelepah. Hitung jumlah telur, larva muda (belum ada strip hitam), larva tua (ada strip hitam) dan kepompong. Kepompong dibedah untuk mengetahui adanya parasitoid.
  3. Apabila jumlah telur dan larva muda lebih dari 3 pada setiap anak daun, dianjurkan pengendalian dengan menggunakan insektisida sistemik, Misal insektisida berbahan aktif dimehipo dengan konsentrasi 10-15 ml pada setiap pohon dengan injeksi batang untuk pohon tua atau infus akar untuk pohon muda.
  4. Apabila masih banyak ditemukan stadia Artona catoxantha yang masih hidup, tetapi kurang dari 3 telur atau larva muda pada setiap anak daun, maka dianjurkan untuk melakukan pengamatan ulang, tetapi jangan dilakukan pengendalian. Waktu pengamatan tergantung stadia Artona catoxantha yang ditemukan, yaitu: (a) stadia telur atau larva muda, lakukan pengamatan setelah 5 minggu; (b) stadia larva tua, lakukan pengamatan setelah 3 minggu; dan (c) stadia kepompong, lakukan pengamatan setelah 2 minggu.
  5. Apabila lebih dari separuh kepompong terserang parasitoid, maka serangan kemungkinan akan berhenti.  Petani dianjurkan untuk tidak melakukan pengendalian, tetapi segera melapor apabila ada serangan baru.

Pendekatan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dalam rangka pengendalian terhadap kejadian ledakan populasi hama Artona catoxantha seperti tertera pada gambar 4.

Gambar 4. Skema pendekatan PHT dalam pengendalian ledakan populasi Artona catoxantha
(Sumber: Hosang, 2021)

Pengendalian dapat diintegrasikan dengan cara sebagai berikut:

  1. Penggunaan perangkap cahaya lampu (light trap) pada malam hari untuk menarik ngengat Artona catoxantha. Perangkap dilengkapi dengan ember berisi air yang ditaruh di bawah cahaya lampu agar ngengat terjebak ke dalam air dan mati.
  2. Pemanfaatan musuh alami selain parasitoid (Apanteles artonae, Bessa remota, Callimerus arcufer), antara lain: burung pemakan ulat, predator Eucanthecona sp., dan jamur entomopatogen Beauveria bassiana.
  3. Aplikasi pestisida nabati berupa ekstrak akar tuba pada konsentrasi 3 % diaplikasi dengan cara penyemprotan.

Penyusun: Yuni Astuti,  Ratri Wibawanti,dan Andi Asjayani

Daftar Pustaka

Balitka. 1990. Pedoman pengendalian hama dan penyakit kelapa. Badan Litbang, FAO/UNDP, Dirjenbun, Direktorat Perlintan.

Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan. 2017. Pohon Kehidupan dari Pesisir Banyuasin. Dikutip dari https://disbun.sumselprov.go.id/pohon-kehidupan-dari-pesisir-banyuasin/, diakses pada tanggal 28 Juli 2022.

Rosalina, R. 2021. Laporan Serangan Hama Kelapa di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan melalui Whatsapp. Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan. Palembang.

Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Banyuasin. 2019. Soal Kelapa di Banyuasin, HKTI Jajaki Kerjasama dengan BI. Dikutip dari https://disbunnak.banyuasinkab.go.id/ 2019/12/05/soal-kelapa-di-banyuasin-hkti-jajaki-kerjasama-dengan-bi/, diakses pada tanggal 28 Juli 2022.

Diyasti F., Merry I.K., Cecep S., dan Dwimas S. 2021. Pengenalan dan Pengendalian OPT pada Tanaman Kelapa. Direktorat Perlindungan Perkebunan. Direktorat Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Hosang, MLA. 2021. Pengenalan dan Pengendalian OPT Tanaman Kelapa dan Sagu. Prasaran pada pertemuan pembuatan buku saku 2021 di Bogor. Balai Penelitian Tanaman Palma. Manado.

Marhaeni, LS. 2008. Inventarisasi Hama dan Penyakit Penting pada Tanaman Kelapa. Universitas Borobudur. Jakarta.

Sekretariat Direktorat Jenderal Perkebunan. 2020. Statistik Perkebunan Unggulan Nasional 2019 – 2021. Direktorat Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian. Jakarta.


Bagikan Artikel Ini