KEMENTERIAN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

Pengendalian Hama Tikus Pada Tebu

Diposting     Senin, 10 Oktober 2022 11:10 am    Oleh    perlindungan



Dalam meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman tebu, masih terkendala oleh adanya serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT).  Gangguan OPT tersebut dapat menimbulkan kerusakan berarti yang pada akhirnya menimbulkan kerugian hasil dan pendapatan petani.

Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah adanya serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) seperti tikus dan apabila tidak dilakukan upaya pengendalian akan menimbulkan kerusakan berarti yang pada akhirnya menimbulkan kerugian hasil/pendapatan petani.

Ada tiga spesies tikus yang sering dijumpai di perkebunan tebu  adalah tikus sawah  (Rattus argentiventer), tikus ladang (Rattus exulans), dan tikus wirok (Bandicota indica).

Gambar 1. Tiga spesies  tikus yang menyerang perkebunan tebu
Sumber: P3GI

Tikus memiliki daya rusak yang besar karena merusak tanaman dalam waktu yang singkat, merusak berbagai stadia tanaman, mampu bereaksi atau merespon terhadap setiap tindakan pengendalian, mempunyai mobilitas yang tinggi dan menimbulkan  kehilangan hasil dalam jumlah yang besar walaupun hanya dilakukan oleh beberapa ekor tikus saja.

Daya rusak tersebut didukung oleh: kemampuan indera (penglihatan, penciuman, pendengaran, perasa dan peraba); kemampuan fisik (menggali, memanjat, meloncat, mengerat, berenang dan   menyelam); dan kemampuan reproduksi yang tinggi.

a. Biologi

Tikus betina mempunyai 6 pasang puting susu yang terletak di kiri dan kanan pada bagian dada dan perut, memanjang sepanjang badan. Tikus sawah dapat berkembang biak pada umur 1,5 – 5 bulan setelah kawin. Seekor tikus betina dapat melahirkan 8 ekor anak setiap melahirkan. Pada saat periode puncak perkembangannya, 92% tikus bunting dijumpai sedang menyusui anaknya.  Oleh karena itu dalam satu sarang sering dijumpai induk tikus hidup bersama dengan 2 – 3 generasi anak – anaknya.  Masa bunting tikus sawah sekitar 3 minggu, dan dalam waktu kurang dari 1 minggu sekali tikus betina mengalami masa birahi.  Masa menyusui bagi anak tikus baru berhenti setelah berumur 18 – 24 hari.  Umur tikus bisa mencapai 1 tahun.

b. Gejala Serangan

Pada tanaman tebu yang muda, tikus merusak batang tebu sehingga daun menjadi layu.  Pada tanaman tebu tua, tikus merusak batang di dalam tanah, batang di atas permukaan tanah, dan pucuk tebu.  Tikus menyerang bagian batang sehingga tidak dapat diproses di pabrik menjadi gula karena banyak batang yang patah hingga roboh dan mati. Jumlah kebun yang diserang hama tanaman ini mencapai puluhan hektar dan lebih dari 60%-nya roboh. Hama tanaman ini menyerang tanaman tebu jika sumber makanan lainnya seperti padi atau jagung tidak ada.

Gambar 2.  Gejala serangan tikus pada bagian akar dan batang tebu
Sumber: P3GI

c. Pengamatan

Perlu pengamatan siang maupun malam hari untuk menggambarkan populasi hama tikus, di antaranya: (i) populasi liang aktif tikus; (ii) kerusakan pada tanaman tebu muda dan tebu tua; dan (iii) kerusakan pada tanaman palawija di sekitarnya (padi, jagung, kedelai).  Pengamatan dilakukan secara rutin dan sistematis, bersamaan dengan pengamatan hama tebu yang lain seperti hama penggerek tetapi dasar pengambilan keputusannya adalah berapa banyak tikus, lubang tikus dan gejala serangan tikus yang ditemukan/ diamati.  Cara perhitungan persentase serangan sebagai berikut:

d.  Pengendalian

Cara pengendalian tikus secara terpadu  adalah sebagai berikut:

1)Pengendalian secara kultur teknis yaitu dengan tanam dan panen serempak, serta sanitasi lingkungan pada sarang – sarang tikus dan gulma yang ada dalam kebun tebu.

2). Pengendalian secara mekanis:

  • Gropyokan dan penggalian liang
    Liang tikus dengan bantuan anjing terutama pada pematang-pematang sawah dan sekitar saluran irigasi. 

Gambar  3.   Gropyokan dengan menggunakan   anjing terlatih
Sumber: Ditlinbun

  • Emposan/ pengasapan beracun/fumigasi
    Sistem emposan asap beracun efektif bila dilakukan di pematang- pematang sawah atau tepi saluran irigasi dimana dijumpai banyak liang tikus yang aktif.

Gambar  4.   Jenis emposan tikus
Sumber: bbpadi

  • Perangkap
    Salah satu jenis perangkap tikus yang dapat digunakan adalah perangkap yang terbuat dari kawat.

Gambar  5. Jenis perangkap kawat tikus
Sumber: bibliotika.com

3) Penggunaan Musuh alami dengan menggunakan burung hantu (Tyto alba)

4) Pengumpanan beracun (rodentisida), baik berupa racun akut maupun racun antikoagulan. Aplikasi rodentisida dilaksanakan pada saat setelah tanaman padi dipanen.  Jika menggunakan racun antikoagulan pada musim hujan, maka disarankan memakai yang sudah dalam bentuk kubus (misal klerat RMB) untuk menghindari kehilangan rodentisida terbawa oleh aliran air hujan.

Penulis : Alimin, S.P., M.Sc.

SUMBER PUSTAKA

Achadian, Etik M.  2022.  Materi Bimtek Tebu: Hama-Hama Penting Pertanaman Tebu di Indonesia. P3GI. Pasuruan.

Ditlinbun.  2016. Lapdin Pengawalan dan Pembinaan serta Monev Daerah Endemis Pengendalian OPT Tansimpah di Kabupaten Indramayu. Ditlinbun, Ditjenbun. Jakarta.

P3GI. 1989.  Hama dan Penyakit Tanaman Tebu. P3GI. Pasuruan.

Wibawanti R., Cucu D. dan Alimin.  2011.  Pengenalan dan Pengendalian Hama Penting Tanaman Tebu.  Ditlinbun, Ditjenbun.  Jakarta.


Bagikan Artikel Ini  

Potensi Predasi Eucanthecona furcellata sebagai Pengendali Hayati UPDKS di Perkebunan Kelapa Sawit

Diposting     Kamis, 18 Agustus 2022 02:08 pm    Oleh    perlindungan



Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang berperan penting dalam peningkatan perekonomian Indonesia karena permintaan pasar dunia yang semakin tinggi. Saat ini Indonesia menduduki peringkat ke-1 sebagai produsen kelapa sawit dunia dengan luas areal pada tahun 2019 mencapai 14.456.611 ha. Sebagian besar kelapa sawit di Indonesia diusahakan oleh perusahaan besar swasta (PBS) yaitu sebesar 54,94 % atau seluas 7.942.335 ha dan perusahaan besar negara (PBN) sebesar 4,27 % atau 617.501 ha. Perkebunan rakyat (PR) menempati posisi ke-2 dalam kontribusinya terhadap total luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia yaitu seluas 5.896.755 ha atau 40,79 %. Perkebunan kelapa sawit tersebar di 26 provinsi di Indonesia dimana Pulau Sumatera memiliki luas lahan perkebunan kelapa sawit terbesar hingga mencapai 7.944.520 ha disusul oleh Pulau Kalimantan dengan luasan sebesar 5.820.406 ha.

Ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunannya sepanjang tahun 2019 mencapai 36,17 juta ton disusul dengan negara-negara Timur Tengah, seperti: India dan Pakistan. Nilai ekspor kelapa sawit Indonesia dalam wujud CPO dan turunannya cenderung fluktuatif dari tahun ke tahun selama tahun 2010-2019 dengan laju penurunan rata-rata sebesar 1,57% per tahun. Rata-rata harga CPO sepanjang tahun 2019 sebesar Rp 6.500 per kg. Hal ini dikarenakan banyak hambatan dalam budidaya kelapa sawit, yaitu serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT), salah satunya adalah hama. Serangan hama menyebabkan kerusakan pada tanaman hingga berdampak pada penurunan produksi kelapa sawit. Serangan ulat pemakan daun kelapa sawit (UPDKS), seperti: ulat api Setothosea asigna Eecke dan ulat kantung Mahasena corbetti Tams menyebabkan kehilangan hasil yang signifikan (Cendramadi, 2011). Serangan ulat api S. asigna dan ulat kantung M. corbetti tersebut menurunkan produksi sebesar 69 % pada tahun pertama dan bertambah hingga 96 % setelah tahun kedua (Simanjuntak et al., 2011). Serangan hama kelapa sawit dimulai dari pembenihan hingga tanaman menghasilkan dan pada serangan lebih lanjut menyebabkan kematian tanaman (Corley dan Tinker, 2003).

Gambar 1. (a) Ulat api S. asigna dan (b) ulat kantung M. corbetti

Teknik pengendalian yang umum dilakukan dalam mengatasi permasalahan tersebut dengan menggunakan insektisida kimia sintetik. Namun biaya untuk pengendalian ulat api S. asigna dan ulat kantung M. corbetti dapat mencapai Rp 20,67 juta per ha. Selain secara ekonomi berbiaya tinggi, pemanfaatan pestisida dapat menurunkan daya saing produk olahan kelapa sawit. Hal ini disebabkan oleh semakin meningkatnya kesadaran konsumen akan kesehatan, selain itu dari aspek ekologi, pestisida menimbulkan efek samping yang merugikan, antara lain: resurgensi, resistensi organisme bukan sasaran dan pencemaran terhadap lingkungan (Perangin-angin, 2009). Berkaitan dengan hal tersebut, maka diperlukan teknik pengendalian hayati yang ramah lingkungan dan berkesinambungan, salah satunya dengan memaksimalkan peran predator atau pemangsa (Kiswanto et al., 2008). Predator tersebut dapat mengurangi populasi hama yang menyerang tanaman kelapa sawit. Pada perkebunan kelapa sawit keberadaan predator sangat rendah, salah satunya akibat terbunuh oleh pestisida kimiawi.

Salah satu predator hama ulat api S. asigna dan ulat kantung Mahasena corbetti adalah kepik predator Eucanthecona furcellata Wolff. dari famili Limacodidae (Susanto, 2012). Kepik Eucanthecona furcellata merupakan predator yang baik untuk dikembangkan menjadi sarana pengendalian hayati terhadap UPDKS khususnya ulat api S. nitens dan ulat kantung M. corbetti. Kemampuan Eucanthecona furcellata dalam memangsa ulat api di lapangan dengan siklus hidupnya yang pendek dan kemampuan reproduksi yang tinggi membuat predator Eucanthecona furcellata sangat potensial untuk diaplikasikan dalam pengendalian hama ulat api. Eucanthecona furcellata memangsa ulat api S. nitens dan ulat kantung M. corbetti dengan cara menusuk dan menghisap cairan ulat api. Pelepasan imago Eucanthecona furcellata di lapangan sebanyak 3-4 ekor per tanaman kelapa sawit dalam keadaan padat populasi ulat api S. asigna, yaitu 3-6 ekor per pelepah akan menjaga populasi hama berada di bawah ambang populasi ekonomi (Sipayung dkk., 1991).

Gambar 2. E. furcellata memangsa ulat api

Biologi Eucanthecona furcellata

Eucanthecona furcellata merupakan predator yang baik untuk dikembangkan menjadi sarana pengendalian hayati ulat perusak daun kelapa sawit khususnya ulat api. Hal ini mengingat siklus hidup Eucanthecona furcellata yang pendek, kemampuan berbiaknya tinggi, lama hidup imago yang Panjang (sekitar 2 bulan) serta kemampuan meletakkan telur pada helaian daun kelapa sawit, sehingga memungkinkan baik nimfa maupun imagonya hidup pada tajuk daun kelapa sawit dan aktif memangsa ulat api (Desmeis de Chenon, 1989; Sipayung dkk., 1991).

Fase Telur

Eucanthecona furcellata meletakkan telur dalam kelompok sebanyak 9 – 74 butir telur dan jumlah telur per kelompok berbeda tergantung kepada spesiesnya. Eucanthecona furcellata merupakan spesies yang paling tinggi kemampuan reproduksinya. Betina bertelur rata-rata 2-4 kali dalam waktu 23 hari. Bagian samping telur berwarna hitam dengan bagian atasnya lebih bersih dan bercahaya, kecuali pada bagian tengahnya. Ukuran tinggi telur 1,02 mm dan lebar 0,88 mm (Sipayung dkk., 1991).

Gambar 3. Telur E. furcellata

Fase Nimfa

Nimfa Eucanthecona furcellata berwarna hitam pada bagian kepala dan kaki, abdomen jingga sampai kemerahan dengan garis putus-putus pada tepi dan tengah dari abdomennya. Dari stadia nimfa hingga dewasa mengalami 5 kali pergantian kulit. Perkembangan Eucanthecona furcellata dengan menggunakan ulat api S. nitens sebagai mangsa memerlukan waktu sekitar 4 minggu dari telur sampai imago dan jika diberi makan dengan S. asigna maka siklus hidup berkisar antara 44 – 76 hari (Desmier de Chenon, 1989). Nimfa instar satu yang baru menetas belum mau makan, nimfa instar dua mulai memakan hama ulat api pada daun kelapa sawit begitu juga instar tiga, empat, lima sampai imago (Sipayung dkk., 1991).

Gambar 4. Nimfa E. furcellata

Fase Imago

Imago Eucanthecona furcellata memiliki tiga pasang tungkai, tungkai berwarna hitam coklat, dan terdapat warna putih pada ruas femur. Warna tubuh didominasi coklat tua. Pada bagian dorsal terdapat totol berwarna putih yang membentuk pola segitiga. Bentuk tubuh pipih membulat, bagian bawah tubuh berwarna coklat muda dan terdapat garis memanjang bagian anterior dan posterior. Imago Eucanthecona furcellata jantan memiliki panjang 11,30 mm dan lebar 5,36 mm. Sedangkan imago betina sedikit lebih besar dengan panjang 14,65 mm dan lebar 6,86 mm.

Gambar 5. Imago E. furcellata

Dalam upaya mengendalikan UPDKS perlu dilakukan pembiakan secara massal Eucanthecona furcellata dengan mudah, dalam jumlah besar, dalam waktu cepat dan murah biayanya. Hal ini dapat dilakukan dengan memperbanyak Eucanthecona furcellata dalam insektarium, yaitu kotak dari kasa yang di dalamnya diletakkan bibit kelapa sawit yang kemudian dilepaskan satu pasang atau beberapa pasang Eucanthecona furcellata. Setiap hari Eucathecona furcellata diberi makan berupa ulat api yang hidup bahkan yang sudah mati. Sipaung (1990) mengungkapkan 14 ekor ulat S. asigna stadia 6-7 cukup untuk 100 ekor nimfa Eucanthecona furcellata per hari.

Gambar 6. (a) Insektarium dan (b) Antigonon leptopus

Dalam pelepasan predator Eucanthecona furcellata di lapangan lebih baik melepaskan nimfa instar terakhir dan imago. Nimfa dan imago tersebut dapat lebih lama tinggal pada tanaman kelapa sawit. Pelepasan predator lebih efektif ketika populasi larva UPDKS rendah (Desmier de Chenon et al., 1990). Pelepasan sejumlah besar predator secara periodik merupakan salah satu teknik pemanfaatan predator untuk mengendalikan UPDKS. Dalam jangka pendek, tindakan ini diharapkan akan dapat menekan populasi hama sasaran secara langsung. Sedangkan dalam jangka panjang, diharapkan dapat menggeser keseimbangan alami ke arah yang lebih menguntungkan sehingga ledakan populasi hama berikutnya dapat dicegah (Prawirosukarto dkk., 1991). Selain itu, untuk memperbanyak dan mempertahankan populasi predator di perkebunan kelapa sawit dapat dilakukan dengan mengurangi penggunaan insektisida kimia maupun herbisida dalam mengendalikan gulma sebagai sumber makanan bagi imago parasitoid. Media hidup dan tempat berlindung bagi predator Eucanthecona furcellata yaitu tanaman Antigonon leptopus atau yang biasa dikenal dengan bunga air mata pengantin.

Selain itu, untuk memperbanyak dan mempertahankan populasi predator di perkebunan kelapa sawit dapat dilakukan dengan mengurangi penggunaan insektisida kimia maupun herbisida dalam mengendalikan gulma sebagai sumber makanan bagi imago parasitoid. Media hidup dan tempat berlindung bagi predator Eucanthecona furcellata yaitu tanaman Antigonon leptopus atau yang biasa dikenal dengan bunga air mata pengantin.

Penulis: Yuni Astuti dan Ratri Wibawanti

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2018. Predator Ulat Api “Ëucanthecona furcellata”. Dikutip dari: https://membangunperkebunankelapasawit.blogspot.com/2018/05/predator-ulat-api-eocanthecona.html, diakses pada tanggal 9 Agustus 2022.

Diratika M, Yaherwandi dan Siska E. 2020. Kelimpahan Kepik Predator (Hemiptera: Reduviidae) Ulat Api pada Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat. Universitas Andalas. Padang. Dikutip dari Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol. 20 (1): 1-10 (https://www.jurnal.polinela.ac.id/JPPT), diakses pada tanggal 2 Agustus 2022.

Direktorat Perlindungan Perkebunan. 2013. Arti Penting OPT dalam Produksi Kelapa Sawit di Indonesia. Direktorat Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Kelompok Peneliti Proteksi Tanaman. 2020. Kunci Sukses Pengendalian Hama UPDKS di Perkebunan Kelapa Sawit. PPKS. Medan. Bahan Tayang disampaikan pada webinar tanggal 25 September 2020. Sekretariat Direktorat Jenderal Perkebunan. 2020. Statistik Perkebunan Unggulan Nasional 2019 – 2021. Direktorat Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian. Jakarta.


Bagikan Artikel Ini  

Predator Pemangsa Ulat Pemakan Daun Kelapa Sawit

Diposting     Senin, 18 Juli 2022 01:07 pm    Oleh    perlindungan



Gambar 1. Sycanus sp. mempredasi ulat api
Sumber: Pratama, 2021

Predator adalah jenis serangga yang memangsa serangga hama atau serangga lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Predator sering kali memiliki mangsa yang sama saat fase pradewasa dan dewasa. Namun, terdapat beberapa jenis predator yang fase pradewasa dan dewasanya membutuhkan mangsa yang berlainan. Beberapa predator dapat bersifat kanibal, terutama bila terjadi kekurangan makanan. Pada saat keadaan makanan terbatas, individu yang lemah akan dimangsa oleh individu yang kuat. Salah satu contohnya, imago Coccinellidae akan memakan telurnya sendiri yang baru diletakkan bila mangsanya yang berupa kutu-kutu tanaman tidak ditemukan (Borror et al., 1996).

Predator memiliki peranan penting dalam menekan populasi serangga hama karena dapat meningkatkan mortalitas hama. Kelimpahan serangga predator berkaitan dengan kelimpahan mangsa di lapangan, pengaruh hujan, dan pengaruh feromon dari serangga mangsa. Selain itu, vegetasi tanaman yang berada di sekitar lahan pertanaman juga memengaruhi kelimpahan serangga predator di lapangan (Idris et al., 2001). Kelimpahan serangga yang berperan sebagai predator pada perkebunan kelapa sawit didominasi dari ordo Hymenoptera, Hemiptera, dan Diptera (Hindarto, 2015).

Salah satu predator yang banyak ditemukan di perkebunan kelapa sawit di Indonesia yaitu Sycanus sp. (Hemiptera: Reduviidae). Menurut Kalshoven (1981), Sycanus sp. merupakan predator yang mampu menekan populasi ulat api/Setothosea sp. dan juga ulat bulu Darna sp.  Sycanus sp. aktif memangsa larva ulat pemakan daun kelapa sawit, hal ini menjadikan Sycanus sp. berperan sebagai predator penting yang menjaga ekosistem. Menurut Sastrosayono (2008), Sycanus sp. mampu membunuh ulat api dan memangsa hampir semua larva lepidoptera yang ada di perkebunan kelapa sawit.

Berdasarkan penelitian Fitriani (2009), pelepasan imago Sycanus sp. di lapangan sebanyak 3-4 ekor perpohon pada kondisi populasi ulat yang masih sedang (5-8 ekor per pelepah), dapat menjaga populasi hama berada di bawah ambang ekonomi. Sycanus sp. memiliki kemampuan tinggi dalam mencari dan menemukan mangsanya terutama saat populasi mangsa rendah, mempunyai keperidian yang tinggi, lama hidup imago yang panjang (±2 bulan), memiliki kemampuan untuk menempati seluruh relung mangsa, dan rostrum yang panjang memudahkan Sycanus sp. untuk menyerang berbagai larva dibandingkan dengan serangga predator yang lain, membuat predator ini sangat potensial untuk diaplikasikan dalam pengendalian hama ulat api (Zulkefli et al., 2004).

Gambar 2. Imago Sycanus sp.
Sumber: Rustam, et al., 2021

Sycanus sp. meletakkan telur pada helaian daun kelapa sawit, sehingga memungkinkan predator ini hidup pada tajuk kelapa sawit dan aktif memangsa ulat api (Abdul et al., 2016). Selain itu, Sycanus sp. mudah dikembangkan di laboratorium, mempunyai siklus hidup relatif panjang, serta berperan sebagai predator di semua stadia perkembangan mulai dari fase pradewasa sampai dewasa (Cahyadi, 2004). Implementasi pengendalian dengan memanfaatkan Sycanus sp. di tanaman inang lainnya menunjukkan daya predasi atau pemangsaan yang cukup baik.

Penulis : Aidha Utami , Yani Maryani dan Eva Lizarmi

Referensi:

Abdul, S., Wahyu, D.N., Hersanti, Sudarjat,, dan  Entun,  S.  2016. Biologi    dan    Perilaku Kawin Sycanus annulicornis Dohrn (Hemiptera: Reduvidae) yang diberi Pakan Tenebrio molitor L. (Coleoptera:  Tenebrionidae). Proceeding  Biology  Education Conference  (ISSN:2528-5742), Vol 13 (1) : 587-592.

Borror, D.J., Triplehorn, C.A., Johnson, N.F.1996. Pengenalan Pelajaran Serangga Ed. Ke-6. Partosoedjono, S, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

Cahyadi, A.T. 2004. Biologi Sycanus annulicornis (Hemiptera: Reduviidae) pada tiga jenis mangga [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Fitriani, S. 2009. Tingkat  keefektifan Sycanus annulicornis Dohrn [Hemiptera:  Reduviidae)  untuk mengendalikan Crocidolomia pavonana Zeller [Lepidoptera: Pyralidae]  pada  tanaman  kubis  [Brassicea Linn].

Hindarto, A. 2015. Keanekaragaman serangga pada perkebunan kelapa sawit pada umur tanaman yang berbeda di unit Kebun Rambutan PTPN III [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Idris, A.B., Roff, M.N., Fatimah, S.G. 2001. Effects of chili plant architecture on the population abundance of Aphis gossypii Glover, its coccinellid predator and relationship with virus disease incidence on chili (Capsicum annum). Pakistan J. Bioloical Science, 4 (11): 1356 -1360.

Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pests Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah. Jakarta(ID): Ichtiar Baru-van Hoeve.

Pratama, Y. 2021. Pengendalian Hama Pemakan Daun (Setothosea asigna) dengan menggunakan predator (Sycanus annulicornis) pada tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Medan (ID): Faperta, UMSU. [Skripsi].

Rustam, R., Salbiah, D., dan Polontar. 2021. Biologi Sycanus spp. Pemangsa ulat api (Setora nitens Walker) local Riau menggunakan mangsa larva Helicoverpa armigera Hubner di laboratorium. Riau (ID): Faperta, Univ. Riau.

Sastrosayono, S. 2008. Budidaya Kelapa Sawit. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka. Zulkefli, M., Norman, K., Basri, M.W. 2004. Life cycle of Sycanus dichotomus (Hemiptera: Reduviidae) a common predator of bagworm in oil palm. Journal of Oil Palm Research. 16(2): 50-56.


Bagikan Artikel Ini  

Pala Dan Hama yang dihadapi di Sistem Agroforestry “Dusung” Pulau Ambon

Diposting     Kamis, 14 Juli 2022 02:07 pm    Oleh    perlindungan



Pala merupakan komoditi unggulan di sektor pertanian yang memiliki nilai pasar menjanjikan karena nilai permintaannya cukup tinggi di pasar international. Persentase keseluruhan produksi pala dunia dihasilkan dari Indonesia sebesar 60%. Pada umumnya tanaman pala yang dikelola oleh petani merupakan tanaman pala yang telah berumur puluhan hingga ratusan tahun.

Pulau Ambon merupakan salah satu sentra penghasil Pala di Wilayah Maluku. Berdasarkan data statistik di Pulau Ambon terdapat luas lahan tanaman pala sebesar 1763 Ha yang produksi mencapai 329,80 ton. Uniknya di Pulau Ambon Perkebunan Pala menggunakan sistem agroforestry yang oleh warga lokal disebut Dusung. Dusung ialah pengelolaan tradisional dimana tanaman pala ditanam bersama dengan tanaman lain di satu lahan (Matinahoru, 2014).

Kendala yang sering dihadapi untuk peningkatan produksi pala adalah masalah hama dan penyakit dan ini sangat mempengaruhi penurunan produksi bahkan sampai gagal panen. Jenis hama yang menyerang tanaman pala adalah penggereka batang (Batocera sp.), rayap dan kumbang (Areoceum foriculatus). Sedangkan untuk penyakit utama yaitu kanker batang akibat serangan jamur Pytophthora palmivora, busuk buah, gugur daun dan pecah buah mentah (penyakit fisiologis).  

Gejala kerusakan batang pala akibat hama penggerek batang terlihat batang berlubang dengan diameter 0,5 – 1,0 cm. Lubang gerekan terlihat pada batang 1 – 2 m dari permukaan tanah. Lubang gerekan tampak adanya garis – garis mendatar dengan ukuran 1,5 – 2,0 cm dan lebar 2 – 3 mm, tampak juga serbuk – serbuk kayu bekas gerekan dan pada lubang gerek keluar cairan atau gum berwarna cokelat. Karakteristik dan larva dari hama ini berukuran 6 – 10 cm, berwarna putih agak cokelat dan pada bagian abdomen memiliki ruas 8 – 9, caput berbentuk oval dan berwarna cokelat kemerahan (Kalay et al.,2015).

Gambar 1. Larva Batocera hercules, Kulit pohon dan batang pohon pala dengan bekas gerekan larva
(Dok. Pribadi)

Salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk mengendalikan hama Batocera hercules dapat menggunakan metabolit sekunder dari jamur entomopatogen Beauveria bassiana. Penggunaan metabolit sekunder melalui infus akar pada tanaman pala di Desa Teluti Baru, kecamatan Tehoru mempunyai dampak yang positif ditandai dengan tidak ada penambahan lubang gerekan baru, muncul pertumbuhan akar baru pada tanaman, munculnya pucuk – pucuk baru dan juga kondisi tanaman yang makin sehat dan rimbun (BBPPTP Ambon, 2020). Kematian serangga disebabkan oleh kerusakan jaringan menyeluruh, karena toksin yang diproduksi oleh Beauveria bassiana. Serangga yang terinfeksi ditandai dengan warna kutikula tampak berkilat dan beraroma etanol. Selanjutnya warna kutikula akan memudar, kusam dan bagian posterior berlekuk serta mengecil.

Gambar 2. Larva B. hercules yang diselimuti miselium B. bassiana (Dok.pribadi)

Pengembangan B. bassiana untuk  pengendalian hama mempunyai potensi dan prospek baik. Patogen ini bersifat spesifik inang dan lokasi sehingga tidak berbahaya bagi manusia, musuh alami maupun lingkungan. Kemampuan produksi spora yang berbeda tersebut dapat terjadi karena mempunyai materi genetic yang berbeda sehingga mempunyai tanggapan terhadap lingkungan berbeda pula atau mempunyai pertumbuhan dan sporulasi yang berbeda (Pesireron M et al, 2019).

Penyakit yang sering dihadapi oleh petani pala di pulau Ambon ialah kanker batang. Kanker batang pala ditunjukkan dengan gejala adanya bercak kehitaman pada kulit batang dan pada bercak tersebut keluar cairan yang menyerupai warna karat. Apabila terjadi serangan berat dapat menyebabkan daun rontok, ranting kering dan akhirnya tanaman mati. Hasil uji coba dari BBPPTP Ambon dengan menggunakan arang aktif tempurung kelapa untuk pengendalian kanker batang pala membuktikan dapat menekan cairan yang keluar bahkan dapat menyembuhkan tanaman yang terserang penyakit kanker batang. Hal ini karena arang aktif tempurung kelapa mampu menyerap dan mengikat cairan yang keluar dari tanaman akibat luka dimana cairan tersebut akan terikat masuk ke dalam rongga batang sehingga cairan tersebut dan tanaman dapat berproduksi kembali (Pesireron M et al, 2019).

Sering munculnya hama penyakit lainnya pada areal perkebunan pala juga disebabkan oleh pepohonan pada lapisan teratas “dusung” seperti durian, albizia, kenari dan manggis membentuk kanopi yang selanjutnya menutupi pohon pala dan tumbuhan lainnya yang lebih rendah sehingga cahaya matahari yang masuk menjadi terhalang yang dapat menyebabkan kelembapan menjadi tinggi, kelembapan tinggi ini lah yang menyebabkan pesatnya pertumbuhan jamur patogen (Leatemia et al, 2017).

Cara sederhana yang dapat dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit dan hama pada perkebunan pala ialah sanitasi kebun. Menjaga sanitasi kebun tetap baik dapat membantu menghambat perkembangan baik itu hama Batocera sp. rayap maupun kumbang.  Sanitasi kebun dengan cara membabat gulma setelah 3 – 6 bulan dan tanaman pala yang terserang ditebang dan dibakar merupakan tindakan untuk menghilangkan tempat hidup dan berkembang biak serta tempat bersembunyi hama. Selain itu dengan sanitasi kebun juga dapat menghilangkan batang kayu tua dan lapuk yang menjadi sumber inokulum jamur patogen agar tidak tersebar menyerang ke tanaman sehat. Oleh karena itu pentingnya kesadaran petani pala mendapat informasi untuk mengontrol serangan hama dan penyakit. Dengan pengendalian hama penyakit yang baik tentu akan berimbas pada naiknya produktivitas pala yang dihasilkan di wilayah pulau Ambon sehingga kesejahteraan petani dapat diraih.

Penulis : Indriana Saraswati, S.Si , Cecep Subarjah, SP, MP dan Esther Mastiur Silitonga, SP, M.Sc

Daftar Acuan :

BBPPTP Ambon. 2020. Laporan Kaji Terap Pala. Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman                             Perkebunan Ambon

Kalay, M.A.,Lamerkabel, Jacobus S.A., Thenu, Frances J.L. 2015. Tanaman Pala Akibat Serangan             Penyakit Busuk Buah Kering dan Hama Penggerek Batang Pala di Kecamatan Leihitu Kabupaten    Maluku Tengah. Jurnal Agroekotek 7(2) : 138 – 146

Leatemia J.A.,Rehatta H., Uluputty M.R, dan Mahulete A.S. 2017. Productivity of Nutmeg (Myristica spp.)    in Agroforestry System (Dusung) in Ambon Island. Occasional Papers (Kagoshima University             Research Center for the Pacific Islands) 58 :69 – 76

Pesiron, M.,Kaihatu S.,Suneth R dan Ayal Y. 2019. Perbaikan Teknik Pengendalian Hama dan Penyakit      Pada Perkebunan Pala Banda (Myristica fragrants Houtt) Di Maluku. Jurnal Littri 25(1) : 45 – 58

Matinahoru, J.M. 2014. A Review on Dusung as an Indigenous Agroforestry System Practiced in Small        Islands. Occasional Papers (Kagoshima University Research Center for the Pacific Islands), 54 :     53 – 60

             

             


Bagikan Artikel Ini  

Penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PPHT) Kakao di Kabupaten Lombok Utara Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)

Diposting     Kamis, 16 Juni 2022 11:06 am    Oleh    perlindungan



Serangan OPT pada tanaman perkebunan, khususnya tanaman kakao selain menurunkan produksi, juga dapat menurunkan kualitas sehingga mempengaruhi harga produk. Hal tersebut akan berdampak pada menurunnya pendapatan petani sehinga mengakibatkan kerugian petani yang cukup besar. Penggunan pestisida kimia saat ini sebisa mungkin dihindari sehingga petani dan pelaku usaha tani kakao menggunakan metode yang lebih ramah lingkungan, yang dikenal dengan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT).

Konsep PHT menekankan bahwa penggunaan pestisida kimia sintetis dilakukan sebagai alternatif terakhir apabila metode pengendalian lainnya tidak mampu mengatasi serangan OPT. Dalam penerapan PHT, petani perlu dipandu atau dibimbing untuk dapat mengamati, mengidentifikasi, dan menganalisis masalah sehingga dapat mengambil keputusan pengendalian di kebunnya. Oleh karena itu, kegiatan penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PPHT) dapat menjadi solusi bagi para petani dan diharapkan mampu men-trigger kelompok tani lain di sekitarnya.

Pada tahun 2022 di Provinsi NTB telah dialokasikan kegiatan penerapan pengendalian OPT tanaman kakao di Kabupaten Lombok Utara seluas 50 ha dilaksanakan di Kelompok Tani Hijau Daun Pada Pacu dan Kelompok Tani Tunas Maju yang terletak di Desa Bukit Karya, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Lombok Utara. Pada saat kunjungan, sudah dilakukan beberapa Tahapan kegiatan PPHT yaitu sosialisasi, pengamatan awal, dan pembuatan serta pengaplikasian MS APH dan Pupuk Kompos.

Kunjungan ke Kelompok Tani Hijau Daun Pada Pacu dan Kelompok Tani Tunas Maju di Desa Bukit Karya, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Lombok Utara  dilakukan oleh tim Direktorat Perlindungan Perkebunan serta pelaksana dari Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi NTB. Saat dilakukan kunjungan, kondisi sanitasi kebun kakao milik petani sudah baik, sudah dilakukan pemangkasan secara teratur dan pembuatan rorak. Salah satu ketua kelompok merupakan anggota Regu Pengendali OPT (RPO) dan anggota kedua KT tersebut sebagian besar berusia produktif yang memiliki semangat menerapkan PPHT.

Teknologi pengendalian yang diterapkan pada kegiatan penerapan PHT OPT tanaman kakao, antara lain:

  1. Pemangkasan, dilakukan dengan cara memangkas tunas air dan cabang lain secara selektif untuk mengatur kedudukan cabang, mengurangi kelembaban sehingga tingkat serangan hama dapat berkurang.
  2. Panen sering, dilakukan dengan rotasi satu minggu untuk memutus siklus hidup hama PBK.
  3. Pemupukan, bertujuan untuk menambah unsur hara yang terdapat di tanah sehingga tersedia untuk tanaman agar berproduksi secara optimal.
  4. Sanitasi, dilakukan dengan membersihkan areal kebun dari daun-daun kering, tanaman tidak sehat, ranting kering, kulit buah maupun gulma yang berada di sekitar tanaman.
  5. Aplikasi MS APH yang mengandung jamur antagonis Trichoderma sp., Beauveria bassiana dan bakteri Rhizobium sp. dengan cara penyemprotan, infus akar dan infus batang untuk meningkatkan vigor tanaman.

Metabolit Sekunder APH merupakan senyawa organik yang dapat dimanfaatkan untuk pengendalian OPT. Fungsi Metabolit Sekunder APH adalah untuk menghambat perkecambahan spora patogen, melindungi pertumbuhan awal, membersihkan lingkungan, melindungi dan memperkuat jaringan, menyediakan pasokan nutrisi, merangsang pembentukan zat pengatur tumbuh. Metabolit Sekunder APH bersifat mudah larut dalam air, tidak meninggalkan residu, tidak mudah menguap, mudah diaplikasikan, dapat dipadukan dengan pupuk organik cair dan pestisida nabati, efektif dan efisien untuk mengendalikan OPT. Penyemprotan/spraying merupakan cara aplikasi Metabolit Sekunder APH yang paling umum dalam pengunaannya.

Berdasarkan hasil diskusi dengan petani dan petugas Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi NTB, hasil aplikasi MS APH tersebut tidak langsung terlihat, namun perlahan-lahan tanaman menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik. Hal ini karena aplikasi metabolit sekunder dapat menjangkau keberadaan jamur patogen di dalam jaringan tanaman. Kandungan di dalam metabolit sekunder APH selain toksin juga terdapat hormon yang berperan dalam pertumbuhan dan produksi tanaman. Kelompok Tani Hijau Daun Pada Pacu dan Kelompok Tani Tunas Maju merasakan manfaat pengendalian OPT tanaman kakao di kebunnya, dan mereka akan tetap melanjutkan pengendalian OPT secara berkelanjutan, sehingga produksi kakao dan mutu kakao menjadi lebih baik dan kesejahteraan petani meningkat.

Penulis: Annisa Balqis, Rony Novianto, Andi Asjayani

DAFTAR PUSTAKA

Marajahan Y., Islan, dan M, Khoiri. 2010. Aplikasi Pupuk NPK Terhadap Pertumbuhan Kakao (Theobroma Cacao L.) yang Ditanam Diantara Kelapa Sawit. Url: https://repository.unri.ac.id/bitstream/handle//JURNAL%20DIKA.pdf?sequence=1&isAllowed=y. Diakses pada: 14 Maret 2022, 10.00 WIB.

Alimin., Al Idrus, A. 2021. https://ditjenbun.pertanian.go.id/penerapan-pengendalian-hama-terpadu-ppht-lada-di-kabupaten-bangka-barat-provinsi-kepulauan-bangka-belitung/. Diakses pada: 3 Juni 2022, 9.30 WIB.

Engka, R.G., J. Rimbing., N, Wanta., 2019. Penerapan Penerapan Pengendalian Hama Secara Terpadu pada Tanaman Kakao. Techno Science Journal. Volume 1 (18-24).


Bagikan Artikel Ini  

Pengendalian Tiga Hama Penting Pada Tebu

Diposting     Rabu, 15 Juni 2022 10:06 am    Oleh    perlindungan



Tebu merupakan tanaman yang multifungsi, selain sebagai penghasil gula juga dapat dimanfaatkan sebagai biofuel, daunnya bisa menjadi sumber pakan ternak, serasahnya dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan organik yang jika dikembalikan lagi ke tanah dapat meningkatkan kesuburan tanah. Namun demikian, tebu juga rentan terhadap serangan patogen. Beberapa penyakit yang menginfeksi tebu dapat menyebabkan kerugian hasil yang cukup tinggi, baik itu menurunkan produksi maupun kualitas nira yang dihasilkan. Antara lain: mosaik, Ratoon Stunting Disease (RSD), luka api (smut).

Lebih dari 100 jenis hama dapat menyerang tebu seperti golongan serangga (Lepidoptera, Coleoptera, Hemiptera); kutu-kutuan (Aphid); tungau (Acarina); burung (kakatua); mamalia (tikus dan babi hutan).  Ada tiga hama penting tebu yang ditemukan di beberapa wilayah di  Indonesia yang keberadaannya sangat mengganggu produksi dan produktivitas tebu, yaitu sebagai berikut:

1) Penggerek pucuk (Scirpophaga excerptalis)

Kematian karena penggerek pucuk pada 5, 4, 3, 2 dan 1 bulan sebelum tebang, kerugian gula mencapai 77%, 58%, 46%, 24%, dan 15%.

Gejala serangan adalah larva yang baru menetas menggerek masuk ke dalam daun muda yang belum terbuka. Larva menggerek menuju titik tumbuh dan menembus batang. Daun yang terserang akan menggulung dan kering (mati puser). Setiap batang yang terserang biasanya dihuni oleh satu ekor penggerek.

Gambar 1.  Pupa (kiri) dan gejala serangan S. excerptalis (kanan) pada pengamatan di lapangan

Sumber: P3GI

2) Penggerek batang (Chilo sacchariphagus)

Setiap persen kerusakan ruas, kerugian gula sebesar 0,5%. Kerugian karena serangan penggerek batang akan menyebabkan penurunan bobot tebu.  Serangan berturut-turut 10%, 20%, dan 30% akan menurunkan bobot tebu berturut-turut 16%, 38,8%, dan 60,8%.

Gambar 2. Larva C. sacchariphagus menggerek ruas tebu (kiri) dan gejala serangan pada pengamatan di lapangan

Sumber: P3GI

Gejala serangan sering terjadi pada titik tumbuh dan pucuk tanaman yang masih muda, sehingga daun muda layu dan mati. Lorong gerek yang disebabkan penggerek ini sangat tidak teratur.  Di dalam satu ruas biasanya dijumpai satu atau lebih larva.

3) Uret Tebu (Lepidiota stigma)

Uret merupakan hama polifag.  Selain tebu, tanaman yang menjadi sumber pakannya seperti singkong, jagung, pepaya, karet, mahoni, dan lain-lain. Uret menyukai tanah ringan berpasir dan pada stadia instar 3 paling rakus (3-4 ekor dapat menghabiskan perakaran 1 rumpun tebu). Tanda-tanda serangan tampak jelas ketika musim kemarau dan pada tanaman keprasan lebih menderita. Spesies Lepidiota stigma yang paling merusak perakaran tebu.

Gambar 3. Uret tebu (kiri) dan gejala kerusakan pada akar

Sumber: P3GI

4) Pengendalian Hama Tebu

a. Penggerek hama penggerek tebu

Pengendalian hayati: pemanfaatan parasitoid telur (Trichogramma japonicum dan chilonis); parasitoid larva (Elasmus zehntneri, Stenobracon sp., Rachonotus sp.); dan parasitid pupa (Isotima javensis, Tetrastichus sp.).  Yang harus diperhatikan dalam pelepasan pias Trichogramma adalah sebagai berikut:

–   dilakukan saat tebu umur 1,5 – 4 bulan, sebanyak 10 kali  dengan interval waktu 1 minggu.

–  Jumlah tiap kali pelepasan 50 pias/ha (2.000 Trichogramma per pias).

–  Jarak pemasangan pias 10 – 15 meter dan dilakukan sebelum jam 07.00 pagi.

–  Prioritas untuk kebun-kebun dengan serangan penggerek di  atas 2%.

–   Pelepasan 1 hari sebelum parasitoid menetas.

–  Rawan terserang predator (semut, laba-laba), dianjurkan diberi pengaman grease/stempet

Pengendalian kimiawi : Soft chemical, aplikasi perangkap dengan umpan feromon seks sintesis; dan penyemprotan insektisda pada batang bawah atau kanopi tanaman (kurangi penggunaaan karbofuran).  Hal-hal yang harus diperhatikan dalam aplikasi feromon seks adalah sebagai berikut:

–  Aplikasi feromon dianjurkan ketika tebu berumur 2 sampai 5 bulan  dan mampu bertahan selama 1 bulan setelah pemasangan.

–  Pemasangan feromon sekitar 25 cm di atas tajuk tanaman tebu.

b. Hama uret tebu

  • Pengaturan waktu tanam dan sanitasi kebun.
  • Pengolahan tanah yang sesuai aturan baku (2 kali bajak, garu dan kair).
  • Pengumpulan uret secara manual saat pengolahan tanah.
  • Penangkapan imago pada musim penerbangan (Awal musim hujan).
  • Penaburan insektisida cair/granular, biopestisida, jamur entomo patogen (Metarhizium anisopliae) bersamaan dengan waktu tanam.

Gambar 4. Biakan jamur  M. anisopliae (kiri) dan uret tebu terinfeksi M. anisopliae (kanan)

Sumber: P3GI

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengendalian uret tebu adalah sebagai berikiut:

  • Pemasangan Light Trap untuk mengendalikan kumbang dilakukan pada awal musim hujan atau awal penerbangan.
  • Lampu yang baik digunakan untuk memerangkap kumbang adalah lampu sookley. Di Kediri bisa memerangkap sekitar 1.500 ekor semalam yaitu dari pukul 18.00 sampai 20.00.
  • Kumbang lebih menyukai pertanaman tebu muda daripada tua dalam hal meletakkan telur.

Gambar 5. Perangkap lampu dan plastik mika untuk kumbang

Sumber: P3GI

Penulis : Alimin, S.P., M.Sc.

Sumber Pustaka

P3GI. 2022.  Materi Bimtek Penanganan OPT Tebu: Gulma pada Tanaman Tebu. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI).Pasuruan.

Pracaya.  2008.  Hama dan Penyakit Tanaman (Edisi Revisi).  Penebar Swadaya.  Jakarta.

Wahyu, K.  2015.  Pengendalian Uret pada Tanaman Tebu (Saccharum officinarum).  Seri Liptan, Sinar Tani: Edisi 28 Janurai – 3 Februari 2015, No.3592 Tahun XLV. Jakarta.


Bagikan Artikel Ini