KEMENTERIAN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

Waspada CSSV: Virus Mematikan di Balik Lonjakan Harga Kakao

Diposting     Senin, 18 November 2024 10:11 am    Oleh    perlindungan



Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan penting di dunia yang berperan vital dalam ekonomi global dan industri makanan. Sebagai bahan baku utama produksi cokelat, kakao menjadi sumber pendapatan bagi lebih dari 5 juta petani di negara-negara penghasil utama seperti Pantai Gading, Ghana, dan Indonesia, serta mendukung jutaan pekerjaan di seluruh rantai pasokan, mulai dari pengolahan hingga distribusi (World Cocoa Foundation, 2023). Meningkatnya permintaan produk cokelat premium telah membawa tantangan bagi sektor kakao, termasuk ancaman penyakit tanaman yang berpotensi mengganggu pasokan. Salah satu ancaman terbesar adalah Cocoa Swollen Shoot Virus Disease (CSSVD), yang dapat menurunkan hasil panen secara signifikan dan memicu lonjakan harga kakao di pasar global (Cocoa Research Association, 2022).

Apa Itu CSSVD?

Cocoa Swollen Shoot Virus Disease (CSSVD) adalah penyakit yang disebabkan oleh Cocoa Swollen Shoot Virus (CSSV), menyerang tanaman kakao di daerah tropis, terutama di Pantai Gading dan Ghana, negara penghasil kakao terbesar di dunia (International Cocoa Organization, 2024; World Cocoa Foundation, 2024). CSSVD ditularkan oleh 14 spesies kutu putih di antaranya Planococcus citri dan Planococcoides njalensis, melalui nimfa dan betina dewasa. Virus ini tidak berkembang biak dalam vektor, tidak diwariskan ke keturunan, serta tidak menyebar melalui biji atau serbuk sari. CSSV dapat menyerang kakao di semua tahap pertumbuhannya. Gejala awal muncul berupa garis merah pada daun dalam 20–30 hari setelah infeksi, diikuti dengan pembengkakan pada tunas dan akar dalam 8–16 minggu. CSSV diyakini berasal dari inang liar lokal di Afrika Barat, seperti Adansonia digitata dan Ceiba pentandra (Muller, 2016).

Gejala dan Dampak CSSVD

Gejala CSSVD meliputi perubahan pada daun, batang, akar, dan buah. Daun muda menunjukkan kemerahan pada urat daun, yang memudar saat daun tua. Pada daun matang, muncul penguningan, flek, dan bintik-bintik. Batang membengkak di berbagai bagian karena proliferasi jaringan, dan pohon yang terinfeksi mengalami pengguguran daun hingga kematian cabang pada varietas yang rentan. Buah yang terinfeksi menjadi lebih kecil, bulat, dan kadang memiliki permukaan yang lebih halus dengan bercak hijau (CABI, 2024). CSSV mengganggu siklus pembelahan sel, terutama pada jaringan meristem, yang merupakan area pertumbuhan aktif tanaman, menyebabkan pertumbuhan tanaman dan produktivitas kakao menurun drastis (De Souza et al., 2020; Castro et al., 2021).

Penurunan Produksi Kakao

Penurunan produksi kakao global telah terlihat, terutama di Pantai Gading (Côte d’Ivoire) dan Ghana, yang mengalami penurunan produksi dari 2.248 ribu ton dan 2.121 ribu ton pada tahun 2020/2021, menjadi masing-masing 1.800 ribu ton dan 1.068 ribu ton pada 2023/2024. Indonesia, yang memproduksi 683 ribu ton pada 2021/2022, juga menghadapi penurunan serupa (Statista, 2024). Penyakit tanaman, seperti CSSVD dan faktor lain seperti perubahan iklim, diduga berkontribusi pada penurunan ini. Jika tidak ditangani dengan baik, Indonesia bisa mengalami dampak serupa, yang berpotensi mengganggu pasokan kakao global (Cocoa Post, 2024).

Lonjakan Harga Kakao

Seiring dengan penurunan produksi, harga kakao global mengalami lonjakan signifikan, dari sekitar $2.500 per ton pada akhir 2022 menjadi hampir $9.000 per ton pada pertengahan 2024 (FRED, 2024). Penyakit tanaman seperti busuk buah kakao (Black Pod) dan CSSVD merupakan penyebab utama penurunan hasil panen, menyebabkan lonjakan harga akibat pasokan yang menyusut sementara permintaan tetap tinggi (Reuters, 2024).

Ancaman CSSVD di Indonesia

CSSVD telah dikategorikan sebagai Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) A2 di Indonesia, artinya meskipun belum menyebar secara luas, virus ini sudah ditemukan di wilayah tertentu (Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur), dan memiliki potensi menyebabkan kerusakan besar jika tidak dikendalikan (Permentan No 25 Tahun 2020). Penyebaran utama saat ini terjadi di Afrika Barat, namun Indonesia berisiko terpapar karena perdagangan bahan tanam kakao yang tinggi dan keberadaan vektor kutu putih (Posnette et al., 1950). Jika CSSVD menyebar lebih luas di Indonesia, dampaknya akan besar, terutama karena iklim tropis Indonesia mendukung perkembangan kutu putih. Ini akan mengancam produktivitas kakao nasional dan mengurangi hasil panen secara signifikan (Aka et al., 2020).

Langkah Pencegahan

Untuk mencegah dan mengendalikan CSSVD, perlu dilakukan sanitasi kebun dengan menebang pohon yang terinfeksi beserta pohon di sekitarnya, penggunaan varietas kakao yang tahan penyakit, serta eradikasi tanaman inang alternatif seperti Cola dan Ceiba. Bahan tanam harus bebas infeksi, dan pergerakan bahan tanam perlu dibatasi. Di Ghana, wabah kecil ditangani dengan menebang pohon dalam radius 5 meter, sementara wabah besar membutuhkan radius 15 meter. Selain itu, penanaman pohon penaung dan tanaman penghalang seperti kelapa sawit atau kopi dapat mengurangi penyebaran vektor virus (CABI, 2024).

Penyusun: Riesca Martdiyanti

REFERENSI


Bagikan Artikel Ini  

Bentang Sayap Kolaborasi, BPT Harus Semakin Kuat

Diposting     Senin, 14 Oktober 2024 02:10 pm    Oleh    perlindungan



Balikpapan – Rapat Koordinasi Brigade Proteksi Tanaman (BPT) se-Kalimantan Timur untuk pertama kalinya dilaksanakan pada tanggal 24-26 September 2024 lalu, dengan mengusung tema Penguatan dan kolaborasi Kelembagaan BPT, pertemuan ini dihadiri oleh seluruh perwakilan BPT dari 7 wilayah administratif (kabupaten/kota).

Dalam kesempatan itu, Kepala Dinas Perkebunan Kalimantan Timur (Kadisbun Kaltim) Ence Achmad Rafiddin Rizal menekankan bahwa perlindungan tanaman perkebunan memegang peran vital dalam mewujudkan pembangunan Nusantara Baru yang berkelanjutan dan ramah lingkungan hidup.  BPT sebagai garda terdepan pengendalian serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) melaksanakan pendekatan pengendalian dengan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang ramah lingkungan dengan pengaplikasian Pestisida Harus Terakhir (“PHT”). Penerapan strategi perlindungan tanaman yang berkelanjutan ini diharapkan mampu menjadi model bagi daerah lain, dalam upaya bersama membangun Nusantara Baru yang seimbang antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan, lanjutnya.

Tahun 2018, melalui Dana Dekonsentrasi Direktorat Perlindungan Perkebunan telah mengalokasikan anggaran pembentukan 1 (satu) unit BPT di setiap Provinsi. Hal ini bertujuan sebagai trigger bagi setiap provinsi dengan maksud menjadikan BPT sebagai Gugus tugas yang bergerak secara cepat dibantu oleh Regu Pengendai OPT (RPO) / Kelompok Tani yang secara khusus menangani pengendalian OPT dan dapat dioperasionalkan setiap saat bila diperlukan. Dalam menjalankan tugasnya, BPT dan RPO difasilitasi dengan alat pengendali OPT dan Alat Pelindung Diri (APD), Drone untuk membantu kegiatan pengamatan OPT dan Dampak Perubahan Iklim (DPI), serta kendaraan operasional roda empat. Diharapkan fasilitas yang telah diberikan dapat dimanfaatkan dengan baik dan maksimal. Dengan adanya BPT dan RPO yang aktif dan konsisten mampu menjadi garda terdepan pengendalian OPT perkebunan sangat membantu petani dalam menurunkan serangan OPT di lapangan, seperti beberapa kasus serangan yang telah terjadi beberapa tahun terakhir dimana ada peran penting BPT dan OPT. Saat ini, perkembangan pembentukan BPT di Provinsi Kalimantan Timur menunjukkan kurva positif, berawal dari 1 (satu) BPT yang dibentuk, kini BPT di Kalimantan Timur telah berjumlah 7 (tujuh) BPT yang juga membina masing-masing 10 orang petani sebagai Regu Pengendali OPT (RPO) di bawahnya.

Atas dasar hal inilah, Direktorat Perlindungan Perkebunan sangat mengapresiasi Dinas Perkebunan dan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) yang telah secara mandiri dan komitmen membentuk dan membina BPT dan RPO di Provinsi Kalimantan Timur. Tercatat, Provinsi Kalimantan Timur merupakan Provinsi dengan jumlah BPT dan RPO terbanyak yang berkembang secara mandiri dibandingkan dengan wilayah lainnya. Provinsi Kalimantan Timur juga terus berinovasi dengan mengembangkan aplikasi pendukung kegiatan BPT dengan nama SIPAT BPT (Sistem Cepat Brigade Proteksi Tanaman) berisi informasi berupa:

a. Pelaporan Aksi Pengendalian Organisme Penggangu Tanaman
b. Layanan Konsultasi Hama dan Penyakit Tanaman Perkebunan
c. Informasi Terkini Aksi Pengendalian di Kab/Kota

Aplikasi SIPAT BPT Memudahkan Pelaporan BPT

Dengan adanya dukungan aplikasi SIPAT BPT diharapkan anggota BPT dan RPO semakin aktif melaporkan kegiatan pengendalian OPT di lapangan serta evaluasinya. Pada Rakor tersebut juga disampaikan dan disepakati beberapa hal diantaranya penguatan kelembagaan OPT dengan peningkatan komitmen dan komunikasi diantara anggota kelompok BPT dan RPO; BPT dan RPO membuat rencana kerja dalam hal pengamatan, pengendalian, serta evaluasi pasca pengendalian; ketika diperoleh informasi serangan OPT di lapangan diharapkan BPT dan RPO melaporkan hal tersebut ke pihak Kabupaten/Provinsi

Kegiatan Lomba Pengendalian OPT Memperkuat Kelembagaan dan Kolaborasi BPT

Untuk lebih memahami teknis pengendalian OPT di lapangan, dilakukan kegiatan lomba teknis pengendalian pada situasi serangan dan intensitas OPT tertentu dalam rangkaian kegiatan rakor BPT tersebut. Penilaian Teknik pengendalian OPT yang tepat dengan mempertimbangkan penggunaan APD serta pemilihan alat dan bahan pengendalian sesuai dengan contoh kasus soal yang diberikan. Kegiatan ini sangat efektif sebagai simulasi dalam mencapai esensi nilai penguatan kelembagaan BPT dengan meningkatkan kolaborasi dan koordinasi antar pihak. BPT dan RPO yang berkelanjutan akan turut membentuk ekosistem perlindungan perkebunan partisipatif dengan keypoint sebagai berikut:

  1. Perlindungan tanaman perkebunan secara berkelanjutan serta ramah lingkungan (eco-friendly)
  2. Partisipatif dengan melibatkan secara aktif stakeholder terkait
  3. Memaksimalkan Potensi pemanfaatan sumber pembiayaan dan program non APBN
  4. Pembiayaan non-APBN dalam mendukung program/kegiatan dalam pencegahan dan penggulangan serangan OPT melalui fasilitasi dengan kerangka business to community.

Dengan terwujudnya ekosistem perlindungan perkebunan partisipatif maka akan mendorong skema kolaborasi lebih luas yang akan berimplikasi pada penguatan kelembagaan BPT dan RPO.

Penulis: Farriza Diyasti, Yani Maryani, Eva Lizarmi


Bagikan Artikel Ini  

UPAYA MASIF TERHADAP SERANGAN ULAT KEPALA HITAM PADA PERKEBUNAN KELAPA

Diposting     Selasa, 30 Juli 2024 08:07 am    Oleh    perlindungan



Baru-baru ini diperoleh laporan dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali mengenai keberadaan ulat kepala hitam di kebun kelapa milik petani pekebun di Desa Tuwed, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana seluas 10-15 Ha. Pada saat diamati daun yang terserang adalah daun yang tua. Ulat menggerek jaringan epidermis daun dan yang tersisa hanya bagian kutikula. Pada daun yang intensitas serangan berat, dua sampai tiga helai daun pada bagian ujung menggulung menjadi satu bagian, menguning hangus seperti terbakar dan kering.

Bernama latin Opisina arenosella Walker (Lepidoptera: Xylorictidae), hama ini pertama kali dideskripsikan di India dan Sri Lanka pada pertengahan abad ke-19. Ulat kepala hitam (Black Head Caterpillar/BHC) menginvasi beberapa negara Asia, termasuk Myanmar, Bangladesh, Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Pakistan, serta kemungkinan invasi ke Indonesia pertama kali diduga terjadi di wilayah utara Indonesia (Aceh, Sumatera Utara, dan Riau) melalui wilayah yang terkena dampak hama ini di Malaysia atau Thailand (Lu et al, 2023).

Larva ulat kepala hitam membangun tempat makan yang dilapisi sutra di mana mereka memakan lamina daun kelapa dari permukaan daun bagian bawah dengan dilindungi oleh kotoran ulat/frass, sehingga mengakibatkan berkurangnya area fotosintesis tanaman yang terserang. Larva ditemukan di daun dan buah muda, sedangkan imago menunjukkan kemampuan terbang dan potensi penyebaran yang kuat.

Pihak Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali telah berupaya secara massif mengendalikan serangan hama ini, antara lain:

  1. Memberikan bantuan Pinjam Pakai 5 Unit mesin Power Sprayer lengkap dengan komponennya beserta 5 buah Drum besar kapasitas 250 liter kepada petani.
  2. Memberikan bantuan sarana pengendalian berupa pestisida biologi ( bahan aktif : Eugenol 20 g/l, Azadirachtin 0,02 g/l) sebanyak 4 liter dan Insektisida Kimia Dimacide 400 EC ( bahan aktif : Dimetoat 400 g/l ) sebanyak 61 Liter dengan teknik spraying menggunakan mesin power sprayer serta sistem injeksi (bor) pada bagian batang tanaman kelapa dengan dosis 15 cc/pohon.

Gejala serangan yang serupa juga ditemukan di kebun percobaan Ciomas dan Cibodas pada petak komoditas kelapa.  Selama ini kegiatan pengendalian yang dilakukan petugas setempat dengan cara mengaplikasikan Asefat melalui infus akar dengan dosis 20 ml/50 ml air jika tingkat serangan tinggi, jika ringan-sedang cukup 10 ml/50 ml air. Menurut beberapa literatur, sebagai tindakan pencegahan, daun pertama yang terserang dapat dipotong dan dibakar pada awal musim panas. Penggunaan agens biologi dapat dilakukan dengan pelepasan parasitoid larva/pupa (Goniozus nephantidis, Elasmus nephantidis (spesies coklat) dan Brachymeria nosatoi) (Aniyaliya et al., 2021). Jika serangan sangat parah dan biokontrol tidak efektif, pengaplikasian kimiawi dapat dilakukan di permukaan bawah daun dengan insektisida berbahan aktif Dichlorvos 0,02%, Malathion 0,05%, Quinalphos 0,05%, Endosulfan 0,05% atau Fosalone 0,05% (Adhi, 2016).

Hama ini merupakan serangga oligofagus dengan inang utama kelapa dan menyerang tanaman Palma lainnya. Selain itu, O. arenosella juga menyerang pisang, tebu nangka, jambu mete, jagung, nanas, dan karet. Ulat kepala hitam melewati empat tahap perkembangan berturut-turut: telur, larva, pupa, dan dewasa. Untuk strain O. arenosella India, waktu perkembangan tahap telur adalah 5-8 hari, tahap larva 42-48 hari, tahap kepompong 12 hari, sedangkan umur dewasa berkisar antara 5-8 hari pada suhu 26°C. Variabel iklim memengaruhi dinamika populasi hama di lapangan, dengan suhu rendah memperlambat atau menghambat pertumbuhan populasi. Pada suhu lingkungan yang rendah (misalnya pada bulan Januari di India), periode pra-oviposisi O. arenosella meluas hingga 3-4 hari. Selama bulan November, tingkat fekunditas dewasa mencapai tingkat tertinggi dengan imago betina menyimpan rata-rata 231,1 ± 19,6 butir telur. Suhu rendah pada bulan Januari menyebabkan tingkat eklosi telur rendah (2,7%), sehingga menghasilkan jumlah larva instar pertama terendah (4,17 ± 2,94 individu) dibandingkan bulan Maret (87,9 ± 14,9 individu). Hama ini mencapai tingkat kelimpahan tertinggi pada akhir musim panas, yaitu Juli-November (Lu et al, 2023).

Beberapa aspek yang memfasilitasi penyebaran hama antar dan dalam negara yaitu kemampuan terbang imago yang tinggi (di malam hari), serta jalur mobilisasi perdagangan dengan manusia sebagai carrier. Hal ini memerlukan respons yang waspada dan masif untuk mencegah jenis organisme maupun strain patogen yang lebih ganas sehingga dapat menyebabkan gangguan ekonomi global. Menurut KLHK (2015) Introduksi Invasive Alien Species (IAS), selain mengancam sistem ekologi, pada gilirannya juga akan menyebabkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Dengan demikian, pengamatan secara intensif dan strategi pengendalian hama terpadu termasuk budaya, biologi, dan pendekatan kimia dalam pengelolaan ekosistem sangat diperlukan, tentunya dengan dukungan sumber daya dan personel yang kompeten.

Penulis: Farriza Diyasti, Eva Lizarmi, Yani Maryani

Sumber Pustaka :

[KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2015. Strategi Nasional dan Arahan Rencana Aksi Pengelolaan Jenis Asing Invasif di Indonesia. Diakses pada 10 Juli 2023 pada ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/STRANAS_Jenis_Invasif.pdf

Adhi, RK. 2016. Ulat Pemakan Daun Kelapa dan Cara Mengendalikannya. Balai Besar Pelatihan Pertanian Binuang

Lu Hui, et al., 2023. Ekologi, sejarah invasi dan pengelolaan ulat kepala hitam kelapa yang didorong oleh keanekaragaman hayati Opisina arenosella di Asia. https://doi.org/10.3389/fpls.2023.1116221 diakses tanggal 8 juli 2023 pada: https://www-frontiersin-org.translate.goog/journals/plant-science/articles/10.3389/fpls.2023.1116221/full?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc&_x_tr_hist=true

MD Aniyaliya, JP Patel, PB Patel and NP Trivedi. 2021. Goniozus nephantidis: A hymenopteran weapon for management of coconut black headed caterpillar. The Pharma Innovation Journal 2021; SP-10(8): 461-463.


Bagikan Artikel Ini  

Jaga Produksi Tebu Aman Terkendali, Kementan Sigap Respon Serangan Tikus di Majalengka, Jawa Barat

Diposting     Rabu, 28 Februari 2024 06:02 pm    Oleh    perlindungan



Jawa Barat – Kementerian Pertanian berkomitmen penuh kejar target percepatan swasembada gula 2024. Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman, meminta jajarannya akselerasikan swasembada secepatnya, dengan menjaga produksi dan produktivitas.

“Selain terus meningkatkan pengembangan komoditas tebu melalui perluasan, bongkar ratoon dan rawat ratoon, salah satu upaya yang tak kalah penting harus dilakukan yaitu menjaga produksi, produktivitas dan mutu, dengan mencegah, mengantisipasi dan mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) pada tanaman perkebunan,” ujar Mentan.

Berdasarkan informasi dari Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan Kabupaten Majalengka, telah terjadi serangan hama tikus yang menimbulkan kerugian serius diperkirakan mencapai 24 miliar rupiah, pada pertanaman tebu di Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat, dimana daerah yang terdampak khususnya Desa Pilangsari, Desa Sumber Kulon, dan Desa Jatiraga di Kecamatan Jatitujuh, sedangkan untuk Kecamatan Kertajati terjadi di Desa Sukakerta dan Desa Kertawaringun.

Sigap menanggapi laporan tersebut, Direktorat Jenderal Perkebunan segera merespons dengan meninjau lokasi serangan. Direktur Jenderal Perkebunan, Andi Nur Alam Syah mengatakan, “Direktorat Jenderal Perkebunan terus berupaya jaga kualitas hasil produksi secara periodik, baik dengan melakukan pemantauan, identifikasi, mitigasi maupun upaya pengendalian serta penanganan OPT tanaman tebu.”

Selain itu, turut dilakukan koordinasi intensif dengan Balai Perlindungan Tanaman Perkebunan Dinas Perkebunan Jawa Barat, serta Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan Kabupaten Majalengka. Langkah-langkah pengendalian tikus diterapkan untuk mengendalikan populasi tikus dan meminimalisir kerugian ekonomi.

Menurut Kepala Bidang Hortikultura dan Perkebunan, Ita Puspitawati, serangan tikus ini disebabkan oleh keterlambatan penanaman padi sawah yang berdekatan dengan areal pertanaman tebu. Banyak petani terpaksa menanam ulang tebunya karena tebu yang baru berusia dua bulan mengalami kerusakan parah dan tidak dapat dipertahankan. Ketinggian tebu yang baru sekitar 1 meter membuat sulitnya pertumbuhan tunas baru setelah batang bagian bawah dimakan oleh tikus.

Ketua Kelompok Tani Mitra Sedulur, Desa Sumber Kulon,Wibisana, membenarkan bahwa serangan tikus di kebun tebu hampir merusak seluruh tanaman, memaksa sebagian besar petani untuk melakukan tanam ulang. Beberapa petani hanya mampu menanam sebagian kecil tanaman karena keterbatasan modal dan benih.

Demi mengatasi serangan tersebut, Direktorat Jenderal Perkebunan merekomendasikan pendekatan pengendalian terpadu dengan menggabungkan beberapa teknik, termasuk pengemposan, penggunaan umpan beracun, dan pemanfaatan burung hantu sebagai predator alami tikus.

“Diharapkan berbagai upaya yang dilakukan melalui penerapan metode-metode tersebut secara terpadu dapat efektif mengendalikan populasi tikus dan menjadi solusi untuk mengurangi dampak serangan hama terhadap pertanaman tebu di Kabupaten Majalengka, sehingga hasil produksi tetap terjaga,” harap Andi Nur.

Oleh : Esther Mastiur Silitonga dan Merry Indriyati Karosekali


Bagikan Artikel Ini  

Gerakan Pengendalian Ulat Api pada Tanaman Kelapa Sawit di Kabupaten Mamuju Tengah, Provinsi Sulawesi Barat

Diposting     Kamis, 02 November 2023 09:11 am    Oleh    perlindungan



Provinsi Sulawesi Barat merupakan penghasil kelapa sawit terbesar di wilayah Indonesia Bagian Timur, Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Barat mencatat di tahun 2021 produksi kelapa sawitnya mencapai 242.733 ton. Terdapat tiga kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat penghasil kelapa sawit yaitu Kabupaten Pasangkayu, Mamuju Tengah dan Mamuju. Perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu program strategis ekonomi pemerintah Kabupaten Mamuju Tengah untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Penyebaran perkebunan kelapa sawit rakyat ditemukan di semua kecamatan di Mamuju Tengah. Kelapa sawit menjadi primadona warga masyarakat, mereka menilai budidaya perkebunan sawit lebih mudah dan memberikan keuntungan yang lebih besar, sehingga sebagian warga kabupaten Mamuju Tengah mengganti tanaman pohon kakao dan tanaman pertanian lainnya menjadi tanaman kelapa sawit.

Populasi Ulat Api di Kabupaten Mamuju Tengah

Serangan hama ulat api pada tanaman kelapa sawit di Kabupaten Mamuju Tengah, telah dilaporkan oleh Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Barat pada tanggal 11 September 2023 ke Direktorat Jenderal Perkebunan. Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Mamuju Tengah mencatat sebanyak 334 hektar lahan perkebunan sawit di wilayah Kabupaten Mamuju Tengah diserang hama ulat api. Serangan ulat api tersebar di Kecamatan Pangale, Budong-Budong dan Topoyo. Direktorat Perlindungan Perkebunan, pada tanggal 13 September 2023 bersama-sama stakeholder melakukan ground check ke lokasi serangan ulat api di beberapa desa yang ada di Kabupaten Mamuju Tengah. Ground check lokasi pertama di lokasi Desa Tinali, Kecamatan Budong-Budong, kondisi serangan berada pada fase kepompong dan sebagian besar sudah menjadi imago (ngengat). Intensitas serangan berat diperlihatkan dengan gejala dan populasi imago serta populasi larva lebih dari 50 larva/pelepah. Ground check lokasi kedua di Desa Kabubu, Kecamatan Topoyo, kondisi serangan berada pada fase kepompong. Ground check lokasi ketiga di Kecamatan Pangale, untuk kondisi serangan berada pada fase larva. Larva ditemukan populasinya lebih dari 100 larva/pelepah dan berbagai instar. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan baik di Desa Tinali, Desa Kabubu dan Desa Pangale, ciri-ciri morfologi ulat api yang ditemukan di lapang yaitu larva pada instar awal berwarna kehijauan, selanjutnya terdapat garis hitam di punggung dan titik-titik putih serta dilengkapi dengan bulu-bulu di sekitar tubuh dan seragam, warna putih dengan garis/jalur hitam lebih dominan pada instar akhir. Kokon agak bulat, berwarna cokelat muda, kepompong melekat di bagian bawah daun, disepanjang tulang daun atau di pangkal pelepah. Ngengat berwarna perak kekuningan pucat dengan sayap belakang berwarna kelabu gelap. Berdasarkaan morfologi tersebut diduga jenis Darna catenatus. Menurut Simanjuntak et al (2011), jenis ulat api Darna catenatus banyak dijumpai di Sulawesi dengan ciri-ciri yaitu larva instar awal berwarna kehijauan, pada proses instar selanjutnya bagian tengah larva mengecil dengan Panjang 14-15 mm, lebarnya 5-7 mm. Kepompong agak bulat, berwarna cokelat muda, berukuran 7 x 5 mm, melekat di bagian bawah daun dan disepanjang tulang daun.

Gambar 1. Larva ulat api Darna capptenatus
Gambar 2. Kepompong ulat api Darna capptenatus
Gambar 3. Imago (ngengat) ulat api Darna capptenatus

Gerakan Pengendalian Ulat Api

Direktorat Perlindungan Perkebunan bersama-sama stakeholder telah melakukan suatu aksi nyata berupa gerakan pengendalian ulat api diantaranya:

  1. Melakukan edukasi ke pekebun dan masyarakat mengenai gejala, serangan dan siklus hidup hama serta rekomendasi pengendalian atau penanganan yang tepat.
  2. Melakukan aksi pengendalian ulat api bersama RPO (regu pengendali OPT) yang telah dibentuk oleh Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Barat dengan cara pengasapan insektisida dengan alat fogging yang dilakukan pada malam hari untuk target larva dan imago (ngengat)
  3. Upaya yang sudah dilakukan pekebun secara swadaya dengan pendampingan dari PPL Kecamatan Budong-Budong yaitu pengendalian ulat api dengan menggunakan perangkap lampu (light trap) dan yellow trap untuk target imago (ngengat).
  4. Mencari dan mengumpulkan kepompong ulat api yang selanjutnya dimusnahkan dengan cara dibakar.
Gambar 4. Pengasapan insektisida dengan alat fogging
Gambar 5. Perangkap lampu (light trap) dan yellow trap

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 tahun 2014 pada pasal 33 tentang perkebunan dijelaskan yaitu pelaksanaan pelindungan tanaman perkebunan menjadi tangggung jawab Pelaku Usaha Perkebunan, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Berdasarkan amanat pasal tersebut, Direktorat Perlindungan Perkebunan telah melakukan koordinasi dengan perusahan kelapa sawit di daerah sekitar Kabupaten Mamuju Tengah salah satunya dengan PT. Surya Raya Lestari untuk mendapatkan dukungan peralatan serta tenaga teknis dalam melaksanakan pengendalian ulat api wilayah binaan.

Gambar 6. Ground check serangan ulat api

Dampak Serangan Ulat Api

Tahun 2023 beberapa daerah di Indonesia terkena dampak akibat fenomena iklim El nino. El Nino masih menjadi tantangan besar bagi produksi pertanian maupun perkebunan karena berdampak signifikan terhadap persebaran berbagai penyakit dan hama, yang dapat merusak tanaman dan mengurangi hasil panen, serta kesejahteraan pekebun. Dampak dari El Nino berupa cuaca ekstrem menyebabkan kekeringan dan munculnya berbagai serangan hama pada kebun tanaman perkebunan. Hal ini terlihat dari munculnya hama ulat api pada tanaman kelapa sawit di Kabupaten Mamuju Tengah Provinsi Sulawesi Barat. Dampak kerugian yang ditimbulkan akibat serangan ulat api yaitu terganggunya fotosintesis dan terjadinya defoliasi yang mengakibatkan turunnya produksi Tandan Buah Segar (TBS). Berdasarkan analisa taksasi kehilangan hasil yang dilakukan oleh Ditjenbun (2021), serangan ulat api bisa menurunkan 12% hingga 30% produksi tanaman kelapa sawit baik pada fase TBM maupun TM. Selain menurunnya produksi akibat serangan ulat api, biaya yang membengkak untuk mencegah gagal produksi juga menjadi kerugian dari serangan hama ini (Efendi, Febriani and Yusniwati, 2020).

Beberapa langkah yang dapat dilakukan sebagai strategi gerakan pengelolaan hama ulat api antara lain melalui kegiatan monitoring, konservasi musuh alami sebagai tindakan preventif ledakan hama, serta aplikasi insektisida sistemik untuk menurunkan populasi hama di bawah ambang ekonomi secara cepat.

Penulis: Dedy Aminata, Ratri Wibawanti dan Bibit Bakoh

Daftar Pustaka

CABI CPC (2015). Datasheet on Darna catenatus. URL: www.cabi.org/cpc/

Ditjenbun. 2021. Prediksi luas serangan berat dan kerugian hasil akibat hama ulat api pada triwulan II tahun 2021 pada tanaman kelapa sawit. Kementerian Pertanian.

Efendi S, Febriani F, Yusniwati Y. 2020 Inventarisasi hama kelapa sawit (Elaeis guineensis jacq.) pada daerah endemik serangan di Kabupaten Dharmasraya. Agrifor. 19(1): 1. DOI: 10.31293/af.v19i1.4476.

Simanjuntak D, Sudharto, A. Sipayung, R. Desmier de Chenon, A.E. Prasetyo, Agus S. 2011. Ulat Api Darna trima Moore. Informasi Organisme Pengganggu Tanaman. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan


Bagikan Artikel Ini  

Pembuatan Ekstrak Serai Wangi Sebagai Pestisida Nabati

Diposting     Senin, 30 Oktober 2023 10:10 am    Oleh    perlindungan



A. Latar Belakang

Tanaman serai wangi terutama pada batang dan daunnya mengandung zat-zat seperti geraniol, metil heptenon, terpen-terpen, terpen alkohol, asam-asam organik dan terutama sitronelal yang bisa dimanfaatkan sebagai penghalau nyamuk. Penelitian tentang manfaat tanaman serai wangi terus dilakukan dan dikembangkan seiring membangun kesadaran masyarakat untuk beralih natural. Khoirotunnisa (2008) menyatakan bahwa serai wangi adalah salah satu tanaman obat tradisional yang mengandung minyak atsiri yang dapat digunakan sebagai anti jamur utamanya terhadap jamur Malassezia furfur (jamur penyebab penyakit kulit panu) secara invitro dan sebagai penghalau nyamuk Aedes. Berdasarkan laporan bahwa pada konsentrasi 4,4% ekstrak serai wangi efektif membunuh 90% larva Aedes aegypti.

Tanaman serai wangi termasuk divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Monocotyledoneae, ordo Poales, famili Poaceae, genus Cymbopogan, spesies Cymbopogan nardus L. Akar tanaman serai wangi memiliki akar yang besar, akarnya merupakan jenis akar serabut yang berimpang pendek. Batang tanaman serai wangi bergerombol dan berumbi, serta lunak dan berongga. Isi batangnya merupakan pelepah umbi untuk pucuk dan berwarna putih kekuningan. Namun ada juga yang berwarna putih keunguan atau kemerahan. Selain itu, batang tanaman serai wangi juga bersifat kaku dan mudah patah. Batang tanaman ini tumbuh tegak lurus di atas tanah. Serai memiliki tipe daun tunggal, lengkap dan pelepah daunnya silindris,gundul, seringkali bagian permukaan dalam berwarna merah, ujung berlidah (ligula), helaian daunnya lebih dari separuh yang menggantung dan bila diremas remasan tersebut berbau aromatik. Daunnya kesat, panjang dan runcing. Tulang daun tanaman serai tersusun sejajar. Panjang daun sekitar 50-100 cm, sedangkan lebarnya kira-kira 2 cm.

Gambar 1. a) akar, b) batang, c) daun serai wangi
Sumber : Risnawati, 2019

Keuntungan menggunakan ekstrak serai wangi sebagai berikut: i) merupakan bahan alami yang mudah terurai sehingga aman terhadap lingkungan dan produk pertanian, ii) memiliki harga yang relatif lebih murah dibanding dengan bahan pestisida sintetik, dan iii) aplikasi yang relatif mudah sehingga dapat dilakukan oleh setiap orang. Pestisida organik ekstrak/minyak atsiri serai wangi memiliki kandungan senyawa aktif dipentena, farnesol, geraniol, mirsena, metal heptenol, sitronella, nerol dan sitral. Kandungan senyawa aktif tanaman serai dapat mengendalikan hama tanaman termasuk: kepik cokelat, kutu tanaman dan beberapa serangga Tribolium sp, Sitophilus sp, Callosobruchus sp, nematoda Meloidogyne sp, dan jamur Pseudomonas sp.

B. Alat dan Bahan

Alat yang di gunakan untuk pembuatan pestisida organik adalah pisau, penumbuk (mortar), panci ukuran 3 liter, kompor, jerigen air ukuran 2,5 liter, timbangan analitik, gelas ukur, saringan, handsprayer, kamera, alat tulis, kalkulator, dan komputer. Bahan percobaan adalah tanaman cabe dan hama kutu daun cokelat. Sedangkan bahan yang diperlukan untuk pembuatan pestisida organik adalah batang serai wangi dan air bersih.

C. Pembuatan Pestisida Organik

Pembuatan pestisida organik berbahan baku batang serai wangi adalah dengan langkah sebagai berikut:

a. Siapkan batang serai wangi segar yang sudah dibersihkan dari daun, kemudian ditimbang sebanyak 100 g.

b. Batang serai wangi segar lalu dibasuh menggunakan air mengalir dengan tujuan untuk membersihkan kotoran yang ada di batang serai wangi tersebut.

c. Batang serai wangi yang segar dan bersih tersebut kemudian ditumbuk.

d. Siapkan panci kemudian diisi air bersih sebanyak 2.000 ml dan dimasukkan batang serai wangi yang segar, bersih dan sudah ditumbuk tersebut.

e. Rebus serai wangi tersebut hingga mendidih (40 menit), dan dalam proses perebusan dilakukan aduk-aduk serai wangi tersebut sampai serai wangi mengeluarkan minyak atsirinya.

f. Dinginkan serai wangi tersebut lalu dimasukkan air rebusan serai wangi beserta serainya ke dalam jerigen air.

g. Dilakukan inkubasi air rebusan batang serai wangi tersebut selama 24 jam sebagai ekstrak serai wangi dan disebut dengan pestisida organik.

Gambar 2. Ekstrak serai wangi selesai diproses yang dimasukkan kedalam jerigen (kiri) dan ekstrak serai wangi siap diaplikasikan (kanan)
Sumber : Arfianto, 2016

D. Aplikasi Pestisida Organik

Pengaplikasian pestisida organik ekstrak serai wangi untuk mengendalikan hama kutu daun cokelat pada tanaman cabe dilakukan sebagai berikut:

a. Mengambil ekstrak serai wangi sebagai pestisida organik dengan cara larutan ekstrak disaring dari jerigen dan diukur menggunakan gelas ukur.

b. Membuat konsentrasi larutan pestisida organik dengan konsentrasi 75 ml ekstrak serai wangi ditambah air bersih 100 ml.

c. Menyemprotkan pestisida organik ekstrak serai wangi seminggu sekali selama 3 (tiga) minggu berturut-turut menggunakan hand sprayer yang dilakukan pada pagi.

Oleh: Alimin, S.P., M.Sc.

Sumber Pustaka

Arfianto, Fahruddin. 2016. Pengendalian Hama Kutu Daun Coklat Pada Tanaman Cabe Mengggunakan Pestisida Organik Ekstrak Serai Wangi (The Control of Brown Leaves (Toxoprera citricidus Kirk) on Chili (Capsicum annum L.) by Using Organic Pesticide Citronella Extract (Cymbopogon nardus L.). Agrotek, Faperta. Univ. Muhammadiyah Palangkaraya.

Aulung A., Sri R., dan Anggitia N. H. 2014. Pengaruh Ekstrak Serai Wangi (Cymbopogon nardus L.) terhadap Kematian Larva Aedes aegypti. Fakutas Kedokteran, UPN . Jakarta.

Risnawati. 2019. Pengaruh Ekstrak Serai Wangi (Cymbopogon Nardus) terhadap Daya Tarik Lalat Buah Jantan Bactrocera spp. (Diptera: Tephritidae) di Perkebunan Cabai Muaro Jambi. Prog. Studi Biologi. Faperta, UIN Sulthan Thaha Saifuddin.  Jambi.

Rizal., Molide. 2009. Pemanfaatan Tanaman Atsiri Sebagai Pestisida Nabati. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor.


Bagikan Artikel Ini  

Aksi Gerakan Pengendalian Oryctes rhinoceros di FOOD ESTATE Kalimantan Tengah

Diposting     Jumat, 20 Oktober 2023 10:10 am    Oleh    perlindungan



Pembangunan pertanian di Indonesia dihadapkan pada masalah isu perubahan lingkungan strategis global dan ketahanan pangan nasional.  Beberapa permasalahan tersebut diantaranya, peringatan musim kemarau, adanya himbauan dari WFO mengenai ancaman krisis pangan, penyediaan pangan bagi 270 juta penduduk Indonesia, daya beli masyarakat terhadap produk pertanian yang lemah, dan gangguan stok pangan nasional. Masalah lainnya di sektor pertanian adalah inefisiensi pengelolaan lahan dalam kaitannya dengan luas dan status lahan yang digarap petani, produktivitas yang masih rendah, penggunaan teknologi yang masih terbatas serta inovasi yang lemah.

Food Estate (FE) merupakan salah program strategis pertanian nasional dalam upaya meningkatkan produktivitas yang diusahakan dalam skala luas dengan penerapan mekanisasi dan digitalisasi serta berbasis korporasi petani. Food Estate merupakan konsep pengembangan produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan yang berada di suatu kawasan lahan yang luas.  Pengembangan FE di setiap wilayah diharapkan dapat mengatasi persoalan pangan, minimal di wilayah tersebut sebagai penyanggah pangan daerah dan/atau nasional.

Tujuan program Food Estate di Provinsi Kalimantan Tengah antara lain:

  1. Membangun kawasan tanaman pangan, perkebunan dan ternak terpadu yang berdaya saing, ramah lingkungan dan modern di Provinsi Kalimantan Tengah.
  2. Mendorong sinergitas dengan stakeholders dalam pengembangan FE berbasis tanaman pangan, perkebunan dan ternak di Provinsi Kalimantan Tengah.
  3. Mendorong terbentuknya kelembagaan petani berbasis korporasi di Provinsi Kalimantan Tengah

Direktorat Jenderal Perkebunan, melalui Direktorat Perlindungan Perkebunan menindaklanjuti hasil monitoring dan evaluasi (monev) terpadu Pengembangan FE di Kalimantan Tengah.  Salah satu permasalahan yang menjadi titik kritis yaitu pertumbuhan kelapa genjah kurang optimal. Hal ini disebabkan kurangnya pemeliharaan secara intensif dan adanya serangan Organisme Penganggu Tumbuhan (OPT). Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan, Pasal 48 menyatakan bahwa pelindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem pengelolaan hama terpadu. Penerapan pengendalian hama terpadu dilakukan melalui upaya preventif dan responsif. Tindakan responsif telah dilakukan oleh Direktorat Perlindungan Perkebunan terhadap serangan OPT pada kelapa genjah yaitu sebagai berikut:

1. Tanggal 22 s.d 25 Agustus 2023 Direktorat Perlindungan Perkebunan melakukan identifikasi OPT yang menyerang tanaman kelapa genjah di lokasi FE (Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas). Beberapa OPT yang menyerang tanaman kelapa genjah di lokasi FE tersebut, yaitu kumbang tanduk (Oryctes rhinoceros) dan kumbang janur (Brontispa longissima).

Gambar 1. Gejala Serangan dan Imago O. rhinoceros
Gambar 2. Gejala Serangan dan Imago B. longissima

2. Tanggal 20 September 2023 Direktorat Perlindungan Perkebunan melakukan gerakan pemasangan perangkap dengan feromon untuk menekan populasi dari kumbang O. rhinoceros. Kegiatan gerakan pengendalian O. rhinoceros dengan bantuan 80 perangkap dan 80 feromon di Kabupaten Pulang Pisau serta 20 perangkap dan 20 feromon di Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah.

Gambar 3. Penyerahan perangkap dan feromon ke kelompok tani
Gambar 4. Pemasangan perangkap dan feromon O. rhinoceros

Dalam melakukan pengendalian hama O. rhinoceros di Provinsi Kalimantan Tengah perlu kebijakan pembangunan perkebunan yang berkelanjutan dan dukungan pengendalian OPT yang berdasarkan pada pertimbangan ekologi sehingga tidak mengakibatkan resistensi dan resurjensi OPT, serta tidak membahayakan kesehatan manusia maupun lingkungan. Keberhasilan suatu aksi pengendalian, harus didukung dengan sinergisitas dan keterpaduan para pihak dalam mengoptimalkan gerakan pengendalian O. rhinoceros serta pemberdayaan masyarakat secara bersama-sama.

Penulis: Dedy Aminata, Bibit Bakoh dan Ratri Wibawanti


Bagikan Artikel Ini  

Pertanian Organik Sebagai Jawaban Tantangan Pertanian Global Dalam Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)

Diposting     Jumat, 13 Oktober 2023 01:10 pm    Oleh    perlindungan



Salah satu sektor yang paling terdampak dengan adanya perubahan iklim adalah pertanian. Perubahan iklim menghadirkan tantangan baru bagi sektor pertanian yang berdampak luas dan signifikan. Perubahan pola curah hujan, kenaikan suhu, dan fenomena iklim ekstrem (banjir dan kekeringan) memicu kekhawatiran akan keberlanjutan produksi dan ketahanan pangan di berbagai belahan dunia, tidak terkecuali Indonesia (Surmaini, dkk, 2011).

Perubahan iklim merupakan proses alami yang memiliki kecenderungan secara berkelanjutan dalam jangka panjang. Seiring dengan pergeseran pola iklim, perubahan persebaran organisme pengganggu tumbuhan (OPT) juga memiliki dampak negatif terhadap pertanian. Dahulu, upaya pengendalian OPT cenderung menggunakan pestisida dengan bahan kimia sintetis karena hasilnya yang cepat dan efisien. Namun, penggunaan pestisida kimia sintetis yang kurang bijaksana menimbulkan masalah baru seperti resistensi dan resurjensi OPT serta residu pestisida yang berdampak terhadap kesehatan manusia dan lingkungan di kemudian hari. Pola pikir masyarakat yang semakin progresif membuat masyarakat menaruh perhatian terhadap pangan yang aman dikonsumsi.

Menilik berbagai hal tersebut, Indonesia berupaya untuk menjawab tantangan global di bidang pertanian melalui salah satu program dari Nawacita yang telah dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo. Penerapan kegiatan yang dapat mendukung dalam menjawab tantangan global tersebut, salah satunya adalah desa pertanian organik berbasis komoditas perkebunan. Sesuai arahan Presiden, kegiatan ini telah dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian sejak tahun 2016. Kegiatan desa pertanian organik mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) 6729:2016 tentang sistem pertanian organik dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2019 tentang sistem budi daya pertanian berkelanjutan.

Pertanian organik merupakan sistem budi daya dan manajemen produksi pertanian yang mendorong serta meningkatkan kesehatan agroekosistem yang didalamnya termasuk keanekaragaman hayati, siklus biologis, dan aktivitas biologis tanah. Pertanian organik tidak hanya sebagai sistem produksi pertanian, namun juga sebagai sebuah pendekatan sistemik dan komprehensif terhadap penghidupan berkelanjutan secara umum pada tingkat fisik, ekonomi, atau sosial budaya. Selain itu, pertanian organik memiliki potensi kuat untuk membangun ketahanan dalam menghadapi iklim yang cenderung berubah-ubah (Eyhorn, 2007; Wani, dkk, 2013).

Pada periode awal penerapan kegiatan desa pertanian organik (tahun 2016-2019), Direktorat Jenderal Perkebunan telah membina sekitar 160 kelompok tani komoditas perkebunan dari seluruh wilayah Indonesia. Tiap kelompok tani yang mengikuti program desa pertanian organik diberikan bantuan pengungkit berupa ternak ruminansia kecil/besar, kandang ternak, rumah kompos, dan lain-lain. Bantuan tersebut diberikan sebagai pemicu dalam rangka menjadikan kelompok tani mandiri dalam penyediaan input produksi di kebunnya.

Gambar 1. Penerapan input produksi di kebun pada program kegiatan desa pertanian organik berbasis komoditas perkebunan

Manfaat yang diperoleh kelompok tani dalam penyediaan input produksi secara mandiri, salah satunya adalah mengurangi ketergantungan pupuk yang diperoleh dari luar ekosistem kebun. Kelompok tani memanfaatkan kotoran yang dihasilkan oleh ternak dan sisa-sisa pangkasan tanaman menjadi pupuk organik dengan metode pengolahan kompos. Pengomposan memiliki potensi dalam pengurangan emisi GRK dari bidang pertanian walaupun dampak keseluruhan yang ditimbulkan masih tergolong relatif kecil. Meskipun begitu, pengomposan memiliki beberapa kelebihan dalam mengatasi sejumlah masalah lingkungan lainnya seperti kualitas air permukaan dan air tanah, emisi amonia, dan patogen. Sehingga pengomposan dapat menjadi salah satu upaya yang efektif dalam mengurangi emisi GRK dan masalah lingkungan lainnya (Paul, dkk, 2001).

Desa pertanian organik berbasis komoditas perkebunan memiliki beberapa tahapan kegiatan yang terbagi dalam lima tahun secara berkelanjutan. Kegiatan dimulai dengan menetapkan calon kelompok tani yang diusulkan oleh dinas provinsi yang membidangi perkebunan kepada Kementerian Pertanian sebagai peserta. Setelah peserta ditetapkan, kemudian kelompok tani akan diberikan bantuan input produksi dan pendampingan tentang sistem pertanian organik oleh penyuluh di tingkat kabupaten dan provinsi. Pendampingan akan dilakukan secara berkala hingga tahap akhir kegiatan di tahun kelima. Pada tahun kedua akan diberikan pelatihan mengenai Good Agricultural Practice (GAP) juga pelatihan pembuatan bahan pengendali OPT dan kompos (pemanfaatan input produksi).

Tahapan kegiatan pada tahun ketiga, yaitu pelatihan pendampingan, dan pre-assessment. Dalam pelatihan ini, kelompok tani akan diberikan pengetahuan serta simulasi mengenai sistem kendali internal (ICS) pada kelembagaan pertanian organik dan audit internal yang mengacu pada SNI 6729:2016. Pada tahun keempat kelompok tani yang sudah siap akan dilakukan sertifikasi organik SNI dan/atau regional dunia tergantung target pasar yang akan dituju. Selain melaksanakan sertifikasi, kelompok tani juga diberikan pelatihan mengenai utilisasi dan pemasaran produk. Kelompok tani juga akan diberikan dukungan promosi dan pemasaran yang bekerja sama dengan dinas yang membidangi perdagangan dan dinas yang membidangi perindustrian setempat. Umumnya sertifikat organik SNI berlaku selama dua tahun dan sertifikat organik regional dunia berlaku selama satu tahun sehingga, setelah dilakukan sertifikasi akan dilakukan surveilens sertifikasi jika masa berlaku sertifikat yang diperoleh akan berakhir. Surveilens biasanya akan dilaksanakan pada tahap akhir/tahun kelima kegiatan.

Gambar 2. Tahapan kegiatan desa pertanian organik berbasis komoditas perkebunan

Kelompok tani yang dibina telah disertifikasi organik baik sesuai SNI maupun regional dunia. Berbekal sertifikat organik regional dunia yang telah diperoleh, sejak tahun 2019 beberapa kelompok tani telah menginisiasi untuk memasarkan produknya ke beberapa negara di wilayah Asia, Eropa, Australia, dan Amerika secara kontinu. Selain pembiayaan sertifikasi organik, Direktorat Jenderal Perkebunan juga memfasilitasi uji mutu produk organik yang juga dipasarkan oleh kelompok tani.

Beberapa pengujian yang difasilitasi Direktorat Jenderal Perkebunan diantaranya, yaitu: uji mutu, uji cita rasa, serta uji kandungan glyphosate dan isoprocarb pada komoditi kopi. Hasil uji menunjukkan bahwa terdapat lima belas kelompok tani komoditi kopi yang produknya memiliki mutu grade 1 berdasarkan SNI 2907:2018 tentang biji kopi. Mutu grade 1 dideskripsikan dengan jumlah nilai cacat maksimum 11 yang ditentukan oleh beberapa parameter contohnya seperti biji berwarna hitam, biji pecah, biji berlubang, biji masih terdapat kulit kopi dan/atau kulit tanduk serta, terdapat benda asing seperti ranting, tanah, dan kerikil pada sampel biji kopi yang diuji (BSN, 2018). Lima belas kelompok tani tersebut tersebar di provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Untuk uji cita rasa, terdapat tiga puluh kelompok tani yang produknya memiliki nilai cita rasa lebih dari 80. Nilai 80 merupakan nilai minimum untuk dapat dikategorikan sebagai Specialty grade pada laboratorium penguji Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka).

Glyphosate adalah salah satu bahan aktif herbisida yang umum digunakan secara luas dalam bidang pertanian untuk mengendalikan populasi gulma sedangkan, isoprocarb adalah senyawa aktif yang biasanya terdapat pada insektisida. Berdasarkan komisi Uni Eropa tentang batas maksimum residu (BMR), produk biji kopi yang hendak dipasarkan ke wilayah Uni Eropa harus memenuhi persyaratan BMR pada nilai < 0,1 mg/Kg untuk Glyphosate (European Commission). Pemerintah Jepang (Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan) memberlakukan hal serupa pada BMR untuk isoprocarb pada nilai < 0,01 mg/Kg untuk komoditi biji kopi yang diekspor ke negaranya (Diyasti, dkk, 2022). Hasil uji kandungan glyphosate dan isoprocarb yang telah dilakukan menunjukkan dari lima belas sampel biji kopi yang diuji, seluruhnya tidak terdeteksi adanya kandungan glyphosate dan isoprocarb masing-masing pada Limit of Detection (LoD) sebesar 0,0097 mg/Kg dan 0,001 mg/Kg.

Melihat hasil beberapa uji yang telah dilakukan menunjukkan keseriusan dan komitmen dari Kementerian Pertanian juga kelompok tani peserta kegiatan desa pertanian organik berbasis komoditas perkebunan dalam menyediakan pangan yang aman dikonsumsi masyarakat serta mendukung kelestarian lingkungan. Oleh sebab itu, keberhasilan yang telah dicapai membuat program ini dilanjutkan kembali pada periode tahun 2020-2024. Pada tahun 2023, Direktorat Jenderal Perkebunan membina 44 kelompok tani di dua belas provinsi sebagai peserta kegiatan desa pertanian organik. Dalam beberapa tahun ke depan, kelompok tani komoditas perkebunan yang mengikuti kegiatan desa pertanian organik diharapkan semakin bertambah setiap tahunnya juga mutu produk yang dihasilkan semakin baik agar manfaat jangka panjang bagi masyarakat dan lingkungan sekitar semakin terasa.

Penulis : Reno Agassi, Herly Kurniawan, Eva Lizarmi

DAFTAR REFERENSI

Badan Standardisasi Nasional. 2018. Biji Kopi. https://www.cctcid.com/wp-content/uploads/2018/08/SNI_2907-2008_Biji_Kopi-1.pdf. Diakses pada 6 Juli 2023 pk. 14.24 WIB.

Diyasti, F., Tulus, T. M & Eva. L. 2022. Sistem Pertanian Organik sebagai Jawaban Penanganan Isu Residu Isoprocarb pada Biji Kopi Indonesia. https://ditjenbun.pertanian.go.id/sistem-pertanian-organik-sebagai-jawaban-penanganan-isu-residu-isoprocarb-pada-biji-kopi-indonesia/. Diakses pada 7 Juli 2023 pk. 07.58 WIB.

Eyhorn, F. 2007. Organic Farming For Sustainable Livelihoods In Developing Countries: The Case Of Cotton In India. Executive Summary. https://www.nccr-north-south.ch/Upload/Eyhorn_organic_farming.pdf. Diakses pada 6 Juli 2023 pk. 11.16 WIB.

European Commission. EU Pesticides Database. https://ec.europa.eu/food/plant/pesticides/eu-pesticides-database/start/screen/mrls. Diakses pada 6 Juli 2023 pk. 14.44 WIB.

Paul, J. W., Claudia. W., Andrew. T., Ron. F & Malcolm, M. 2001. Composting As A Strategy To Reduce Greenhouse Gas Emissions. https://citeseerx.ist.psu.edu/document?repid=rep1&type=pdf&doi=f6633918ea08c19780b9392066b4300687ba40c3. Diakses pada 7 Juli 2023 pk. 10.41 WIB.

Surmaini, E., Eleonora. R & Irsal. L. 2011. Upaya Sektor Pertanian Dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Jurnal Litbang Pertanian 30(1): 1—7.

Wani, S. A., Subhash. C., G. R. Najar & M. A. Teli. 2013. Organic Farming: As A Climate Change Adaptation And Mitigation Strategy. Current Agriculture Research Journal 1(1): 45—50.


Bagikan Artikel Ini  

Pengendalian Penyakit Gugur Daun Karet Demi Menjaga Produktivitas Karet

Diposting     Jumat, 29 September 2023 10:09 am    Oleh    perlindungan



Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan andalan dalam perdagangan dan merupakan sumber penerimaan devisa negara yang cukup penting selama dekade terakhir ini. Indonesia memiliki luas areal perkebunan karet nomor 1 di seluruh dunia, yaitu 3.776.485 ha yang dikelola oleh rakyat sebesar 90,91 %. Dibandingkan dengan negara-negara kompetitor penghasil karet yang lain, Indonesia memiliki produksi yang masih rendah, yaitu 3.045.314 ton atau produktivitas karet sebesar 1.015 kg/ha pada tahun 2021. Produktivitas karet sangat dipengaruhi oleh teknik budi daya yang diterapkan. Pemeliharaan tanaman karet merupakan salah satu kegiatan budi daya yang sangat penting dan menentukan masa produktif tanaman karet. Salah satu aspek pemeliharaan tanaman yang perlu diperhatikan dalam kegiatan budi daya karet adalah pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) yang terdiri dari hama, penyakit dan gulma. Salah satu penyakit utama pada budi daya tanaman karet selama 5 tahun terakhir ini yang belum tuntas penanganannya adalah penyakit Gugur Daun Karet (GDK). Berdasarkan laporan data serangan OPT pada aplikasi Sistem Pelaporan dan Rekapitulasi Data OPT Berbasis Daring (online)/Sipereda, data serangan 5 tahun terakhir tampak pada Grafik 1.

Grafik 1. Luas serangan penyakit GDK Pestalotiopsis sp. di Indonesia tahun 2019-2023

Penyakit GDK yang sering menyerang tanaman karet disebabkan oleh beberapa jenis jamur, yaitu: jamur Colletotrichum gloeosporioides, Corynespora cassiicola, Oidium heveae, Fusicoccum sp., dan Pestalotiopsis sp. Tanaman karet yang terkena penyakit GDK akan mengalami kerusakan pada daun, yang kemudian rontok secara bersamaan. Jika tidak ditangani, tanaman akan meranggas dan dapat menyebabkan penurunan produksi getah hingga 40%.Tingginya serangan penyakit GDK terutama yang disebabkan oleh jamur Pestalotiopsis sp. dan minimnya tindakan pengendalian yang dilakukan oleh pekebun/kelompok tani menyebabkan produksi karet makin menurun dan pendapatan pekebun berkurang. Penyakit GDK akibat jamur Pestalotiopsis sp. tersebar di Provinsi Aceh, Bengkulu, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Lampung, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara.

Kegiatan dalam upaya menurunkan serangan OPT antara lain penanganan OPT dengan sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Penanganan OPT tersebut harus didukung dengan peran aktif, kesadaran, dan kemauan masyarakat. Konsep PHT menggunakan pendekatan komprehensif dan menekankan pada ekosistem yang ada dalam lingkungan tertentu, serta mengintegrasikan berbagai teknik pengendalian yang kompatibel. Untuk mengendalikan OPT, pekebun masih memerlukan bantuan sehingga pemerintah memberikan bantuan pengendalian OPT sebagai trigger yang dapat ditiru oleh pekebun, sehingga pengendalian dapat dilakukan secara masif. Salah satu upaya untuk mengurangi kehilangan hasil karet pekebun akibat serangan OPT tersebut, Kementerian Pertanian melalui Direktorat Perlindungan Perkebunan telah mengalokasikan anggaran pada tahun 2020 hingga 2023 melalui Tugas Pembantuan (TP Provinsi) untuk kegiatan pengendalian OPT tanaman karet. Kegiatan ini bertujuan untuk membantu dan mendorong petani dalam melakukan pengendalian OPT secara mandiri pada pusat – pusat serangan agar serangan OPT terkendali dan tidak meluas pada areal tanaman lainnya.

Grafik 2. Luas pengendalian OPT utama karet pada tahun 2020-2023

Kegiatan pengendalian OPT ini dilakukan dengan pola padat karya yang melibatkan petani, petugas pengamat OPT, pegawai Dinas Perkebunan, dan petugas Brigade Proteksi Tanaman (BPT). Pada kegiatan pengendalian OPT tanaman karet, pekebun didampingi oleh petugas lapangan melakukan pengamatan di kebun sehingga dapat mengetahui jenis OPT yang menyerang tanaman karet dan cara pengendaliannya. Teknologi pengendalian penyakit GDK yang disebabkan oleh jamur Pestalotiopsis sp. yang dapat diterapkan oleh pekebun adalah sebagai berikut:

1. Melakukan sanitasi kebun dengan mengumpulkan dan memusnahkan sisa-sisa tanaman sakit yang dapat menjadi sumber serangan.

2. Pemupukan tanaman secara teratur sesuai dosis anjuran dan ekstra 25% N.

Tabel 1. Rekomendasi umum pemupukan pada TBM
Tabel 2. Rekomendasi umum pemupukan pada TM

3. Peremajaan kebun yang terserang berat.

4. Kimiawi dengan aplikasi fungisida berbahan aktif metil thiophanat, propiconazol atau heksaconazol berdasarkan rekomendasi dari Pusat Penelitian Karet. Berikut aplikasi fungisida untuk setiap bahan aktif:

  • Aplikasi fungisida berbahan aktif metil thiophanat dengan dosis 2 ml/l air pada daun yang gugur di permukaan tanah untuk mengendalikan spora jamur Pestalotiopsis sp. Aplikasi dengan menggunakan knapsack sprayer atau mist blower denganinterval aplikasi dua kali, yaitu: pada saat setelah gugur akibat penyakit dan setelah gugur daun alami.
  • Aplikasi fungisida berbahan aktif propikonazol atau heksakonazol dengan dosis 5 ml/l air pada tajuk tanaman dengan menggunakan mist blower atau power sprayer dan dibutuhkan suspensi sebanyak 400-500 l/ha.   

Penyemprotan dilakukan pada saat pembentukan daun baru setelah masa gugur daun, yaitu saat terbentuk 10 – 15 % daun muda (berwarna coklat) dan penyemprotan diulang pada 2 – 2,5 bulan setelah penyemprotan pertama.

Gambar 3. Aplikasi fungisida dengan power sprayer pada tanaman karet

Aplikasi fungisida dengan cara fogging dan spraying ke bagian tajuk tanaman. Jika dipilih cara fogging disarankan juga spraying fungisida di bagian bawah gawangan lahan/ groundcover. Pengendalian penyakit GDK dengan fungisida akan efektif apabila dilaksanakan pada saat flush baru akan mekar. 

  • Aplikasi dengan cara fogging menggunakan dosis fungisida yaitu 500 ml bahan aktif + 4 l solar + 1 l air + 100 ml agristik (emulgator).
Gambar 4. Aplikasi fungisida; (a) dengan cara fogging dan (b) pada gawangan dengan knapsack

Direktorat Jenderal Perkebunan cq. Direktorat Perlindungan Perkebunan telah melakukan kebijakan untuk penanganan serangan OPT utama pada tanaman karet, di antaranya:

  1. Sosialisasi dan melakukan gerakan pengendalian penyakit GDK yang terjadi beberapa kali dengan mengaplikasikan fungisida berbahan aktif heksakonazol menggunakan alat power sprayer dan fogger pada Februari 2018.
  2. Berkoordinasi dengan Pusat Penelitian Karet Sembawa terkait penyebab penyakit, data serangan, dan upaya pengendalian.
  3. Melakukan Focus Group Discussion (FGD) penanganan OPT utama pada tanaman karet di Bogor yang dihadiri oleh Dinas Provinsi sentra karet, Pusat Penelitian Karet, Balai Penelitian Karet, dan Perguruan Tinggi.
  4. Kegiatan penerapan PHT seluas 150 ha dan pengendalian OPT pada tanaman karet (penyakit Jamur Akar Putih/JAP dan GDK) seluas 450 ha di Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Bengkulu, dan Kalimantan Selatan.
  5. Pengamatan rutin dan surveilans di Sumatera Selatan dan Kepulauan Bangka Belitung.
  6. Memantau data serangan OPT pada sentra karet di Indonesia melalui aplikasi Sistem Pelaporan dan Rekapitulasi Data OPT Berbasis Daring (online)/Sipereda.
  7. Bimbingan teknis penanganan OPT tanaman karet di Puslit Karet Sembawa pada Februari 2020.
  8. Alokasi pestisida kimiawi untuk pengendalian penyakit GDK yang disebabkan oleh jamur Pestalotiopsis sp. pada kegiatan Brigade Proteksi Tanaman (BPT) di 6 provinsi (Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan).
  9. Mengkoordinasikan ke seluruh dinas provinsi sentra penghasil karet untuk melakukan pengamatan dan pengendalian terhadap penyakit GDK.

Penulis : Yuni Astuti dan Ratri Wibawanti

DAFTAR PUSTAKA

Alimin, Yuni A dan Nur I. 2019. Pengenalan dan Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) Tanaman Karet (Revisi I). Direktorat Perlindungan Perkebunan. Direktorat Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Direktorat Perlindungan Perkebunan. 2023. Petunjuk Teknis Area Penanganan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) Tanaman Perkebunan Tahun 2023 . Direktorat Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Fairuzah, Z. 2019. Insiden Penyakit Gugur Daun Tanaman Karet di Indonesia. Balai Penelitian Sungai Putih. Pusat Penelitian Karet. Medan.

Pusat Penelitian Karet. 2019. Outbreak Penyakit Gugur Daun Pestalotiopsis. Riset Perkebunan Nusantara. Bogor.

Tim Direktorat Perlindungan Perkebunan. 2017. Instruksi Kerja Pengamatan dan Pengendalian OPT Penting Tanaman Perkebunan. Direktorat Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian. Jakarta.


Bagikan Artikel Ini  

Waspada Serangan Hama Penggerek Batang Cengkeh (PBC) Di Kabupaten Seram Bagian Barat

Diposting     Selasa, 26 September 2023 08:09 am    Oleh    perlindungan



Cengkeh (Syzygium aromaticum) merupakan salah satu komoditas unggulan perkebunan yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap perekonomian nasional. Komponen utama yang terkandung dalam minyak cengkeh adalah eugenol, yang kadarnya bervariasi antara 60 – 90%. Komponen lainnya adalah kariofilena, humulena, dan eugenil asetat. Eugenol dan turunannya banyak digunakan dalam industri, terutama sebagai bahan dasar industri kimia khusunya flavor dan fragrans, farmasi, semen gigi, bahan aktif kemasan makanan, pakan ternak, serta penggunaan dalam dunia pertanian, seperti atraktan lalat buah, dan pestisida nabati.

Berdasarkan Statistik Perkebunan 2020-2022, cengkeh telah memberi sumbangsih yang cukup besar bagi sumber devisa negara. Pada tahun 2020, ekspor cengkeh nasional mencapai 47.765 ton ke Arabia, Uni Emirat Arab, dan Singapura dengan nilai mencapai 176.557.000 US$. Luas total areal tanaman cengkeh nasional pada tahun tersebut mencapai 575.813 ha dengan jumlah produksi sebesar 144.078 ton.

Provinsi Maluku merupakan salah satu penghasil cengkeh. Pada tahun 2020 areal tanaman cengkeh dilaporkan seluas 44.555 ha dengan produksi 20.695 ton, banyak tersebar di Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku Tengah, Maluku Barat Daya, Buru, Buru Selatan, Seram bagian Barat, Seram Bagian Timur, Ambon, dan Tual. Luas areal dan produksi cengkeh tiga besar di Provinsi Maluku adalah Kabupaten Maluku Tengah (luas 18.746 ha dan produksi 9.604 ton), Seram Bagian Timur (luas 10.073 ha dan produksi 4.963 ton), dan Seram Bagian Barat (luas 7.126 ha dan produksi 3.000 ton).

Kejayaan tanaman cengkeh tak terlepas dari serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) yang seringkali menjadi faktor pembatas kualitas dan kuantitas hasil. Baru-baru ini kasus serangan OPT kembali terjadi di Provinsi Maluku yaitu serangan Penggerek Batang Cengkeh (PBC).  Selain dilaporkan di Kabupaten Seram Timur dan Maluku Tengah, serangan PBC juga ditemukan di Kabupaten Seram Bagian Barat. Berdasarkan laporan bahwa tanaman cengkeh terserang penggerek batang dari spesies Nothopeushemipterus Oliv dan N. fasciatipennis Watt. (Coleoptera: Cerambycidae).  Dua spesies ini hampir sama bentuk, perilaku maupun cara hidupnya.

A.  Biologi Nothopeus spp.
Telur PBC berukuran + 3 mm dan berbentuk bulat hingga lonjong, tertutup substansi padat, berwarna hijau muda mengkilat dan tembus cahaya. Telur ini diletakkan pada bagian celah/lekukan kulit batang bawah tanaman cengkeh, dekat permukaan tanah. Lama stadia telur 13 – 15 hari.
Larva PBC yang telah berkembang sempurna berukuran panjang ± 15 mm. Larva berbentuk silindris, berwarna putih pucat, dan pada thorax terdapat 3 (tiga) pasang tungkai yang tidak berkembang dengan baik. Lama stadia larva Nothopeus spp. di dalam batang 130 – 350 hari. Larva merupakan stadia yang paling berbahaya. Hama penggerek ini menyerang tanaman yang telah berumur lebih dari 6 (enam) tahun. Makin tua umur tanaman, tingkat serangan makin tinggi. Sebelum menjadi pupa, larva mengalami stadia prepupa ± 20 hari. Gambar 2. Larva a) kecil, b) larva besar, dan c) pupa Nothopeus spp.

Gambar 1. a) Larva kecil, b) larva besar, dan c) pupa Nothopeus spp.
Sumber : Balittro

Pupa PBC berukuran 2,5 – 3,0 cm, pada mulanya berwarna putih, lalu akan berubah menjadi coklat kehitaman menjelang keluarnya imago. Lama stadia pupa 22 – 26 hari. Imago PBC berwujud kumbang memiliki ukuran tubuh 3,5 cm x 0,8 cm, berwarna cokelat, panjang antena melebihi panjang tubuh, mempunyai antena dan tungkai belakang yang panjang dengan sayap perisai pendek. Lama stadia imago betina 10 – 18 hari, sedangkan jantan 5 – 22 hari. Setelah 3 minggu imago baru keluar dari dalam lubang gerek/pohon. Lubang keluar umumnya berdiameter lebih besar dari lubang gerek aktif. Setelah imago keluar dapat terjadi perkawinan dan satu hari kemudian sudah meletakkan telur 14 – 90 butir.

B. Gejala Serangan PBC
Stadia penggerek batang cengkeh yang dianggap paling berbahaya adalah larva, yang mampu bertahan hidup di lubang gerekan selama 130 – 350 hari. Gejala serangan yang tampak pada pohon adalah lubang-lubang berukuran 3 – 5 mm yang ditutupi serbuk kayu hasil gerekan. Dari dalam lubang gerekan tersebut keluar cairan kental bercampur kotoran hama. Jumlah lubang gerekan dapat mencapai 20 – 70 buah/pohon. Lubang gerek tersebut menembus ke dalam batang tanaman cengkeh, bisa mengarah ke bagian atas atau ke bagian bawah tanaman. Jika batang cengkeh dipotong dengan irisan melintang maka lubang gerek akan terlihat menyebar di bagian dalam tanaman dengan pola yang tidak beraturan. Jika jaringan xylem yang diserang maka transportasi air dari akar kebagian atas tanaman terganggu. Namun jika serangan PBC merusak jaringan phloem maka transportasi asimilat dari daun ke bagian tanaman yang lain juga terganggu. Kerusakan tersebut mengakibatkan mahkota daun cengkeh berubah dari hijau menjadi kekuning-kuningan, daun menguning dan gugur sehingga tanaman meranggas, dan jika serangan berat maka tanaman akan mati dan mengering.

Gambar 2. Tanaman cengkeh yang terserang penggerek batang, a) daun mengering dan rontok, b) lubang gerek
Sumber : Ditlinbun

C. Pengelolaan PBC
Upaya pengelolaan hama penggerek batang cengkeh dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Perlu koordinasi dan sosialisasi kepada pemangku kepentingan bahwa kondisi meningkatnya serangan hama penggerek batang/cabang/ranting pada cengkeh adalah kondisi prioritas yang  perlu dikendalikan dengan mengalokasikan anggaran, pemetaan daerah serangan, dan lokasi mana saja yang akan diprioritaskan untuk dikendalikan.

2. Perlu melakukan pengamatan secara dini terhadap hama penggerek batang cengkeh di setiap wilayah kerjanya.

3. Pengendalian yang dilakukan yaitu dengan kultur teknis (sanitasi kebun dan pemupukan), penggunaan light trap, penggunaan plat kuning, serta memotong batang atau dahan yang terserang serta membunuh larva dan imago yang ditemukan di dalam lubang gerek aktif.

4. Pengendalian secara biologis
Pengendalian dengan menggunakan APH jamur Beauveria bassiana untuk tanaman yang terserang ringan sampai sedang.

Gambar 3. Aplikasi pestisida nabati dan agensia hayati: a) metoda injeksi, penutupan lubang gerek dengan b) lilin, dan c) pasak bambu
Sumber : Balittro

5. Pengendalian Kimiawi
Saat ini hanya ada dua jenis bahan aktif pestisida kimia yang terdaftar dan diizinkan untuk pengendalian Nothopeus sp. yaitu asefat dan karbofuran.

6. Untuk tanaman yang sudah terserang berat disarankan pengendalian dengan eradikasi, selanjutnya dilakukan peremajaan tanaman, intensifikasi dan rehabilitasi tanaman tua.

7. Membuat demplot pengendalian OPT cengkeh atau kebun sehat cengkeh.

Penulis : Alimin, S.P., M.Sc.

Sumber Pustaka

Ditjenbun.  2022.  Statistik Perkebunan Unggulan Nasional 2020-2022.  Ditjenbun.  Jakarta.

Lestaluhu, S.Z.  2019.    Hama Penggerek Batang Cengkeh dan Pengendaliannya. Internet: https://digitani.ipb.ac.id.  Digitani, IPB.  Diakses tanggal 10 November 2022.

Ratmawati, Ika.  2021.  Penggerek Batang Nothopeus sp. pada Tanaman Cengkeh dan Teknik Pengendalian di Kabupaten Probolinggo. DKPP Probolinggo. Internet: https://dkpp.probolinggokab.go.id.  Diakses tanggal 15 November 2022.

Rizal Molide.  2017. Pengendalian Terpadu Hama Penggerek Batang Cengkeh. Sirkuler Informasi Teknologi Tanaman Rempah dan Obat.  Balittro, Litbang Pertanian. Bogor.


Bagikan Artikel Ini