KEMENTERIAN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

Burung Serak Jawa (Tyto alba), Pahlawan Berjubah Putih Sahabat Petani

Diposting     Kamis, 07 April 2022 09:04 am    Oleh    perlindungan



Mungkin bagi sebagian orang, melihat sesuatu berwarna putih beterbangan di malam hari akan menjadi hal yang menakutkan. Umumnya hal tersebut akan dikaitkan dengan keberadaan makhluk tak kasat mata atau hantu. Namun, berbeda dengan makhluk satu ini yang keberadaannya justru menguntungkan bahkan disebut sebagai sahabat bagi petani. Burung Serak Jawa (Tyto alba) lebih dikenal umum sebagai “burung hantu”. Perilakunya yang aktif pada malam hari (nokturnal) dan terkadang mengeluarkan suara yang tidak biasa saat terbang inilah yang menyebabkan nama burung hantu disematkan oleh khalayak umum kepada. T. alba yang memiliki wilayah persebaran di hampir semua benua, kecuali Antartika.

Gambar 1. Wilayah Persebaran Tyto alba
[IUCN, 2019]

Burung Serak Jawa atau T. alba pertama kali dideskripsikan oleh Giovani Scopoli pada tahun 1769.  Nama penunjuk spesies alba mengacu pada warna bulunya yang putih (Lewis, 2020). Serak Jawa memiliki ciri morfologi yang berukuran besar, yaitu berkisar antara 32-40 cm dengan warna bulu putih, coklat muda pada bagian sayap dan puncak kepala. Wajah berbentuk hati, kaki jenjang dengan cakar, serta paruh berwarna putih kekuningan yang membengkok ke bawah (MacKinnon, dkk, 2010; Harris, 2002) seperti yang terlihat pada gambar 2.

Gambar 2. Ilustrasi Burung Serak Jawa (Tyto alba)
[MacKinnon, 2010]

Serak Jawa merupakan salah satu burung predator atau burung pemangsa yang dapat memangsa kelompok burung dan mamalia kecil. Salah satu hewan yang umum dijadikan mangsa oleh Serak Jawa adalah Tikus (Rattus spp.). Menurut Data serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) perkebunan yang dihimpun oleh Direktorat Jenderal Perkebunan selama periode tahun 2016-2021, tikus telah menyerang beberapa komoditas perkebunan seperti kakao, kapas, kelapa, kelapa sawit, dan tebu dalam 3 tahun terakhir. Kelapa Sawit menjadi salah satu komoditas yang terus mendapat serangan tikus selama 6 tahun berturut-turut. Total serangan tikus pada komoditas kelapa sawit pada periode tahun 2016-2021 dapat mencapai ratusan ribu hektar seperti yang terdapat pada tabel 1. Hal tersebut dapat mengurangi laju produksi maupun produktivitas pada komoditas perkebunan. Sehingga pengendalian terhadap tikus perlu dilakukan untuk menekan pengurangan laju produksi dan produktivitas tersebut.

Tabel 1. Luas Serangan Tikus Terhadap Komoditas Perkebunan pada Periode Tahun 2016-2021

Keterangan : – Tidak ada Serangan
Sumber       : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2021

Berdasarkan penelitian Wood & Liau (1984) populasi tikus dalam suatu perkebunan kelapa sawit dapat mencapai 537 ekor dalam satu hektar dan menurut Dhamayanti (2009) rata-rata jumlah pohon kelapa sawit dalam satu hektar dapat mencapai 130 batang. Sehingga populasi tikus pada tiap batang kelapa sawit sejumlah 4 ekor. Sipayung, dkk (1987) dalam penelitiannya menyatakan bahwa seekor tikus dapat memakan buah kelapa sawit berkisar antara 5,5-13,6 gram per hari. Dengan asumsi ambang batas ekonomi pada komoditas kelapa sawit sebesar 5%, maka batas jumlah pohon kelapa sawit terserang tikus yang dapat ditoleransi sejumlah 7 batang dalam satu hektar. Kisaran kehilangan produksi buah akibat tikus dapat ditaksir menggunakan penghitungan jumlah tikus/Ha (ekor) dikali kisaran konsumsi tikus/Hari (gr) dikali 365, kemudian hasil penghitungan tersebut dibagi 1000. Hasil penghitungan kisaran kehilangan hasil produksi buah akibat tikus berkisar antara 56,21-138,992 Kg/Ha/Tahun.

Umumnya pengendalian tikus dapat dilakukan dengan memasang jerat di sekitar jalur yang biasa dilewati tikus untuk mencari makan. Selain melakukan pengendalian secara mekanis, pengendalian menggunakan musuh alami seperti Serak Jawa dapat dijadikan sebagai alternatif. Pemanfaatan Serak Jawa dalam pengendalian tikus telah dilakukan di beberapa tempat seperti Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (Supriyatna, 2016) dan Kabupaten Ngawi, Jawa Timur (Rahadi, 2020). Serak Jawa dinilai menjadi salah satu predator yang andal dan potensial. Kelebihan Serak Jawa dalam mendeteksi mangsa terdapat pada indra pendengarannya yang sensitif. Suara gesekan yang ditimbulkan oleh tikus dengan tanaman disekitarnya cukup bagi Serak Jawa untuk menentukan lokasi dan segera menyambar buruannya. Jumlah buruan yang dihasilkan dapat mencapai 5 ekor dalam satu malam (Pusparini & Suratha, 2018).

Petani di Desa Wringinrejo, Kabupaten Banyuwangi umumnya melakukan cocok tanam pada komoditas serealia, aneka kacang, dan umbi seperti yang terlihat pada tabel 2.

Tabel 2. Perbandingan Produktivitas Pertanian Desa Wringinrejo
Tahun 2016

Sumber : Pusparini & Suratha, 2018

Perbandingan produktivitas pertanian Desa Wringinrejo tahun 2016 dengan memanfaatkan Serak Jawa dengan yang tidak memanfaatkan Serak Jawa menunjukkan bahwa sebagian besar terjadi perbedaan produktivitas pada komoditas yang memanfaatkan Serak Jawa. Perbedaan produktivitas terbesar terdapat pada komoditas ubi kayu dengan jumlah 20 Kwintal/Ha atau 4 kali lipat daripada yang tidak memanfaatkan Serak Jawa. Sebaliknya pada komoditas kedelai dan kacang hijau tidak terjadi perbedaan produktivitas. Namun, secara keseluruhan perbedaan produktivitas mencapai 2 kali lipat pada komoditas yang memanfaatkan Serak Jawa sebagai musuh alami.

Pengendalian OPT menggunakan musuh alami memang memerlukan waktu yang tidak sebentar. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya konservasi dan kesejahteraan hewan demi keberlangsungan hidup musuh alami tersebut. Penyediaan pagupon atau rumah burung hantu (Rubuha) sebagai tempat tinggal Serak Jawa menjadi salah satu upaya petani dalam meningkatkan perkembangbiakan dan memberikan perlindungan bagi Serak Jawa (Pusparini & Suratha, 2018; Nur, 2021). Pembuatan rubuha di lapangan dilakukan karena Serak Jawa umumnya tidak dapat membuat sarangnya sendiri dan akan memilih untuk bersarang di gedung atau lubang-lubang pohon yang besar sehingga rentan diserang pemburu (Hartono, 2020). Selain itu, jalan raya terutama jalan dengan jalur ganda menjadi salah satu penyebab utama kematian Serak Jawa. Hal tersebut terjadi karena burung tertabrak kendaraan yang melintas saat terbang. Serak Jawa sangat rentan terbunuh di kawasan dekat jalan raya karena umumnya burung terbang dengan rendah saat berburu (Jones & Hendry, 2020).

Pembuatan rubuha di lapangan juga bertujuan untuk memudahkan Serak Jawa berburu tikus di lahan perkebunan, dan memudahkan dalam proses pengawasan populasi Serak Jawa di perkebunan kelapa sawit. Selain itu, pemanfaatan Serak Jawa untuk pengendalian OPT hendaknya perlu dilakukan secara bijak, terutama di wilayah-wilayah sentra usaha burung walet. Diketahui bahwa Serak Jawa juga merupakan predator bagi burung walet, sehingga pemanfaatannya perlu dilakukan secara bijak, agar tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain (Budiman, 2016; Pandangan Jogja Com, 2020).

Penulis : Reno Agassi, Herly Kurniawan, dan Eva Lizarmi

DAFTAR REFERENSI

Budiman, A. 2016. Burung Hantu Predator Walet Malam Hari. https://duniawalet.co.id/burung-hantu-predator-walet-malam-hari/. Diakses pada 1 April 2022 pk. 08.24 WIB.

Dhamayanti, A. 2009. Kajian Sosial Ekonomi Pengendalian Hama Tikus Pohon, Rattus tiomanicus Miller dengan Burung Hantu, Tyto alba, pada Perkebunan Kelapa Sawit. In Seminar Nasional Perlindungan Tanaman (pp. 439–445). Bogor: Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/54330.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2021. Sistem Pelaporan dan Rekapitulasi Data OPT (Sipereda OPT). https://sipereda.ditjenbun.pertanian.go.id/. Diakses pada 11 Januari 2022 pk. 11.57 WIB.

Harris, M. 2002. “Tyto alba” (On-line), Animal Diversity Web. https://animaldiversity.org/accounts/Tyto_alba/. Diakses pada 8 Januari 2022 pk. 11.21 WIB.

Hartono. 2020. Rumah Burung Hantu (rubuha). https://cybex.pertanian.go.id/mobile/artikel/96307/RUMAH-BURUNG-HANTU-RUBUHA/. Diakses pada 31 Maret 2022 pk. 11.09 WIB.

IUCN. 2019. BirdLife International and Handbook of the Birds of the world. https://www.iucnredlist.org/species/22688504/155542941. Diakses pada 28 Maret 2022 pk. 15.33 WIB.

Jones, H & L. Hendry. 2020. Barn Owl, Natural History Museum. https://www.nhm.ac.uk/discover/barn-owl-tyto-alba.html. Diakses pada 5 Februari 2022 pk. 10.47 WIB.

Lewis, D. 2020. Western Barn Owl ~ Tyto alba. https://www.owlpages.com/owls/species.php?s=10. Diakses pada 28 Maret 2022 pk. 13.48 WIB.

MacKinnon, J., K. Phillips & B. van Balen. 2010. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan. Burung Indonesia. Bogor.

Nur, F. M. 2021. Burung Hantu: Lebih Dari Sahabat Petani. Webinar PTN 03: Manajemen Tikus Terpadu “Pendekatan Ekologi, Ekonomi, dan Sosiokultural”. Bogor, Jawa Barat. 20 Menit.

Pandangan Jogja Com. 2020. Menghindari Pertempuran Burung Hantu vs Burung Walet, Mengurai Dilema Petani. https://kumparan.com/pandangan-jogja/menghindari-pertempuran-burung-hantu-vs-burung-walet-mengurai-dilema-petani-1tSIQHg7G6k/full. Diakses pada 1 April 2022 pk. 08.26 WIB.

Pusparini, M. D & I. K. Suratha. 2018. Efektifitas pengendalian hama Tikus pada tanaman pertanian dengan pemanfaatan burung hantu di desa Wringinrejo kecamatan Gambiran kabupaten Banyuwangi, provinsi Jawa Timur. Jurnal Pendidikan Geografi Undiksha 6 (2): 54—63.

Rahadi, F. 2020. Ngawi Kendalikan Hama Tikus dengan Rubuha. https://republika.co.id/berita/qgsju2291/ngawi-kendalikan-hama-tikus-dengan-rubuha. Diakses pada 2 Februari 2022 pk. 10.08 WIB.

Sipayung, A, D. Duryadi & A. U. Lubis. 1987. Preferensi tikus terhadap jenis makanan dalam ekosistem perkebunan kelapa sawit. Laporan Kerjasama Penelitian P. P Marihat – Biotrop. SEAMEO – Biotrop, Bogor.

Supriyatna. 2016. Pengembangbiakan Burung Hantu Serak Jawa. https://distan.jogjaprov.go.id/pengembangbiakan-burung-hantu-serak-jawa/. Diakses pada 2 Februari 2021 pk. 10.06 WIB.

Wood, B. J & S. S. Liau. 1984. A Long-Term Study of Rattus tiomanicus Populations in an Oil Palm Plantation in Johore, Malaysia: II. Recovery From Control and Economic Aspects. Journal of Applied Ecology 21 (2): 465—472.


Bagikan Artikel Ini