KEMENTERIAN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

Bersahabat Dengan Tembakau, Eksistensi Tembakau Kokoh Menopang Kebutuhan Hidup Petani

Diposting     Rabu, 29 September 2021 10:09 am    Oleh    ditjenbun



Lombok – Di masa pandemi ini, salah satu komoditas perkebunan yang tidak terlalu terdampak adalah petani tembakau, karena para petani tembakau masih bisa menjalankan usahanya dan memenuhi kebutuhan hidupnya.

Hal mendasar yang membuat kokohnya pengembangan tembakau ini, salah satunya karena petani bermitra. Dari kemitraan tersebut, petani akan memiliki jaminan pasar dan modal bisa balik kembali.

“Dengan adanya kontrak diawal tahun, petani mempunyai jaminan pasar hingga produksi kami terserap , jika produksi kami terserap ada rupiah yang kami dapatkan,” ujar Hamdani, Petani tembakau, saat diwawancarai tim Ditjen Perkebunan, di hamparan areal tanam tembakau seluas 2 ha dengan jenis tembakau virginia GL 26 H, Desa Padamara Kecamatan Sukamulia Kabupaten Lombok Timur (21/09/2021).

Hamdani menambahkan bahwa, Kedepannya diharapkan tembakau tetap eksis, sehingga bisa terus menompang dan memenuhi kehidupan sehari-hari para petani tembakau.

“Kami mengapresiasi pemberian bantuan dari pemerintah baik pusat maupun daerah yang telah memberikan bantuan kepada kelompok tani kami, melalui dana APBD I seluas 20 ha dengan rincian pupuk KNO3 sebanyak 2 ton, ZK sebanyak 2 ton, dan ZA sebanyak 2 ton, dimana sangat kami butuhkan dimasa pandemi saat ini,” ujarnya.

Menurut Hamdani, untuk menghasilkan bahan baku berkualitas baik, Petani memerlukan adanya penambahan sarana produksi. Petani pernah mendapatkan bantuan berupa pupuk dan pestisida namun dirasa masih terbatas, kedepannya diharapkan setidaknya dapat memenuhi 50 persen dari kebutuhan budidayanya, baik alat kultivator, pupuk, bahan bakar, dan lainnya, sehingga petani terbantu dalam menjalankan budidaya tembakau ini agar tersedianya bahan baku yang berkualitas.

Terkait bahan bakar, Hamdani menuturkan bahwa, Dalam proses pengeringannya kami menggunakan oven konvensional dengan bahan alternatif cangkang sawit dan kemiri. Untuk satu oven dapat menampung 550 stik atau sekitar 4 ton daun tembakau.

Sambil menunjukkan oven konvensional yang sedang melakukan pengeringan daun tembakau M transisi daun C, yang memiliki karakter setelah matang tulang daunnya tidak fleksibel, agak kaku, dan terdapat bintik-bintik khas, kalau daun tembakau ada bintik justru itu yang diminati/dicari.

“Harapan kami kedepan, semoga pemerintah pusat maupun daerah membantu petani memberikan subsidi bahan bakar sawit karena dari tahun ke tahun harganya selalu meningkat,” katanya.

Sedangkan terkait dana bagi hasil, Lanjut Hamdani, itu keringat kami sebagai petani tembakau. Ada tembakau, ada cukai, kalau tidak ada tembakau, tidak ada cukai. Kalau boleh jangan 25 persen ke bidang teknis, porsinya diharapkan paling tidak 50 persen, untuk meningkatkan kualitas bahan baku yang baik sesuai norma standard yang mengatur pengembangan tembakau baik produksi, budidaya dan lainnya.

Selain itu, Lanjut Hamdani, Untuk mendukung pengembangan tembakau dimana merupakan komoditas ekspor, para petani juga dituntut untuk paham dan dapat memenuhi syarat standar kebutuhan pasar global baik dari sisi residu dimana apabila tidak dikembangkan dengan baik dapat membahayakan, maupun dari beberapa faktor lainnya.

“Untuk itu petani tembakau memerlukan pelatihan atau bimbingan teknis (bimtek) terkait penerapan budidaya yang baik, dan bimtek pendukung lainnya, demi meningkatkan kemampuan sdm khususnya petani tembakau sehingga dapat menghasilkan tembakau berkualitas bermutu baik dan berdaya saing serta memenuhi standar pasar global,” ujarnya.

“Pemerintah harus hadir untuk petani diwaktu dan tempat yang tepat, baik pemerintah pusat maupun daerah seharusnya saling bersinergi membantu petani karena tak dapat dipungkiri komoditas perkebunan khususnya tembakau telah dan akan terus menopang kebutuhan hidup petani sehari-hari kedepannya,” ujar salah satu tim dari Ditjen Perkebunan, Togu Rudianto Saragih, SH.,MH, selaku Perancang Peraturan Ahli Muda, Ditjen Perkebunan Kementan.

Pada kesempatan yang sama, Hamdani mengungkapkan bahwa, Hal yang mendorongnya untuk terus mengembangkan komoditas tembakau karena turun temurun keluarganya komitmen mengembangkan tembakau. Terbukti dari orangtuanya yang berhasil menyekolahkan anak-anaknya, 5 orang bersaudara, dan bisa membangun rumah, hanya dari sahabatnya, cuma satu sahabat ayah saya, sahabatnya yaitu tembakau.

Sedangkan dari segi bisnis, Lanjut Hamdani, “keuntungannya lumayan, kita kerja cuma 9 (Sembilan) bulan bisa untuk hidup 1 (satu) tahun. Kata kunci bermitra, kalau menanam tembakau harus bermitra, jangan tanam tembakau kalau tidak bermitra, digarisbawahi,” cerita Hamdani kepada tim Ditjen Perkebunan. (dap)


Bagikan Artikel Ini  

Tembakau Tetap Bertahan Di Masa Pandemi

Diposting        Oleh    ditjenbun



LOMBOK – Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perkebunan beserta pemerintah daerah terus berupaya membina pelaku usaha perkebunan yaitu perusahaan perkebunan dan pekebun, sehingga dapat meningkatkan komoditas perkebunan termasuk tembakau, yang bermutu baik dan semakin kuat berdaya saing di pasar global.

Menurut data Badan Pusat Statistik terkait Ekspor Komoditi Pertanian khususnya subsektor Perkebunan berdasarkan kode HS periode Januari hingga Juli 2021, jumlah volume tembakau sebanyak 14,91 ribu ton sedangkan nilainya sebesar 111,34 juta US$.

Tembakau merupakan salah satu komoditas perkebunan yang strategis karena selain memiliki daya saing tinggi, juga turut memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian nasional, baik penyerapan tenaga kerja, pendapatan negara melalui cukai serta menjadi komoditas penting bagi petani tembakau.

Di masa pandemi ini, khususnya di Lombok, petani tembakau tidak puas apabila tidak tanam tembakau, sekalipun belum tentu ada pasar, petani tetap komitmen dan rutin menanam tembakau karena merupakan kebanggaan petani, kalau tidak tanam tidak gairah. Demikian disampaikan H. Ahmad Ripai, Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Nusa Tenggara Barat (21/09/2021).

Harga tembakau bervariasi berkisar antara Rp. 26.000,- hingga Rp. 41.000,- dimana harga dipengaruhi atau tergantung pada warna dan posisi daun tembakau baik daun bawah, daun tengah maupun daun atas.

Ripai menuturkan bahwa, pada Perda No. 4 Tahun 2006 tentang Usaha Budidaya dan Kemitraan Perkebunan Tembakau Virginia Di Nusa Tenggara Barat, terdapat pasal-pasal, salah satunya yang menyatakan bahwa perusahaan ini harus bermitra dan musyawarah harga dengan petani tembakau.

Hal ini dimaksud untuk menguntungkan pelaku/kelompok usaha termasuk petani tembakau dengan berlandaskan azas keseimbangan dan kesinambungan, serta melestarikan tanaman tembakau komoditas unggulan di Daerah yang mampu berkompetisi di tingkat nasional dan internasional.

“Tembakau virginia sebagai komoditas agribisnis perkebunan merupakan salah satu sumber perekonomian masyarakat Nusa Tenggara Barat yang sangat penting dan strategis, sehingga membutuhkan keselarasan tindakan bisnis diantara pelaku usaha tembakau, dimana dalam pengelolaan agribisnis tembakau, dipandang perlu untuk memberikan perlindungan hukum yang mampu menjamin kedudukan para pelaku usaha tembakau sesuai dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat,” ujarnya.

Tembakau dalam pengembangannya, tak dapat dipungkiri dihadapkan dengan berbagai tantangan, salah satunya, masih adanya petani yang belum bermitra. Untuk petani yang belum bermitra kerap ditemui kendala atau permasalahan, yaitu begitu panen tembakaunya mau dijual kemana, kalau keperusahaan tidak bisa karena bukan binaannya, sehingga mereka mencari pengumpul, namun posisi tawarnya rendah dan harganya bisa dibawah harga pasar.

Selain itu, tantangan yang perlu juga difokuskan adalah sdm petani tembakau khususnya penerus petani tembakau. “Kalau untuk budidaya sudah bagus, petani tembakau sudah menggunakan benih unggul dan pupuk, yang sekarang perlu kita fokuskan terkait regenerasinya, perlu kita berikan pemahaman budidaya tembakau kepada penerus petani tembakau atau sdm petani tembakau milenial, perlu didorong semangatnya,” katanya.

Saat tim Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian didampingi Kepala Bidang Perkebunan dan Kepala Seksi Produksi pada bidang perkebunan Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Nusa Tenggara Barat mengunjungi lokasi tembakau, bertepatan dengan waktu panen tembakau, khususnya di Kabupaten Lombok.

Sebelum tim ke kebun tembakau, tim berkeliling ke dalam area gudang tembakau milik PT. Djarum. Ada beberapa aktivitas yang sedang dilakukan di gudang tembakau. Beruntung tim datang saat musim panen tembakau tiba, sehingga dapat melihat proses aktivitas pengolahan hingga pengiriman bahan baku tembakau.

“Untuk tembakau virginia, kita terbagi 3 daerah pengembangannya Lombok utara, tengah dan selatan. Tembakau virginia diolah melalui proses oven dan dirajang. 2 tahun ini tembakau virginia ada juga yang dirajang, kalau untuk Perusahaan PT Djarum ini khusus hanya membeli yang melalui proses oven. Harga tembakau yang dirajang maupun dioven bervariasi harganya, beda-beda harganya, tergantung gradenya,” ujar Suherman, SP Kepala Seksi Produksi pada bidang perkebunan Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Nusa Tenggara Barat, saat meninjau gudang milik Perusahaan PT Djarum.

Agung Sofani, selaku Deputy Purchasing Manager Tobacco Lombok, Perusahaan PT Djarum, menyampaikan bagaimana tahapan atau proses pengiriman bahan baku tembakau, termasuk aktivitas transaksi buying point dengan petani, prosedur reklasifikasi, dan lainnya, sambil mengelilingi gudang tembakau milik PT Djarum.

PT Djarum menjamin untuk membeli tembakau hasil petani mitra dengan harga yang telah dimusyawarahkan. “Djarum memperbolehkan negosiasi dalam transaksi jual beli. Apabila petani tidak setuju dengan harga, petani boleh menurunkan barangnya. Karena Buyer membeli sesuai dengan kaidah grading. PT Djarum komitmen mengusahakan agar setiap proses transaksi itu transparan. Karena kita kan kemitraan fokusnya, selain saling menguntungkan, kita juga transparansi dalam bertransaksi,” ujar Agung.

Agung menambahkan, Untuk kontrak kerjasama per total kiriman, kontrak kuota targetnya 1 ha 2 ton kering, biasanya fase mulai bulan Agustus pertengahan sampai dengan bulan November 1 proses pembeliannya. Kalau dilihat dari kalender kita, diperkirakan tanaman habis di bulan Oktober 4, berarti pengiriman di bulan November 1 maksimal, sekitar 7 sd 10 hari.

Setelah aktivitas transaksi buying point dengan petani selesai, kemudian lanjut masuk ke proses reklasifikasi. “Jadi reklasifikasi itu adalah proses penyeragaman, baik penyeragaman dari posisi, karakter warna, pengecekan kelembaban, pengeluaran bahan campuran, maupun kualitasnya. Karena pada saat pembelian ada kalanya belum seragam penuh, di tahap reclass ini diseragamkan, sehingga dalam satu bal yang terbentuk di reclass grade nya sudah sama, untuk menjaga kualitas dan seragam yang akan dikirim ke kudus,” ujar Sudiyatmono, Deputy Purchasing Manager – Reclass.

Agung menambahkan bahwa, Jadi ditingkat petani, kita biasanya sudah mencantumkan stiker identitas bal-balnya, dari mulai kode petani sama jumlah bal, setelah itu pembelian akan mendapatkan stiker grid barcode, setelah itu baru masuk ke reclass akan di reklasifikasi, apakah gradenya sudah sesuai atau belum, final check, yang akan dibaca di pabrik kudus kami adalah hasil dari grid reklasifikasi ini.

Di tahap reclass ini kita pastikan barang yang kita kirim ke perusahaan sesuai dengan gradenya, final checking sebelum kita kirim ke kudus. Apakah pembelian sudah dibeli sesuai dengan gradenya. Itu menjadi penilaian buyer apakah sudah tepat 90% atau 80%. Karena kita inginnya kontinue, menjalin kerjasama yang baik dengan petani. Untuk anggota binaan mitra PT. Djarum tahun ini kita ada sebanyak 725 petani, terbagi atas 3 kategori yaitu ada status petani kredit, petani teknis dan petani pasar.

Untuk Petani Kredit, Lanjut Agung, “Kita kasih saprodi, dari benih fasilitas pembibitan, pupuk, sampai bahan bakar untuk proses pengovenan dengan kemiri. Selain itu, juga mendapatkan pembinaan teknis, jadi setiap petani punya pendamping lapang dari PT Djarum,” ujarnya.

“Lalu yang kedua status Petani Teknis, hanya mendapatkan pendampingan teknis. Selain informasi tentang kualitas yang Djarum inginkan, petani juga mendapatkan bimbingan teknis seperti layanan konsultasi kesehatan tanaman atau informasi penanganan penyakit tanaman. Sedangkan untuk status ketiga, petani pasar, hanya mendapatkan informasi kualitas yang Djarum inginkan. Pasar pun ada 2 yaitu pasar yang penanam dan pasar yang mencari barang sesuai dengan yang Djarum inginkan. Total dari ketiga status petani tersebut sekitar 2000 ha sama dengan sebanyak 4000 ton. Karena PT Djarum sangat concern terhadap kualitas produknya, karena kita perhatikan konsumen kita,” tambahnya.

Pada kesempatan yang sama, Hendra selaku petani tembakau kelompok tani ketidak DIRIK Desa Padamara Kec. Sukamulia Kab. Lombok Timur Provinsi Nusa Tenggara Barat, mengatakan bahwa telah bermitra dengan Perusahaan PT Djarum dari tahun 2017.

“Di masa pandemi ini, tembakau virginia kami tidak terlalu terdampak, produksi kami tetap berjalan. Produksi tembakau kami sebanyak 2 – 2.5 ton/ha (kering), rata-rata harga berkisar kurang lebih Rp. 30.000,-, berbeda-beda sesuai karakter tembakaunya. Kami bermitra dengan PT Djarum dikasih pupuk, obat-obatan, cangkang kemiri dan lainnya. Selama saya bermitra dengan PT Djarum saya merasa puas. Harapan kami semoga hasil produksi petani diserap semua,” ujar Hendra.

Hendra menambahkan bahwa, Karena cukai naik, perusahaan harus menyesuaikan, harapannya, terkait harga pasar tembakau, semoga kedepannya petani tidak merasa tertekan dengan harga dan cukai tidak memberatkan petani karena hal tersebut akan sangat mempengaruhi kehidupan para petani.

“Dari pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian melalui Ditjen Perkebunan membuat peraturan, norma standar, kriteria dan prosedurnya, salah satunya untuk bisa impor tembakau ada Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 23 Tahun 2019 tentang Rekomendasi Teknis Impor Tembakau. Salah satu persyaratannya harus menyerap tembakau petani. Harapan bapak sebenarnya sudah diakomodir pemerintah, semoga pemerintah kedepannya semakin intens membantu petani,” ujar salah satu tim dari Ditjen Perkebunan, Togu Rudianto Saragih, SH.,MH, selaku Perancang Peraturan Ahli Muda, Ditjen Perkebunan Kementan.

Kedepannya perlu ditingkatkan lagi sinergi dan selaras antara pemerintah pusat, daerah, pelaku usaha perkebunan termasuk petani maupun kementerian/Lembaga terkait, serta perlunya sosialisasi terkait informasi perkebunan termasuk regulasi perkebunan, sehingga pengembangan komoditas perkebunan dapat semakin meningkat, bermutu kualitas baik dan berdaya saing di pasar global, serta generasi muda dapat tertarik terjun mengembangkan tembakau termasuk komoditas perkebunan lainnya. (dap)


Bagikan Artikel Ini  

Fenomena Varian Baru Bemisia tabaci dengan “Keganasan” Lebih Tinggi

Diposting     Rabu, 22 September 2021 05:09 pm    Oleh    ditjenbun



Fenomena munculnya varian baru pada suatu organisme ini tidak hanya terjadi pada dunia kesehatan manusia, pada bidang perlindungan tanamanpun, tidak sedikit organisme pengganggu tumbuhan (OPT), mengalami peningkatan virulensi akibat “mutasi gen”. Lantas seperti apakah fenomena tersebut terjadi?.

Setiap organisme selalu berusaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya untuk mencapai suatu keserasian dengan alam. Dalam bidang perlindungan tanaman, interaksi yang terjadi antara patogen/hama, tanaman, dan lingkungannya (segitiga penyakit) memicu terjadinya mekanisme pertahanan diri tanaman dari serangan OPT. Selain mekanisme pertahanan alami yang dimiliki oleh tanaman, terkadang manusia menginduksi gen tahan agar tanaman memiliki perisai ketahanan lebih tinggi terhadap serangan OPT. Ketahanan vertikal diatur oleh gen tunggal (monogenik) atau beberapa gen (oligogenik) secara tegak lurus, menghasilkan ketahanan genetik tingkat tinggi pada awal serangan sehingga dapat menunda terjadinya epidemi, namun dengan berjalannya waktu, mekanisme ini mudah patah sehingga kultivar yang awalnya resisten berubah menjadi rentan. Penggunaan varietas dengan ketahanan vertikal akan menyebabkan tekanan seleksi yang kuat terhadap hama sehingga dapat menimbulkan munculnya biotipe hama baru dengan daya serang yang lebih kuat (Sharma et al., 2003).

Gambar 1. Mekanisme terbentuknya biotipe baru (Baehaki, 2010).

Penanaman tanaman dengan varietas yang sama secara terus-menerus dengan gen tahan tunggal dapat mempercepat timbulnya biotipe baru yang terjadi melalui jalur seleksi alami, buatan, atau mendekati seleksi alami (Baehaki 2010). Dengan mengilustrasikan kejadian resistensi yang terjadi pada penggunaan pestisida secara terus menerus dengan bahan aktif dan golongan yang sama, demikian juga halnya biotipe yang terbentuk pada gen ketahanan vertikal ini.

Contoh fenomena munculnya biotipe baru ditunjukkan oleh wereng batang coklat/ WBC (Nilaparvata lugens) dan kutukebul (Bemisia tabaci) yang hingga saat ini masih menjadi permasalahan dalam meningkatkan produktivitas pada beberapa komoditas. Pada komoditas perkebunan, B. tabaci (Hemiptera: Aleyrodidae) menjadi hama pada tembakau dan kapas. Kutukebul menimbulkan kerusakan langsung pada tanaman dengan menghisap cairan tanaman sebagai sumber makanan (Van de Ven et al. 2000), menimbulkan gangguan fisiologis (McCollum et al. 2004), dan memacu tumbuhnya cendawan embun jelaga pada tanaman inangnya. Selain itu, hama ini juga berperan sebagai vektor berbagai virus yang dapat menyebabkan penyakit pada tanaman (Legg et al. 2002). Di Indonesia, hama ini diketahui pertama kali sebagai vektor virus Gemini pada tahun 1938 yang menyerang tembakau di daerah Sumatera dan Jawa, yang ditularkan dari gulma (Kalshoven, 1950).

Gambar 2. Imago B. tabaci (Andrew 2013)

Keragaman kutukebul ditunjukkan oleh munculnya populasi-populasi spesifik lokasi yang memiliki perbedaan dalam hal kemampuannya untuk makan, reproduksi, dan penularan virus (Bedford et al., 1994). Menurut Sudiono dan Yasin (2006) kutukebul memiliki keragaman yang tinggi baik intra lokasi maupun antar lokasi. Sampai saat ini diketahui ada sekitar 20 biotipe kutukebul yang telah diidentifikasi. Sebagian biotipe tersebut memiliki kisaran inang dan daerah distribusi yang terbatas, tetapi sebagian besar lainnya, terutama biotipe B, memiliki distribusi yang luas (Bedford et al., 1994). B. tabaci biotipe B yang juga dikenal sebagai Bemisia argentifolii (Gennadius) merupakan jenis biotipe yang lebih ganas dalam merusak tanaman dibandingkan dengan biotipe non-B. Perkembangan populasi B. tabaci biotipe B dua kali lebih cepat dibandingkan biotipe non-B. Kutukebul B. tabaci biotipe B berpotensi lebih berbahaya dibandingkan dengan biotipe non-B sehingga perlu diwaspadai keberadaannya (Hidayat et al. 2017).

Tabel Perbedaan Biologi B. tabaci biotipe B dan B. tabaci non-B (Hidayat et al. 2017)

Salah satu faktor penyebab munculnya biotipe baru dengan tingkat serangan lebih besar diduga akibat penggunaan varietas unggul yang memiliki daya resistensi berdasarkan gen yang sangat sempit. Dengan demikian diperlukan pengembangan ketahanan horizontal, dengan pengembangan metode skrining yang efektif dan cepat dalam hal :

(1) mendapatkan sumber ketahanan,

(2) mengetahui pola atau bentuk pewarisan gen,

(3) mengetahui mekanisme ketahanan yang dibangun tanaman

Hal ini menjadi tantangan bagi para ilmuan untuk menyatukan gen-gen ketahanan ke dalam satu genotipe tertentu sehingga genotipe tersebut memiliki ketahanan yang bersifat (horizontal) terhadap beberapa biotipe hama tertentu. Untuk sementara waktu jika belum ditemukan gen horizontal, penggunaan gen vertikal harus diikuti dengan pergiliran tanaman untuk mencegah munculnya biotipe baru hama yang lebih ganas.

Penulis: Farriza Diyasti, Yani Maryani, dan Eva Lizarmi.

Daftar Pustaka

Andrew GSC.(2013). Update on Status of Bemisia tabaci in the UK and the Use of Entomopathogenic Fungi within Eradication Programmes. Insect J. 4 (2), 198-205.

Baehaki S.E. (2010). Konservasi, pengelolaan biotipe wereng coklat pada uji ketahanan aksesi/galur. Seminar Hasil Penelitian Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. p.41.

Bedford ID, Briddon RW, Brown JK, Rosell RC, & Markham PG. (1994). Geminivirus transmission and biological characterization of Bemisia tabaci (Gennadius) biotypes from different geographic regions. Annals Applied Biology 125: 311-325.

Hidayat, P. Kurniawan, HA. Afifah, L. Triwidodo, H. (2017). Siklus hidup dan statistik demografi kutukebul Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae) biotipe B dan non-B pada tanaman cabai (Capsicum annuum L.). Jurnal Entomologi Indonesia Indonesian ISSN: 1829-7722. November 2017, Vol. 14 No. 3, 143–151 Online version: https://jurnal.pei-pusat.org DOI: 10.5994/jei.14.3.143.

Kalshoven, L.G.E. (1950). De plagen van de cultuurgawessen in Indonesie. Uitgeverij W. van Hoeve, s-Gravenhage. Bandung. Deel 1, 512p

Legg J, French R, Rogan D, Okao‐Okuja G, Brown JK. (2002). A distinct Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Sternorrhyncha: Aleyrodidae) genotype cluster is associated with the epidemic of severe cassava mosaic virus disease in Uganda. Molecular Ecology 11:1219–1229. doi: https:// doi.org/10.1046/j.1365-294X.2002.01514.x

McCollum T, Stoffella P, Powell C, Cantliffe D, HanifKhan. (2004). Effects of silverleaf whitefly feeding on tomato fruit ripening. Postharvest Biology and Technology. 31:183–190. doi: https://doi. org/10.1016/j.postharvbio.2003.09.001.

Sharma, P.N., Y. Ketipearachchi, K. Murata, A. Torii, S. Takumi, N. Mori, and C. Nakamura. (2003). RFLP/ AFLP mapping of brown planthopper (Nilaparvata lugens Stal.) resistance gene Bph1 in rice . Euphytica 129:109-117.

Sudiono. & Yasin, N. (2006). Karakterisasi Kutukebul (Bemisia tabaci) Sebagai Vektor Virus Gemini Dengan Teknik PCR-RAPD . J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525 ol. 6, No. 2 : 113 – 119, September 2006

Van de Ven WT, LeVesque CS, Perring TM, Walling LL. (2000). Local and systemic changes in squash gene expression in response to silverleaf whitefly feeding. The Plant Cell 12:1409–1423. doi: https://doi.org/10.1105/tpc.12.8.1409


Bagikan Artikel Ini  

Pengendalian Terpadu Penyakit Busuk Pangkal Batang Pada Tanaman Lada

Diposting     Jumat, 10 September 2021 11:09 am    Oleh    ditjenbun



Penyakit Busuk Pangkal batang merupakan penyakit penting dan paling menakutkan bagi petani lada. Di beberapa tempat, penyakit ini sering disebut penyakit busuk batang atau penyakit oli (karena terkadang mengeluarkan cairan hitam seperti oli di bagian pangkal batang). Menurut semangun (2008), penyakit ini juga pernah terjadi pada tanaman sirih (Piper betle L.) di Jawa Tengah dan pada cabe jawa atau cabe panjang (Piper retrofactum Vahl.) di Jawa Barat.

Penyebab Penyakit

Penyakit busuk pangkal batang disebabkan oleh jamur Phytophthora capsici, meskipun di beberapa kasus diperparah oleh patogen lain yang berasosiasi antara lain Fusarium sp., Phytium sp., dan terkadang Rigidoporus micropus (terutama pada lahan bekas kebun karet dan singkong) atau asosiasi dari ketiganya. Faktor abiotik juga sangat berperan memperparah penyakit ini. Misalnya, lahan tergenang, drainase yang buruk, serta pemupukan yang tidak tepat. Phytopthora capsici dapat diisolasi dan ditumbuhkan pada media V8-Juice Agar, miseliumnya berwarna putih seperti kapas. Jika diamati di bawah mikroskop dari balik cawan petri, nampak kumpulan sporangium yang tebentuk. Sporangium merupakan kantung zoospora (spora yang memiliki flagella). Pembentukan sporangium pada media biakan dapat dipicu dengan penyinaran cahaya/lampu selama masa inkubasi, biasanya terbentuk 3-5 hari setelah inokulasi.

Gambar 1. a. Miselim P. capsici pada Media V-8 Juice Agar; b. Sporangium P. capsici

Jika sudah matang, zoospora dapat langsung keluar dari sporangium melalui papila. Filum air di sekitarnya  memudahkan  zoospora  berenang-renang  ke  tempat  lain  sehingga  berperan membantu penyebaran penyakit. Phytopthora capsici juga membentuk klamidospora sebagai struktur istirahat apabila berada pada kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan.

Gambar 2. a. Zoospora Keluar dari Sporangium (sumber: Watanabe, 2002); b. Ilustrasi Penyebaran P. capsici (Ristaino and Johnston, 1999)

Gejala

Tanaman lada yang terinfeksi P. capsici menyebabkan akar dan batang membusuk, sehingga transportasi hara dari dari tanah ke seluruh bagian tanaman terganggu. Akibatnya, daun menjadi layu/lemas dan menguning. Kulit pangkal batang kadang-kadang terlepas dan tinggal jaringan pembuluh berwarna coklat. Kerusakan parah menyebabkan seluruh bagian akar dan pangkal batang membusuk dan berlendir. Pada keadaan lembap, seringkali lendir berwarna hitam keluar dari pangkal batang seperti oli. Cabang, ranting, dan daun menghitam nampak gosong seperti terbakar kemudian berguguran/meranggas dari bawah hingga ke tajuk. Tanaman mati secara mendadak (biasanya dalam waktu 10 hari) dan menyebabakan tanaman tumbang. Gejala di daun juga dapat terjadi, biasanya akibat percikan air hujan dari tanah yang membawa inokulum. Gejala pada daun berupa bercak coklat kehitaman dikelilingi renda di bagian tepinya, dan akan nampak jelas jika daun diarahkan ke cahaya.

Gambar 3. Daun-daun Tanaman Nampak Layu dan Menguning
Gambar 4. Jaringan Pembuluh pada Pangkal Batang Membusuk
Gambar 5. Daun Menghitam Nampak Gosong Seperti Terbakar
Gambar 6. Gejala pada Daun Berupa Bercak Coklat Dikelilingi Renda di Bagian Tepinya

Pengendalian

Pengendalian secara terpadu adalah pengendalian terbaik, yaitu menggabungkan beberapa cara pengendalian antara lain:

  1. Secara Kultur Teknis
Gambar 7. Tanaman Malada; b. Teknik Sambung Malada Sebagai Batang Bawah
  • Penggunaan varietas/klon tahan (misalnya natar 1) atau toleran (misalnya Lampung daun kecil dan chunuk). Di beberapa tempat, pengendalian dilakukan dengan menyambung batang bawah menggunakan cabe jawa/malada. Namun menurut Manohara (2018), pemanfaatan cabe jawa sebagai batang bawah perlu dikaji lebih dalam. Hal ini terkait dengan pengaruhnya terhadap kualitas lada yang dihasilkan.
  • Penggunaan bibit sehat bersertifikat.
  • Pengeloalaan drainase yang baik. Drainase yang baik dapat mencegah genangan air di kebun, sehingga dapat mengurangi penyebaran penyakit dari tanaman terinfeksi ke tanaman sehat. Selain itu, drainase yang baik dapat meningkatkan efektivitas pemupukan, agen hayati, dan bahan pengendali lainnya. Drainase sebaiknya terdiri atas drainase primer, sekunder, dan tersier.
  • Pemupukan berimbang sesuai keadaan tanaman. Pemupukan yang tepat dapat meningkatkan kebugaran tanaman sehingga cenderung tahan terhadap penyakit. Sebaliknya, jika berlebihan dapat menyebabakan tanaman rentan. Misalnya pemberian pupuk dengan kadar nitrogen berlebihan dapat menyebabkan tanaman sukulen sehingga mudah terinfeksi penyakit.
  • Penanaman tanaman penutup tanah dan tanaman antagonis. Tanaman penutup
  • Tanah (cover crops) biasanya ditanam di sekitar piringan dengan tujuan untuk mengurangi deposisi inokulum melalui percikan air. Selain itu juga berfungsi sebagai habitat musuh alami atau mikroba bermanfaat di sekitar perakaran. Arachis pintoi merupakan tanaman penutup tanah yang cukup baik dan sering digunakan di perkebunan lada. Sedangkan tanaman antagonis berfungsi menekan patogen akibat eksudat akar yang tidak disukai patogen.

2. Secara Mekanis

Membongkar dan memusnahkan sumber-sumber infeksi, termasuk membongkar tanaman yang sudah parah, serta membuang/memusnahkan bagian tanaman bergejala (akar, batang, cabang/ranting, serta daun) dari kebun.

3. Secara Hayati/Nabati

  • Pemberian agen hayati (antara lain Trichoderma spp., Pseudomonas fluorescens, Gliocaldium spp., dan agen hayati lain) pada tanaman terinfeksi ringan-sedang di
  • Sekitar perakaran atau diperlakukan pada bibit dan lubang tanam sebelum dilakukan penanaman sebagai tindakan pencegahan.
  • Pemberian metabolit sekunder agen hayati dengan cara infus akar, penyiraman, atau melalui teknik biopori pada daerah perakaran.
  • Pemberian agen hayati atau metabolit sekunder disertai pemberian pupuk organik yang mengandung unsur Fosfor (P), Kalium (K), dan sedikit Nitrogen (N) dapat memberikan hasil yang lebih baik untuk pemulihan tanaman.
  • Aplikasi fungisida nabati. Fungisida nabati ekstrak biji pinang dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit busuk pangkal batang dengan penghambatan yang cukup signifikan (Kusviati et. al., 2014).

4. Secara Kimia

Pemberian bubur bordo atau fungisida kimia berbahan aktif asam fosfit di sekitar perakaran tanaman terinfeksi atau pada lubang tanam bekas tanaman yang dibongkar sebelum replanting sebagai tindakan pencegahan. Aplikasi metabolit sekunder dan fungisida kimia yang dilakukan secara bergantian dengan interval seminggu sekali juga efektif mengendalikan penyakit ini pada pembibitan.

Penulis: Akhmad Faisal Malik, Romauli Siagian, dan Cecep Subarjah

Pustaka:

Kusviati, D., Widodo, dan Djoko Prijono (2014) “Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan Ekstrak Pinang, Gambir, Sirih, dan Kapur Sirih” Jurnal fitopatologi Indonesia, 10(4), hal. 103-111.

Manohara, D. (2018) Komunikasi Pribadi, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor, Indonesia.

Ristaino, J. B. and Stephen A. Johnston (1999) “Ecologically Based Approaches to Management of Phytophthora Blight on Bell Pepper” The American Phytopathological Society, 83(12), Pp. 1082.

Semangun, H. (2008) “Penyakit-penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia,” Yogyakartag: Gadjah Mada University Press.

Watanabe, T. (2002) “Pictorial Atlas of Soil and Seed Fungi, Morphologies of Cultured Fungi and Key to Species (Second Edition)”. Florida: CRC Press LLC.


Bagikan Artikel Ini  

Direktorat Jenderal Perkebunan Gelar Sosialisasi Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit Lingkup Balitbangtan Kementerian Pertanian Secara Hybrid

Diposting        Oleh    ditjenbun



Direktorat Jenderal Perkebunan menggelar sosialisasi kegiatan penelitian dan pengembangan perkebunan pada Kamis, 9 September 2021 di Hotel Grand Savero, Bogor. Pelaksanaan dilakukan secara hybrid, baik secara luring maupun daring melalui aplikasi zoom cloud meeting. Ada 4 (empat) tujuan yang disasar dengan adanya acara ini, yaitu mensosialisasikan kegiatan kepada para pemangku kepentingan lingkup Kementerian Pertanian, prioritas  kebutuhan program penelitian, prioritas bidang, dan prosedur serta tata cara pengajuan proposal penelitian dan pengembangan perkebunan kelapa sawit serta kiat-kiat proposal riset yang layak didanai BPDPKS.

Acara Sosialisasi dibuka oleh Plt. Direktur Jenderal Perkebunan Ir. Ali Jamil, MP, Ph.D. dan dipimpin oleh Direktur Perbenihan Perkebunan sebagai ketua POKJA Litbang Dr. Ir. M. Saleh Mokhtar, MP. Acara dihadiri secara langsung oleh Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar Heru Tri Widarto, S.Si., M.Sc., Wakil dari PSEKP, wakil dari Puslitbangbun, Ketua Tim Sekretariat Litbang Perkebunan Kelapa Sawit, Sekretaris Tim Sekretariat Litbang Perkebunan Kelapa Sawit dan seluruh anggota Tim Sekretariat Litbang Perkebunan Kelapa Sawitsecara dan hadir secara daring Direktur Penyaluran Dana BPDKPS, Kelompok Kerja (POKJA), perwakilan dari Badan Litbang Pertanian beserta Eselon dibawahnya, Peneliti-peneliti BPTP di 21 provinsi sentra Kelapa Sawit.

Perkebunan Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis yang membutuhkan inovasi (teknologi dan kelembagaan) hasil penelitian dan pengembangan terutama yang akan berdampak langsung terhadap perkembangan industri kelapa sawit nasional dimasa yang akan datang. Penelitian dan pengembangan kelapa sawit diperlukan untuk menjamin pengembangan perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan.

Untuk mewujudkan penguatan kegiatan penelitian tersebut yang diharapkan secara optimal agar mampu meningkatkan produktivitas atau efisiensi, peningkatan aspek keberlanjutan dan mendorong penciptaan produk atau pasar baru yang saling bersinergi agar terwujudnya perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan.

Plt. Direktorat Jenderal Perkebunan berharap bahwa kegiatan sosialisasi ini dapat tersampaikan dengan baik dan dapat membantu perkembangan kelapa sawit nasional serta jangan sampai terlarut dengan euphoria adanya data yang luas lahan perkebunan kelapa sawit, produktivitas juga harus dapat diimbangi.

Selain itu penggunaan benih bermutu merupakan awal yang baik untuk pengembangan kelapa sawit kedepan agar produktivitas dapat meningkat. Terkait ekspor benih kelapa sawit yang saat ini meningkat, perlu juga dipastikan bahwa pekebun kelapa sawit di dalam negeri juga menggunakan benih bermutu.


Bagikan Artikel Ini  

Semangat Petani Gunung Kidul Dalam Menerapkan PHT Tanaman Kakao

Diposting     Kamis, 09 September 2021 07:09 pm    Oleh    ditjenbun



Sektor perkebunan khususnya komoditas kakao hingga kini masih menjadi primadona di Kabupaten Gunung Kidul. Pengembangan usaha tani kakao di Kabupaten Gunung Kidul sangat gencar dilakukan oleh pemerintah melalui dinas terkait. Usahatani yang telah berlangsung selama kurang lebih 20 tahun memberikan prospek dan peluang yang baik untuk dikembangkan, akan tetapi masih ada banyak permasalahan yang terjadi misalnya pengetahuan petani yang masih kurang, keterbatasan modal, lahan garapan yang sempit dan pemakaian sarana/faktor produksi yang kurang sesuai.

Produktivitas kakao rata-rata di Provinsi D.I. Yogyakarta mencapai 555 kg/ha/tahun. Hal ini masih di bawah produksi nasional yang mencapai 731 kg/ha/tahun. Rendahnya produktivitas kakao di Provinsi D.I. Yogyakarta antara lain disebabkan oleh serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT). OPT yang menyerang pada pertanaman kakao di Desa Tambakromo, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul yaitu penyakit busuk buah kakao dan hama tupai. Petani kakao masih kesulitan mengendalikan OPT tersebut.

Intensitas hujan yang tinggi menyebabkan kelembaban meningkat dan berkembangnya penyakit busuk buah kakao yang disebabkan oleh jamur Phytophthora palmivora. Jamur P. palmivora dapat menyerang kakao mulai dari pembibitan hingga tanaman menghasilkan (TM). Intensitas serangan P. palmivora dapat mencapai 85 % pada daerah-daerah yang mempunyai curah hujan tinggi. Serangan P. palmivora mengakibatkan kehilangan hasil kakao di Indonesia sebesar 15 s.d 53 %. Serangan tupai di kebun kakao Desa Tambakromo juga tinggi hal ini karena sebagian besar tanaman kakao tumpangsari dengan tanaman kelapa dan kurang menjaga sanitasi kebun, sehingga selalu tersedia sumber makanan bagi tupai.

Mengingat rendahnya produktivitas kakao di Provinsi D.I. Yogyakarta akibat serangan OPT, sebagai wujud perhatian pemerintah terhadap kakao di Kabupaten Gunung Kidul, pada tahun 2021 dialokasikan dana APBN Tugas Pembantuan kegiatan Penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) di Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi D.I. Yogyakarta. Kegiatan tersebut dilaksanakan di kelompok tani Banyu Mulyo di Desa Tambakromo, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul seluas 25 ha. Kegiatan penerapan PHT OPT tanaman kakao bertujuan untuk membantu/mendorong pekebun agar menerapkan PHT di kebunnya, sehingga dapat dilakukan secara mandiri dan berkelanjutan, serta memberdayakan pekebun untuk memperbanyak bahan pengendali OPT secara mandiri.

Kegiatan penerapan PHT OPT tanaman kakao dilakukan sebanyak 6 (enam) kali pertemuan dengan interval ± 1 minggu. Pertemuan pertama yakni sosialisasi kegiatan dan pembagian sub kelompok. Pertemuan kedua hingga kelima, petani peserta kegiatan dibimbing oleh petugas lapangan melakukan pengamatan serangan OPT/identifikasi jenis OPT, diskusi kelompok/sub kelompok terkait hasil pengamatan serangan OPT dan pengambilan keputusan pengendalian OPT dengan menerapkan prinsip PHT, praktek pembuatan Metabolit Sekunder Agensia Pengendali Hayati (MS APH) dan pupuk kompos, pengendalian OPT dan pertemuan ke-6 yakni temu lapang (field day). Selama pelaksanaan kegiatan penerapan PHT OPT tanaman kakao berlangsung, petugas dinas dan petani peserta tetap menjaga protokol pandemi Covid-19, seperti: melakukan physical distancing, memakai masker, mencuci tangan dengan sabun serta menggunakan hand sanitizer.

Dalam rangka untuk mengetahui perkembangan pelaksanaan kegiatan penerapan PHT OPT tanaman kakao, pada tanggal 31 Maret 2021 telah dilakukan pengawalan dan pembinaan agar pelaksanaan kegiatan sesuai dengan Pedoman Teknis Area Penanganan OPT Tanaman Perkebunan tahun 2021 yang telah diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan. Koordinator Kelompok Pengendalian OPT Tanaman Tahunan dan Penyegar berharap penerapan PHT OPT tanaman kakao dilakukan secara berkelanjutan sehingga luas areal terserang OPT menurun, dan petani dapat secara mandiri tahu, mampu dan mau mengimplementasikan pengendalian agar produktivitas kakao meningkat.

Kegiatan penerapan PHT OPT tanaman kakao diawali dengan sosialisasi yang telah dilaksanakan pada tanggal 6 April 2021 di Desa Tambakromo, Kecamatan Ponjong dan dihadiri oleh pelaksana kegiatan dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi D.I. Yogyakarta, petugas lapangan Kabupaten Gunung Kidul, aparat Desa Tambakromo, dan petani peserta kegiatan penerapan PHT. Pada tanggal 7 April 2021, perwakilan kelompok tani menerima alat untuk praktek pembuatan Metabolit Sekunder Agensia Pengendali Hayati (MS APH) berupa alat pengocok (shaker), kompor dan perlengkapannya.

Kelompok tani didampingi oleh petugas lapangan melakukan pengamatan serangan OPT sebelum dan setelah dilakukan pengendalian untuk mengetahui keberhasilan pengendalian OPT. Pengamatan serangan OPT, diskusi terkait hasil pengamatan serangan OPT dan pengambilan keputusan pengendalian OPT telah dilaksanakan pada tanggal 4 Mei 2021 di kebun praktek dan aula Desa Tambakromo.

Praktek pembuatan MS APH dilaksanakan pada tanggal 9 Mei 2021 di aula Desa Tambakromo. Praktek pembuatan MS APH menjadi hal baru bagi petani peserta kegiatan penerapan PHT dan petani semangat dalam membuatnya. MS APH yang mengandung Beauveria bassiana, Metarhizium sp. dan Trichoderma sp. digunakan sebagai bahan pengendali OPT. Berbeda dengan pestisida kimiawi, MS APH tidak langsung terlihat hasilnya, sehingga petani diharapkan rajin dan tekun dalam mengaplikasikan MS APH dan melakukan pengamatan. Namun demikian, penggunaan MS APH secara rutin mampu melindungi tanaman terhadap serangan OPT dan pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik.

Pada tanggal 31 Mei 2021 petani didampingi oleh petugas lapangan praktek pembuatan pupuk bokashi dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitar tempat tinggal dan kebun kakao. Hal ini menjadi pengalaman berharga bagi petani kakao Tambakromo karena selama ini kesulitan untuk melakukan pemupukan tanaman kakao karena pupuk khusus kakao bersubsidi belum tersedia di daerahnya, sedangkan pupuk NPK harganya cukup mahal. Dengan demikian diharapkan petani kakao menjadi lebih kreatif dan tetap dapat melakukan pemupukan secara intensif pada tanaman kakaonya agar dapat berproduksi optimal.

Petani kakao di Desa Tambakromo bersemangat melakukan pengendalian OPT secara PHT dengan memadukan komponen pengendalian yang kompatibel, yaitu Panen sering, Pemangkasan, Sanitasi dan Pemupukan atau yang biasa dikenal dengan sebutan PsPSP pada tanggal 8 Juni 2021. Teknologi PsPSP dipadukan dengan aplikasi MS APH. Panen sering yang dilakukan seminggu sekali dapat memutus siklus hidup hama penggerek buah kakao (Conopomorpha cramerella), karena larva yang masih berada di dalam buah ikut terpanen sehingga tidak sempat berkepompong. Pemangkasan bertujuan agar sinar matahari dapat masuk ke dalam kebun, sehingga tidak sesuai untuk perkembangan OPT. Sanitasi kebun bertujuan untuk membersihkan kebun dari sisa-sisa tanaman. Pada kebun kakao masih dijumpai buah terserang penyakit BBK tetap dibiarkan menggantung sampai warnanya berubah menjadi hitam. Hal ini akan menjadi sumber penularan bagi buah kakao sehat karena pada suhu dan kelembaban yang mendukung, spora jamur P. palmivora akan berkecambah. Dengan melakukan sanitasi kebun dan menimbun kulit buah dan semua sisa-sisa panen, terutama yang terserang OPT ke dalam lubang sanitasi segera setelah panen, sehingga persentase buah terserang penyakit busuk buah kakao menurun.

Berdasarkan hasil diskusi dengan petani dan petugas Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi DIY, hasil aplikasi metabolit sekunder tersebut tidak langsung terlihat, namun perlahan-lahan tanaman menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik. Hal ini karena aplikasi metabolit sekunder dapat menjangkau keberadaan jamur patogen di dalam jaringan tanaman. Kandungan di dalam metabolit sekunder APH selain toksin juga terdapat hormon yang berperan dalam pertumbuhan dan produksi tanaman. Kelompok tani Banyu Mulyo merasakan manfaat pengendalian OPT tanaman kakao di kebunnya, dan mereka akan tetap melanjutkan pengendalian OPT secara berkelanjutan, sehingga produksi kakao dan mutu kakao menjadi lebih baik dan kesejahteraan petani meningkat.

Field day dilaksanakan pada tanggal 22 Juni dengan mengundang petani sekitar yang tidak terlibat langsung atau bukan anggota kelompok tani yang terdaftar sebagai petani yang mengikuti PPHT OPT kakao di wilayah tersebut, untuk melihat pembuatan MS APH sebagai bahan pengendalian OPT, pupuk bokashi buatan kelompok tani Banyu Mulyo dan kondisi kebun lokasi kegiatan penerapan PHT sebagai kebun kakao percontohan sehingga dapat ditiru oleh petani lainnya.

Penyusun: Yuni Astuti, Ratri Wibawanti dan Andi Asjayani.

Pustaka:

Anonymous. 2016. Rekomendasi Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) Kakao Tahun 2016. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jember.

UPTD Balai Proteksi Tanaman Pertanian. Dokumentasi Kegiatan Penerapan Pengendalian Hama Terpadu Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) Tanaman Kakao di Kabupaten Gunung Kidul Tahun 2021. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi D.I. Yogyakarta.

Direktorat Perlindungan Perkebunan. Pedoman Teknis Tahun 2021 “Area Penanganan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) Tanaman Perkebunan”. Direktorat Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Maryani, Y. dan Cucu, D. 2019. Hama dan Penyakit Tanaman Kakao. Direktorat Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Soesanto L. 2010. Metabolit Sekunder Agensia Pengendali Hayati : Terobosan Baru Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman Perkebunan. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.


Bagikan Artikel Ini  

Pengendalian Terpadu Penyakit Hawar Rambut Kuda Dan Antraknos Pada Tanaman Lada

Diposting        Oleh    ditjenbun



A. Penyakit Hawar Rambut Kuda
Deskripsi
Penyakit hawar rambut kuda (horse hair blight) atau sering juga disebut hawar ekor kuda merupakan penyakit yang jarang terjadi. Kalau pun dijumpai, jumlahnya hanya sedikit. Namun demikian, penyakit ini cukup mematikan.

Penyebab
Penyebab penyakit ini adalah Marasmius Crinis-equi. Jamur ini tergolong dalam kelas basidiomycetes yang dapat membentuk tubuh buah. Mula-mula miselia jamur ini berwarna putih memanjang. Namun apabila nutrisi yang terdapat pada inang sudah mulai habis, miselia berubah warna menjadi hitam seperti rambut, kemudian membentuk tubuh buah seperti payung berwarna putih sebagai bentuk pertahanan dari kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan. Jika semakin tua, tubuh buah berubah warna menjadi krem/kuning kecoklatan.

Gambar Marasmius Crinis-equi, Penyebab Penyakit Hawar Rambut Kuda (Horlock, 2016)

Gejala
Mula-mula ranting ditumbuhi miselia jamur memanjang berwarna putih, bercabang mengikuti arah pertumbuhan cabang, ranting, dan tangkai daun. Pada ranting yang dilewati miselia tersebut menyebabkan daun-daun menguning (klorosis) dan akhirnya lapuk (berwarna coklat-kering). Gejala lanjut menyebabkan daun-daun mati menggantung disertai perubahan miselia menjadi hitam seperti rambut. Tidak hanya sampai daun, terkadang miselia dapat tumbuh memarasit buah sehingga menyebabkan buah lapuk dan gagal dipanen. Umumnya dalam satu tanaman hanya sebagian ranting yang terinfeksi, sementara ranting yang lain tampak sehat.

Gambar Miselia Marasmius Crinis-equi Berwarna Putih sebagai Tanda Awal Infeksi
Gambar Gejala Lanjut Menyebabkan Daun-daun Lapuk dan Menggantung Dililiti Miselia Berwarna Hitam Seperti Rambut
Gambar Daun-daun Tampak Kering dan Lapuk Sebagian

Pengendalian
1. Secara Kultur Teknis
– Penggunaan bibit sehat bersertifikat.
– Tidak memakai bibit dari tanaman yang terinfeksi.

2. Secara Mekanis
– Memangkas bagian tanaman terinfeksi.
– Tidak memakai gunting stek bekas tanaman sakit.
– Membongkar dan memusnahkan sumber-sumber infeksi, termasuk membongkar tanaman yang sudah parah kemudian membuang dan memusnahkannya.

3. Secara Hayati
Sebagai tindakan pencegahan, pengendalian dapat dilakukan dengan pemberian agen hayati, misalnya Trichoderma spp., Gliocladium spp., Pseudomonas fluorescens, atau mikoriza untuk menginduksi ketahanan tanaman.

4. Secara Kimia
Aplikasi fungisida berbahan aktif tebukonazol atau trifloksistrobin.

B. Antraknos Daun
Deskripsi
Penyakit ini sering disebut bercak daun Colletotrichum, dianggap kurang penting karena tidak menimbulkan kerugian berarti. Meskipun sering dijumpai pada daun, di beberapa tempat penyakit ini juga menginfeksi buah.

Penyebab
Penyebab penyakit ini adalah Colletotrichum gloeosporioides.

Gejala
Mula-mula terbentuk bercak kecil berwarna coklat muda, kemudian membesar berwarna coklat tua diikuti zona konsentris di bagian bercak. Gejala lanjut memperlihatkan pusat bercak menjadi kaku/keras disertai masa spora di sekelilingnya. Jika infeksi bermula dari ujung daun, nampak daun seperti gosong dan terkadang sedikit menggulung.

Gambar Gejala Penyakit Antraknos

Pengendalian
1. Secara Kultur Teknis
a. Penggunaan bibit sehat bersertifikat.
b. Tidak memakai bibit dari tanaman yang terinfeksi.

2. Secara Mekanis
a. Memangkas bagian tanaman terinfeksi.
b. Tidak memakai gunting stek bekas tanaman sakit.

3. Secara Hayati/Nabati

  • Sebagai tindakan pencegahan, pengendalian dapat dilakukan dengan pemberian agen hayati, misalnya Trichoderma spp., Pseudomonas fluorescens, atau mikoriza untuk menginduksi ketahanan tanaman.
  • Aplikasi fungisida nabati ekstrak daun sirih, sambiloto, dan biji pinang (Idris dan Nurmansyah, 2015).

4. Secara Kimia
Aplikasi fungisida berbahan aktif difenokonazol, tebukonazol, azoksistrobin, mankozeb, karbendazim, atau benomil.

Penulis : Akhmad Faisal Malik, Nilam Sari Sardjono,  dan Romauli Siagian

Pustaka:

Horlock, A. (2016) “Horse Hair Fungi-Marasmius crinisequi” (on line) https://www.flickr.com/photos/spincricket/28213881825/in/photostream/. Diakses tanggal 30 April 2021.
Idris, H. dan Nurmansyah (2015) “Efektivitas Ekstrak Etanol Beberapa Tanaman Obat sebagai Bahan Baku Fungisida Nabati untuk Mengendalikan Colletotrichum gloeosporioides” Bul. Littro, 26(2), hal. 117-124.
Semangun, H. (2008) “Penyakit-penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia,” Yogyakartag: Gadjah Mada University Press.


Bagikan Artikel Ini  

Pengendalian Opt Perkebunan Dengan Pestisida Nabati Di Daerah Istimewa Yogyakarta

Diposting     Selasa, 07 September 2021 03:09 pm    Oleh    ditjenbun



Dalam rangka Pelaksanaan Kegiatan Pestisida Nabati Penanganan OPT Tanaman Perkebunan di DI Yogyakarta, telah dilakukan Pengambilan sampel untuk Pengujian Pestisida Nabati di Balai Proteksi Tanaman Pertanian, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan DIY, 24 agustus 2021, dengan Petugas Pengambil Contoh bersertifikat dari Ditjen Prasarana  dan sarana Pertanian Kementan disaksikan wakil dari Direktorat Perlindungan Perkebunan, Balai Proteksi Tanaman Pertanian, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan DIY serta pihak Penyedia.

Salah satu kendala yang dihadapi dalam budidaya tanaman perkebunan adalah gangguan Organisme Penganggu Tanaman (OPT). Akibat serangan OPT, diperkirakan produksi menurun sekitar 30% – 40%. Gangguan OPT yang tidak terkendali dapat mengakibatkan kehilangan hasil produksi dan apabila terjadi eksplosi (ledakan) OPT dapat mengakibatkan gagal panen. Oleh karena itu perlindungan tanaman terhadap OPT merupakan bagian penting dalam sistem budidaya tanaman.

Dalam upaya untuk mengendalikan OPT, pekebun umumnya masih menggantungkan pada penggunaan pestisida kimiawi, meskipun konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sudah menjadi kebijakan pemerintah, penggunaan pestisida kimiawi yang tidak bijaksana dapat menimbulkan masalah, seperti: resistensi OPT, resurjensi OPT, residu pestisida, kesehatan manusia, dan masalah lingkungan.

Untuk mengurangi dampak negatif penggunaan pestisida kimiawi tersebut, upaya perlindungan tanaman dilakukan berbasis pada pengelolaan ekosistem secara terpadu dan berwawasan lingkungan. Hal ini dilakukan karena seiring dengan permintaan konsumen terkait produk-produk perkebunan yang aman bagi kesehatan (bebas residu pestisida kimiawi). Salah satu alternatif teknologi pengendalian OPT yang dilakukan yakni dengan aplikasi pestisida nabati dalam pengendalian OPT tanaman perkebunan.

Pestisida nabati merupakan suatu pestisida yang dibuat dari tumbuh-tumbuhan yang residunya mudah terurai di alam, sehingga aman bagi lingkungan dan kehidupan makhluk hidup lainnya. Tumbuhan yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati, antara lain: Cengkeh, mImba, lengkuas, tembakau, kunyit, bawang putih, mahoni, sirsak, dll.

Tahun 2021 Direktorat Perlindungan Perkebunan telah mengalokasikan Kegiatan Pestisida Nabati untuk Penyakit Penggerek Buah Kakao di DI Yogyakarta seluas 100 ha dengan bahan aktif Eugenol  dari cengkeh dan Azadirachtin dari mimba. Sebelum aplikasi di lapangan dilakukan pelaksanaan uji mutu. Pelaksanaan uji mutu menjadi tanggungjawab penyedia sebagai bentuk komitmen untuk menjaga mutu produk. Sebelum dilakukan uji mutu dilakukan pengambilan sampel pestisida nabati terlebih dahulu oleh Petugas pengambil contoh (PPC) bersertifikat dan berasal dari institusi yang berkompeten. Sampel akan diuji ke Laboratorium baik milik pemerintah/swasta/perguruan tinggi yang memiliki kapasitas mumpuni dalam hal pengujian sampel pestisida nabati. Pada akhirnya nanti Pestisida nabati ini akan didistribusikan ke kelompok tani yang telah ditetapkan dan aplikasi pada tanaman akan di dampingi oleh petugas lapang.

Penulis:  Romauli Siagian (POPT Ditjen Perkebunan), Nilam Sari Sardjono (POPT Ditjen Perkebunan)


Bagikan Artikel Ini  

Mentan SYL Dorong Hutan Sagu Papua Barat Menjadi Lahan Agrowisata

Diposting     Ahad/Minggu, 05 September 2021 07:09 am    Oleh    ditjenbun



Sorong — Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, mendorong lahan hutan sagu menjadi kawasan agrowisata di Sorong, Papua Barat untuk mewujudkan pertanian yang maju menuju kedaulatan pangan di Papua Barat. Di samping itu, Mentan mengharapkan hilirisasi yang dilakukan oleh para pelaku stakeholder pertanian bekerjasama untuk mendapatkan nilai tambah bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

“Ini integrated farm, tolong Muspida koordinasi bantu Bupati untuk kerubutin, kita buat industrinya, tidak hanya sagu saja, tidak hanya saja Melki (petani) membuat sagu saja, tapi sekitarnya ada peternakan, di sana ada buah horti, kemudian tanaman pangan, dan lainnya, jadi ada integrated farm dan modern, semua yang dimiliki rakyat.” demikian disampaikan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, ketika melakukan kunjungan kerja di Distrik Aimas, kelurahan Malawi, kabupaten Sorong, Jum’at 3 September 2021.

Mentan menegaskan Papua Barat merupakan wilayah penghasil sagu terbesar nusantara, dan berharap pertanian yang diusahakan secara bersama dapat dipoles dengan sentuhan teknologi melalui pelatihan-pelatihan. “Di sini sagunya oke, dan pertanian ngga bisa sendiri sendiri, harus ramai ramai. Agrowisata, satu kali turun semua kena, jadi jangan cuma sagu, harus ada bimtek, Istri istri harus bimtek, anak muda harus kursus, kursus harus ada hasilnya, seperti sagu harus jadi mie, kemudian ada perlakuan teknologi, biar tampilan (pati) menjadi putih bersih.” ungkap Mentan Syahrul.

Lebih lanjut Mentan menyebutkan beberapa syarat yang dapat menunjang pertanian di Sorong menjadi baik, mulai dari tunjangan infrastruktur alam, sumberdaya manusia dan modal yang dibutuhkan seperti penerapan kredit usaha bagi rakyat pertanian.

“Syarat pertanian yang bagus itu yang pertama lahannya oke, kemudiaan yang kedua airnya bagus, yang ketiga rakyat nya mau bersama pemerintah, jangan rakyat saja pemerintah nya ngga, atau pemerintahnya saja rakyatnya ngga, kemudian seterusnya membutuhkan pelatihan, lalu butuh modal pak Jokowi sudah memberikan KUR” pungkasnya.

Sementara itu Bupati Sorong, Jhony Kamuru yang hadir dalam kunjungan kerja Mentan menyampaikan kesediaannya atas saran Mentan untuk dilakukan pengembangan agrowisata di daerahnya. “Pak Menteri, kami sangat bersedia untuk pengembangan-pengembangan komoditi pertanian untuk memajukan Sorong, bukan hanya bantuan dari Gurbernur namun kami berharap ada bantuan bantuan langsung untuk pengembangan Sorong dari Kementerian melalui dinas pertanian” katanya.

Pada kegiatan kunjungan kerja tersebut, Mentan berkesempatan meninjau lahan dan rumah pengolahan sagu sederhana milik petani Melkianos Malagam, yang mengelola kurang lebih tiga hektar lahan sagu.

Tercatat sesuai data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia telah mengekspor sagu tahun 2020 sebesar 13 ribu ton atau senilai 40 milyar rupiah. Kemudian selama kurun waktu tahun 2020 hingga semester 1 tahun 2021, volume ekspor sagu meningkat 5,1 persen.

Luasan areal sagu nasional saat ini mencapai 196.831 hektar dengan 99,65% areal berupa perkebunan rakyat. Papua dan Papua Barat merupakan sentra terbesar sagu nasional yang berkontribusi sebesar 29,2% dari areal sagu nasional.


Bagikan Artikel Ini  

Ancaman Pestisida terhadap Keanekaragaman Hayati Darat

Diposting     Jumat, 03 September 2021 02:09 pm    Oleh    ditjenbun



Paparan pestisida terhadap keanekaragaman hayati di darat dapat menyebabkan efek mematikan pada tanaman, sehingga membunuh tanaman non-target. Sisa herbisida fenoksi yang masih tertinggal di udara atau menguap dapat melukai pohon dan semak di dekatnya (Dreistadt et al. 1994). Herbisida glifosat dapat meningkatkan kerentanan tanaman terhadap penyakit (Brammall dan Higgins 1988) dan mengurangi kualitas benih (Locke et al. 1995). Bahkan herbisida dosis rendah seperti sulfonylureas, sulphonamides dan imidazolinones memiliki dampak yang bisa menghancurkan produktivitas tanaman non-target, komunitas tumbuhan alami dan satwa liar (Fletcher et al. 1993).

Pestisida bahkan memberikan efek terhadap populasi hewan di darat. Populasi dari serangga yang menguntungkan seperti lebah dan kumbang dapat menurun secara signifikan akibat penggunaan insektisida spektrum luas seperti karbamat, organofosfat, dan piretroid. Populasi serangga ditemukan dalam jumlah lebih besar di pertanian organik dibandingkan dengan yang non-organik. Efek sinergis fungisida piretroid dan triazol atau imidazol ternyata dapat membahayakan bagi lebah madu (Pilling dan Jepson 2006). Insektisida neonicotinoid seperti clothianidin dan imidacloprid juga membawa efek beracun bagi lebah. Imidacloprid bahkan pada dosis rendah berdampak negatif terhadap perilaku lebah mencari makan (Yang et al. 2008) selain itu juga dapat mengurangi kapasitas atau kemampuan belajar lebah (Decourtye et al. 2003). Efek negatif terbesar yang disebabkan oleh neonicotinoid adalah lenyapnya lebah madu secara tiba-tiba tepat pada awal abad ke-21. Hal ini menjadi perhatian utama bagi industri makanan yang mana 1/3 produksi makanan tergantung pada penyerbukan oleh lebah. Madu dan lilin yang diperoleh dari sarang lebah komersial dilaporkan mengandung campuran pestisida. Jenis pestisida yang paling tinggi terdapat dalam madu dan lilin adalah dari golongan neonicotinoids. Sejak 2006, terjadi penurunan populasi lebah madu sekitar 29–36% (Environmental impact n.d.).

Gambar 1. Efek pestisida terhadap populasi lebah (strathconabeekeepers.blogspot.com/2013/10/neonicotinoids-and-bees.html)

Sejak masa pra-agrikultur, 20-25% populasi burung telah mengalami penurunan. Satu penyebab utama dari penurunan besar-besaran ini adalah penggunaan pestisida yang tadinya tidak diketahui sebelum tahun 1962. Akumulasi pestisida di jaringan spesies burung menyebabkan kematian mereka. Populasi elang botak di AS menurun terutama akibat paparan DDT dan metabolitnya (Liroff 2000). Fungisida secara tidak langsung juga dapat mengurangi populasi burung dan mamalia dengan membunuh cacing tanah yang mereka makan. Pestisida berbentuk granular dianggap sebagai butiran makanan oleh burung. Insektisida organofosfat sangat beracun bagi burung dan bahan ini diketahui telah meracuni burung pemangsa (raptor) di alam. Kuantitas pestisida subletal dapat mempengaruhi sistem saraf dan menyebabkan perubahan perilaku (Pesticides reduces biodiversity, 2010).

Gambar 2. Peningkatan konsentrasi DDT pada tiap rantai makanan (sliderbase.com/spitem-897-1.html)

Pestisida dapat diaplikasikan dalam bentuk semprotan cair pada tanah atau tanaman, dapat dimasukkan atau disuntikkan ke dalam tanah atau diaplikasikan dalam bentuk butiran atau dalam bentuk perlakuan terhadap benih. Setelah mencapai area target, pestisida akan menghilang melalui degradasi, penyebaran, penguapan atau pencucian pada air permukaan dan air tanah; pestisida juga dapat diambil oleh tumbuhan atau organisme tanah, bahkan tinggal di dalam tanah (Hayo dan Werf 1996). Perhatian utama dari penggunaan pestisida yang berlebihan adalah terserapnya pestisida ke dalam tanah, yang dapat mempengaruhi mikroba yang tinggal di dalamnya. Mikroba penghuni tanah membantu tanaman dengan berbagai cara, seperti membantu penyerapan hara; pemecahan bahan organik dan meningkatkan kesuburan tanah. Secara tidak langsung, organisme tanah menguntungkan bagi kehidupan manusia karena kita sangat bergantung pada tumbuhan. Sayangnya, penggunaan pestisida yang berlebihan dapat menimbulkan konsekuensi yang signifikan dan suatu saat akan tiba masa dimana organisme tanah ini tidak lagi ditemukan dan akibatnya tanah menjadi rusak.

Gambar 3. Pestisida dalam tanah (https://www.researchgate.net/publication/330943005)

Beberapa mikroba tanah ikut terlibat dalam fiksasi nitrogen atmosfer menjadi nitrat. Fungisida klorotalonil dan dinitrofenil terbukti mengganggu bakteri nitrifikasi dan de-nitrifikasi dalam proses tersebut (Lang dan Cai 2009). Herbisida triclopyr menghambat bakteri tanah yang terlibat dalam transformasi amonia menjadi nitrit (Pell et al. 1998). Glifosat, yang merupakan herbisida non-selektif, dapat mengurangi pertumbuhan dan aktivitas bakteri pengikat nitrogen di dalam tanah (Santos dan Flores 1995) sedangkan 2,4-D menghambat transformasi amonia menjadi nitrat yang dibawa keluar oleh bakteri tanah (Frankenberger et al. 1991).

Herbisida juga menyebabkan kerusakan yang cukup besar pada spesies jamur di tanah, diantaranya yaitu pestisida trifluralin dan oryzalin dimana keduanya diketahui dapat menghambat pertumbuhan simbiosis jamur mikoriza (Kelley dan South 1978) yang membantu dalam penyerapan hara. Oxadiazon telah diketahui dapat mengurangi jumlah spora jamur (Moorman 1989) sedangkan triclopyr ternyata beracun bagi spesies jamur mikoriza tertentu (Chakravarty dan Sidhu 1987).

Cacing tanah memainkan peran penting dalam ekosistem tanah dengan bertindak sebagai bioindikator kontaminasi tanah dan sebagai model untuk pengujian toksisitas tanah. Cacing tanah juga berkontribusi pada kesuburan tanah. Pestisida ternyata membawa efek beracun bagi cacing tanah terutama melalui pori-pori tanah yang terkontaminasi pestisida. Schreck dkk. (2008) melaporkan bahwa insektisida dan / atau fungisida menghasilkan efek neurotoksik pada cacing tanah dan bila terpapar dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan kerusakan fisiologis (Schreck et al. 2008). Glifosat dan klorpirifos memiliki efek merusak pada cacing tanah di tingkat sel yang menyebabkan kerusakan DNA. Glyphosates dapat mempengaruhi aktivitas makan dan kelangsungan hidup cacing tanah (Casabé et al. 2007). Goulson mengungkapkan bahaya neonicotinoid pada lingkungan dan kehidupan hewan. Dia melaporkan bahwa senyawa neonicotinoids memiliki kecenderungan untuk terakumulasi di dalam tanah, sehingga dapat membunuh cacing tanah seperti pada spesies Eisenia foetida (Goulson 2013).

Gambar 4. Efek pestisida pada organisme di tanah (www.researchgate.net/publication/235903011_Impacts_of_agricultural_pesticides_on_terrestrial_ecosystems)
  1. Daftar Pustaka
    • Brammall RA, Higgins VJ (1988) The effect of glyphosate on resistance of tomato to Fusarium crown and root rot disease and on the formation of host structural defensive barriers. Can J Bot 66:1547–1555
    • Casabé N, Piola L, Fuchs J, Oneto ML, Pamparato L, Basack S, Giménez R, Massaro R, Papa JC, Kesten E (2007) Ecotoxicological assessment of the effects of glyphosate and chlorpyrifos in an Argentine soya fi eld. J Soils Sedim 7:232–239
    • Chakravarty P, Sidhu SS (1987) Effects of glyphosate, hexazinone and triclopyr on in vitro growth of five species of ectomycorrhizal fungi. Eur J Pathol 17:204–210
    • Decourtye A, Lacassie E, Pham-Delègue MH (2003) Learning performances of honeybees (Apis mellifera L.) are differentially affected by imidacloprid according to the season. Pest Manag Sci 59:269–278
    • Dreistadt SH, Clark JK, Flint ML (1994) Pests of landscape trees and shrubs. An integrated pest management guide. University of California Division of Agriculture and Natural Resources. Publication No. 3359
    • Environmental impacts. In: Pesticide Action Network. Available from https://www.panna.org/issues/persistent-poisons/environmental-impacts .
    • Fletcher JS, Pfl eeger TG, Ratsch HC (1993) Potential environmental risks associated with the new sulfonylurea herbicides. Environ Sci Technol 27:2250–2252
    • Frankenberger WT, Tabatabai MA Jr, Tabatabai MA (1991) Factors affecting L-asparaginase activity in soils. Biol Fert Soils 11:1–5
    • Goulson DJ (2013) An overview of the environmental risks posed by neonicotinoid insecticides. J Appl Ecol 50:977. doi: 10.1111/1365-2664.12111
    • Hayo MG, Werf VD (1996) Assessing the impact of pesticides on the environment. Agric Ecosyst Environ 60:81–96
    • Kelley WD, South DB (1978) In vitro effects of selected herbicides on growth and mycorrhizal fungi. Weed Sci Soc. America Meeting. Auburn University, Auburn, Alabama: 38
    • Lang M, Cai Z (2009) Effects of chlorothalonil and carbendazim on nitrifi cation and denitrifi cation in soils. J Environ Sci 21:458–467
    • Liroff RA (2000) Balancing risks of DDT and malaria in the global POPs treaty. Pestic Safety News 4:3
    • Locke D, Landivar JA, Moseley D (1995) The effects of rate and timing of glyphosate applications of defoliation effi ciency, regrowth inhibition, lint yield, fiber quality and seed quality. Proc Beltwide Cotton Conf 2:1088–1090
    • Moorman TB (1989) A review of pesticide effects on microorganisms and microbial processes related to soil fertility. J Prod Agric 2:14–23
    • Pell M, Stenberg B, Torstensson L (1998) Potential denitrifi cation and nitrifi cation tests for evaluation of pesticide effects in soil. Ambio 27:24–28
    • Pesticides reduce biodiversity (June 2010) Pesticides News 88: 4–7
    • Pilling ED, Jepson PC (2006) Synergism between EBI fungicides and a pyrethroid insecticide in the honeybee (Apis mellifera). Pestic Sci 39:293–297
    • Santos A, Flores M (1995) Effects of glyphosate on nitrogen fi xation of free-living heterotrophic bacteria. Lett Appl Microbiol 20:349–352
    • Schreck E, Geret F, Gontier L, Treilhou M (2008) Neurotoxic effect and metabolic responses induced by a mixture of six pesticides on the earthworm Aporrectodea caliginosa nocturna. Chemosphere 71(10):1832–1839
    • sliderbase.com/spitem-897-1.html
    • strathconabeekeepers.blogspot.com/2013/10/neonicotinoids-and-bees.html
    • Yang EC, Chuang YC, Chen YL, Chang LH (2008) Abnormal foraging behavior induced by sublethal dosage of imidacloprid in the honey bee (Hymenoptera: Apidae). J Econ Entomol 101:1743–1748
    • www.researchgate.net/publication/235903011_Impacts_of_agricultural_pesticides_on_terrestrial_ecosystems
    • https://www.researchgate.net/publication/330943005

Bagikan Artikel Ini