KEMENTERIAN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

Wereng Pucuk Teh Serangga Kecil yang Membuat Petani Teh Frustasi

Diposting     Jumat, 15 Juli 2022 10:07 am    Oleh    perlindungan



Teh merupakan salah satu komoditas perkebunan yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Selain sebagai minuman penyegar, teh juga memiliki khasiat bagi kesehatan tubuh (Hartoyo, 2003). Sampai saat ini Indonesia merupakan negara penghasil teh terbesar ke-7 di dunia. Luas areal teh Indonesia mencapai 111.116 ribu hektar dan produksi sebesar 129.832 ribu ton.  Sentra penghasil teh Indonesia terbesar (79 %) berada di Provinsi Jawa Barat dan 21 % tersebar di Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi, bengkulu, Jawa Tengah, Banten, D.I. Yogyakarta, dan Jawa Timur. Produksi teh Indonesia sebagian besar diekspor ke mancanegara dan lainnya dipasarkan di dalam negeri. Ekspor teh Indonesia menjangkau 5 benua, yaitu: Asia, Afrika, Australia, Amerika dan Eropa dengan nilai sebesar 147 juta US$ pada tahun 2019. Pada tahun 2019, terdapat 4 (empat) negara pengimpor teh Indonesia, yaitu: Malaysia, Russia Faderation, Pakistan dan United States.

Teh Indonesia memiliki kandungan katekin (bahan aktif antioksidan) tertinggi di dunia dan perlu dilakukan pengembangan specialty tea asal Indonesia yang mendapat indikasi geografis untuk meningkatkan harga dan image teh Indonesia. Terlebih produksi teh dalam waktu 5 tahun terakhir mengalami penurunan sebesar 0,38 %, begitupun untuk produktivitas juga mengalami penurunan sebesar 1,03 %. Hal ini dikarenakan dalam proses budi daya tanaman teh, keberadaan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) masih menjadi salah satu faktor penghambat dalam proses produksi. Salah satu hama utama pada tanaman teh, yaitu Empoasca sp. atau juga dikenal dengan sebutan Wereng Pucuk Teh (WPT).

Hama WPT diketahui pertama kali menyerang perkebunan teh Gunung Mas di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat pada tahun 1998. Serangan dan penyebaran hama WPT sangat cepat meluas dan mengakibatkan penurunan produksi pucuk teh. Hal ini karena populasi hama WPT di alam tergantung pada faktor cuaca, yaitu curah hujan, suhu, dan faktor biotik seperti jumlah dan kualitas makanan, musuh alami, dan kompetisi antar spesies (Widayat, 1987). Selain itu, seiring dengan penurunan kadar bahan organik tanah akibat tidak adanya konservasi lahan, penurunan keanekaragaman hayati, masih terbatasnya klon teh yang tahan terhadap serangan WPT, serta perubahan iklim global, serangan hama WPT dapat terjadi sepanjang tahun.

WPT menyerang dengan cara mengisap daun teh dan menyebabkan bagian tepi daun teh keriting, layu dan menguning. Selain itu, kualitas teh juga menurun akibat berkurangnya kandungan theaflavin, thearubigin, kafein, substansi polimer tinggi, dan fenol pada bahan baku pucuk teh yang menentukan cita rasa teh. WPT berukuran sangat kecil, serangga dewasanya berukuran ± 2,5 mm dan berwarna hijau kekuningan. Namun meskipun kecil, WPT dapat mengurangi produksi hingga 15-20 % per tahun bahkan dapat mencapai 50 % per tahunnya pada serangan berat. Serangan WPT telah menyebar ke sejumlah areal perkebunan teh di Jawa Barat dan menyebabkan produksi teh menurun. Kondisi ini membuat petani teh di Provinsi Jawa Barat frustasi.

Gambar 1. (a) Empoasca sp. dan (b) Gejala serangan Empoasca sp. pada daun teh

Hama WPT bersifat polifag dengan tanaman inang antara lain: jenis leguminosa, kacang tanah, kacang panjang, kacang tunggak, kacang kedelai, kacang polong, kentang, ubi, anggur, tebu, dadap, terong, cabai, rosela, dan kembang sepatu. Sampai saat ini pestisida kimia sintetik masih menjadi andalan untuk mengamankan produksi teh dari serangan OPT karena dapat menekan intensitas serangan OPT dengan cepat. Walaupun demikian, telah disadari bahwa aplikasi pestisida kimia yang terus menerus dan tidak sesuai aturan dapat menimbulkan dampak negatif yang dapat membahayakan manusia dan lingkungan. Selain dapat menyebabkan resistensi dan resurjensi, residu pestisida juga dapat tertinggal di produk akhir teh. Selama beberapa tahun terakhir, produk teh hitam dan teh hijau Indonesia ditolak oleh Uni Eropa dengan alasan melebihi Batas Maksimum Residu (BMR).

Hal penting yang seringkali diabaikan oleh pekebun, yaitu kegiatan monitoring. Monitoring merupakan salah satu komponen pengendalian yang tidak dapat dipisahkan dari konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Pada intinya, penerapan PHT di perkebunan teh bertujuan untuk menjaga lingkungan kebun. Dengan menerapkan PHT, kegiatan pengendalian menjadi lebih terencana, efektif dan efisien. Kegiatan monitoring sangat diperlukan untuk menentukan teknik pengendalian mana yang akan dipilih. Teknik pengendalian sebaiknya dilakukan sesuai dengan tingkat intensitas serangan WPT. Kategori serangan WPT berdasarkan gejala serangan dan stadia hidup WPT sebagai berikut:

  1. Serangan ringan, yaitu daun yang terserang nimfa WPT akan memperlihatkan gejala klorosis (perubahan warna menjadi coklat tua) pada tulang-tulang daun.
  2. Serangan sedang, yaitu bagian pinggiran daun sebagian besar mengeriting dan ditemukan cukup banyak serangga baik stadia nimfa atau dewasa di bagian bawah daun.
  3. Serangan berat, yaitu sebagian besar daun muda menjadi kuning kusam, mengeriting, dan akhirnya terjadi kematian daun.

Namun, kegiatan monitoring seringkali tidak berjalan secara konsisten atau bahkan tidak dilaksanakan sama sekali. Monitoring dianggap menyulitkan karena keterbatasan sumber daya manusia di kebun. Pada akhirnya, penentuan tingkat intensitas serangan hanya dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan melihat penampakan pucuk teh. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan kekeliruan karena hasil penilaian dapat berbeda antara satu petugas dengan petugas lainnya.  Selain itu monitoring yang bersifat kualitatif atau visual merupakan masalah utama karena serangan WPT pada stadia 1 dan 2 belum menunjukkan gejala serangan yang signifikan pada daun teh. Hal ini yang menyebabkan biaya pengendalian tinggi dan bahkan terjadi residu insektisida kimiawi pada teh akibat upaya pengendalian serangan WPT dengan aplikasi insektisida kimiawi. Untuk ketepatan dan keberhasilan pengendalian WPT di lapangan, cara monitoring yang dapat dilakukan yaitu dengan menggabungkan pengamatan kualitatif dan kuantitatif.

Iklim akan terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu, demikian juga dengan OPT dan tanaman teh akan terus beradaptasi. Pekebun tidak dapat terus menerus mengandalkan pestisida sebagai bahan pengendali OPT yang dianggap paling ampuh. Teknik pengendalian juga harus terus berkembang seiring dengan perubahan yang terjadi. Strategi pengendalian OPT yang paling jitu dengan menerapkan konsep PHT. Prinsip dari PHT adalah pengendalian populasi hama berdasarkan hasil monitoring, menerapkan semua teknik pengendalian yang kompatibel, mengutamakan pengendalian hayati dan teknik lain yang ramah lingkungan, dan pengendalian kimiawi dijadikan pilihan terakhir.

Cara Pengendalian

  1. Menanam benih sehat.
  2. Sanitasi kebun dengan baik dengan cara melakukan pengendalian gulma dan pembuatan drainase.
  3. Penetapan pola tanam, baik jenis klon dan siklus petik.
  4. Penanaman intercrop, yang berfungsi sebagai tanaman repellen/penolak.
  5. Memperkuat ketahanan tanaman dengan pemberian pupuk KCl dosis 150 kg/ha/tahun.
  6. Pemasangan lem serangga di lapangan atau alat penangkap manual.
  7. Introduksi musuh alami, seperti: penyebaran predator Curinus coruleus, serangga parasitoid (Anagrus atomus, Anagrus flaveolus, Anagrus frequens), serta jamur entomopatogen (Paecilomyces sp., Synnematium sp., dan Beauveria bassiana).
  8. Aplikasi pestisida nabati berbahan aktif azadirachtin.
  9. Aplikasi Metabolit Sekunder Agensia Pengendali Hayati (MS APH).
  10. Mempercepat pertumbuhan tunas dengan pemberian pupuk daun yang diaplikasi dengan insektisida.
  11. Aplikasi insektisida di lapangan disesuaikan dengan tingkat serangan WPT seperti tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Golongan insektisida untuk pengendalian WPT

Penulis : Yuni Astuti, Ratri Wibawanti dan Andi Asjayani

DAFTAR PUSTAKA

Dharmadi, A. 1999. Empoasca sp., Hama Baru di Perkebunan Teh Indonesia. Prosiding Pertemuan Teknis Teh Nasional. Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung. Bandung.

Novianto, R., Yani M., Katimin, Esti N., dan Mila I. 2018. Laporan dalam rangka Konsultasi ke Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung. Bandung.

Ramariyanti, I. dan Fani F. 2019. Empoasca, si Kecil yang “Merepotkan”. Universitas Padjadjaran. Bandung.

Widayat, W. 2007. Hama-Hama Penting pada Tanaman the dan Cara Pengendaliannya. Seri Buku Saku 01. Pusat Penelitian Teh dan Kina. Gambung. Bandung.


Bagikan Artikel Ini