KEMENTERIAN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

Pertanian Organik Sebagai Jawaban Tantangan Pertanian Global Dalam Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)

Diposting     Jumat, 13 Oktober 2023 01:10 pm    Oleh    perlindungan



Salah satu sektor yang paling terdampak dengan adanya perubahan iklim adalah pertanian. Perubahan iklim menghadirkan tantangan baru bagi sektor pertanian yang berdampak luas dan signifikan. Perubahan pola curah hujan, kenaikan suhu, dan fenomena iklim ekstrem (banjir dan kekeringan) memicu kekhawatiran akan keberlanjutan produksi dan ketahanan pangan di berbagai belahan dunia, tidak terkecuali Indonesia (Surmaini, dkk, 2011).

Perubahan iklim merupakan proses alami yang memiliki kecenderungan secara berkelanjutan dalam jangka panjang. Seiring dengan pergeseran pola iklim, perubahan persebaran organisme pengganggu tumbuhan (OPT) juga memiliki dampak negatif terhadap pertanian. Dahulu, upaya pengendalian OPT cenderung menggunakan pestisida dengan bahan kimia sintetis karena hasilnya yang cepat dan efisien. Namun, penggunaan pestisida kimia sintetis yang kurang bijaksana menimbulkan masalah baru seperti resistensi dan resurjensi OPT serta residu pestisida yang berdampak terhadap kesehatan manusia dan lingkungan di kemudian hari. Pola pikir masyarakat yang semakin progresif membuat masyarakat menaruh perhatian terhadap pangan yang aman dikonsumsi.

Menilik berbagai hal tersebut, Indonesia berupaya untuk menjawab tantangan global di bidang pertanian melalui salah satu program dari Nawacita yang telah dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo. Penerapan kegiatan yang dapat mendukung dalam menjawab tantangan global tersebut, salah satunya adalah desa pertanian organik berbasis komoditas perkebunan. Sesuai arahan Presiden, kegiatan ini telah dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian sejak tahun 2016. Kegiatan desa pertanian organik mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) 6729:2016 tentang sistem pertanian organik dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2019 tentang sistem budi daya pertanian berkelanjutan.

Pertanian organik merupakan sistem budi daya dan manajemen produksi pertanian yang mendorong serta meningkatkan kesehatan agroekosistem yang didalamnya termasuk keanekaragaman hayati, siklus biologis, dan aktivitas biologis tanah. Pertanian organik tidak hanya sebagai sistem produksi pertanian, namun juga sebagai sebuah pendekatan sistemik dan komprehensif terhadap penghidupan berkelanjutan secara umum pada tingkat fisik, ekonomi, atau sosial budaya. Selain itu, pertanian organik memiliki potensi kuat untuk membangun ketahanan dalam menghadapi iklim yang cenderung berubah-ubah (Eyhorn, 2007; Wani, dkk, 2013).

Pada periode awal penerapan kegiatan desa pertanian organik (tahun 2016-2019), Direktorat Jenderal Perkebunan telah membina sekitar 160 kelompok tani komoditas perkebunan dari seluruh wilayah Indonesia. Tiap kelompok tani yang mengikuti program desa pertanian organik diberikan bantuan pengungkit berupa ternak ruminansia kecil/besar, kandang ternak, rumah kompos, dan lain-lain. Bantuan tersebut diberikan sebagai pemicu dalam rangka menjadikan kelompok tani mandiri dalam penyediaan input produksi di kebunnya.

Gambar 1. Penerapan input produksi di kebun pada program kegiatan desa pertanian organik berbasis komoditas perkebunan

Manfaat yang diperoleh kelompok tani dalam penyediaan input produksi secara mandiri, salah satunya adalah mengurangi ketergantungan pupuk yang diperoleh dari luar ekosistem kebun. Kelompok tani memanfaatkan kotoran yang dihasilkan oleh ternak dan sisa-sisa pangkasan tanaman menjadi pupuk organik dengan metode pengolahan kompos. Pengomposan memiliki potensi dalam pengurangan emisi GRK dari bidang pertanian walaupun dampak keseluruhan yang ditimbulkan masih tergolong relatif kecil. Meskipun begitu, pengomposan memiliki beberapa kelebihan dalam mengatasi sejumlah masalah lingkungan lainnya seperti kualitas air permukaan dan air tanah, emisi amonia, dan patogen. Sehingga pengomposan dapat menjadi salah satu upaya yang efektif dalam mengurangi emisi GRK dan masalah lingkungan lainnya (Paul, dkk, 2001).

Desa pertanian organik berbasis komoditas perkebunan memiliki beberapa tahapan kegiatan yang terbagi dalam lima tahun secara berkelanjutan. Kegiatan dimulai dengan menetapkan calon kelompok tani yang diusulkan oleh dinas provinsi yang membidangi perkebunan kepada Kementerian Pertanian sebagai peserta. Setelah peserta ditetapkan, kemudian kelompok tani akan diberikan bantuan input produksi dan pendampingan tentang sistem pertanian organik oleh penyuluh di tingkat kabupaten dan provinsi. Pendampingan akan dilakukan secara berkala hingga tahap akhir kegiatan di tahun kelima. Pada tahun kedua akan diberikan pelatihan mengenai Good Agricultural Practice (GAP) juga pelatihan pembuatan bahan pengendali OPT dan kompos (pemanfaatan input produksi).

Tahapan kegiatan pada tahun ketiga, yaitu pelatihan pendampingan, dan pre-assessment. Dalam pelatihan ini, kelompok tani akan diberikan pengetahuan serta simulasi mengenai sistem kendali internal (ICS) pada kelembagaan pertanian organik dan audit internal yang mengacu pada SNI 6729:2016. Pada tahun keempat kelompok tani yang sudah siap akan dilakukan sertifikasi organik SNI dan/atau regional dunia tergantung target pasar yang akan dituju. Selain melaksanakan sertifikasi, kelompok tani juga diberikan pelatihan mengenai utilisasi dan pemasaran produk. Kelompok tani juga akan diberikan dukungan promosi dan pemasaran yang bekerja sama dengan dinas yang membidangi perdagangan dan dinas yang membidangi perindustrian setempat. Umumnya sertifikat organik SNI berlaku selama dua tahun dan sertifikat organik regional dunia berlaku selama satu tahun sehingga, setelah dilakukan sertifikasi akan dilakukan surveilens sertifikasi jika masa berlaku sertifikat yang diperoleh akan berakhir. Surveilens biasanya akan dilaksanakan pada tahap akhir/tahun kelima kegiatan.

Gambar 2. Tahapan kegiatan desa pertanian organik berbasis komoditas perkebunan

Kelompok tani yang dibina telah disertifikasi organik baik sesuai SNI maupun regional dunia. Berbekal sertifikat organik regional dunia yang telah diperoleh, sejak tahun 2019 beberapa kelompok tani telah menginisiasi untuk memasarkan produknya ke beberapa negara di wilayah Asia, Eropa, Australia, dan Amerika secara kontinu. Selain pembiayaan sertifikasi organik, Direktorat Jenderal Perkebunan juga memfasilitasi uji mutu produk organik yang juga dipasarkan oleh kelompok tani.

Beberapa pengujian yang difasilitasi Direktorat Jenderal Perkebunan diantaranya, yaitu: uji mutu, uji cita rasa, serta uji kandungan glyphosate dan isoprocarb pada komoditi kopi. Hasil uji menunjukkan bahwa terdapat lima belas kelompok tani komoditi kopi yang produknya memiliki mutu grade 1 berdasarkan SNI 2907:2018 tentang biji kopi. Mutu grade 1 dideskripsikan dengan jumlah nilai cacat maksimum 11 yang ditentukan oleh beberapa parameter contohnya seperti biji berwarna hitam, biji pecah, biji berlubang, biji masih terdapat kulit kopi dan/atau kulit tanduk serta, terdapat benda asing seperti ranting, tanah, dan kerikil pada sampel biji kopi yang diuji (BSN, 2018). Lima belas kelompok tani tersebut tersebar di provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Untuk uji cita rasa, terdapat tiga puluh kelompok tani yang produknya memiliki nilai cita rasa lebih dari 80. Nilai 80 merupakan nilai minimum untuk dapat dikategorikan sebagai Specialty grade pada laboratorium penguji Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka).

Glyphosate adalah salah satu bahan aktif herbisida yang umum digunakan secara luas dalam bidang pertanian untuk mengendalikan populasi gulma sedangkan, isoprocarb adalah senyawa aktif yang biasanya terdapat pada insektisida. Berdasarkan komisi Uni Eropa tentang batas maksimum residu (BMR), produk biji kopi yang hendak dipasarkan ke wilayah Uni Eropa harus memenuhi persyaratan BMR pada nilai < 0,1 mg/Kg untuk Glyphosate (European Commission). Pemerintah Jepang (Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan) memberlakukan hal serupa pada BMR untuk isoprocarb pada nilai < 0,01 mg/Kg untuk komoditi biji kopi yang diekspor ke negaranya (Diyasti, dkk, 2022). Hasil uji kandungan glyphosate dan isoprocarb yang telah dilakukan menunjukkan dari lima belas sampel biji kopi yang diuji, seluruhnya tidak terdeteksi adanya kandungan glyphosate dan isoprocarb masing-masing pada Limit of Detection (LoD) sebesar 0,0097 mg/Kg dan 0,001 mg/Kg.

Melihat hasil beberapa uji yang telah dilakukan menunjukkan keseriusan dan komitmen dari Kementerian Pertanian juga kelompok tani peserta kegiatan desa pertanian organik berbasis komoditas perkebunan dalam menyediakan pangan yang aman dikonsumsi masyarakat serta mendukung kelestarian lingkungan. Oleh sebab itu, keberhasilan yang telah dicapai membuat program ini dilanjutkan kembali pada periode tahun 2020-2024. Pada tahun 2023, Direktorat Jenderal Perkebunan membina 44 kelompok tani di dua belas provinsi sebagai peserta kegiatan desa pertanian organik. Dalam beberapa tahun ke depan, kelompok tani komoditas perkebunan yang mengikuti kegiatan desa pertanian organik diharapkan semakin bertambah setiap tahunnya juga mutu produk yang dihasilkan semakin baik agar manfaat jangka panjang bagi masyarakat dan lingkungan sekitar semakin terasa.

Penulis : Reno Agassi, Herly Kurniawan, Eva Lizarmi

DAFTAR REFERENSI

Badan Standardisasi Nasional. 2018. Biji Kopi. https://www.cctcid.com/wp-content/uploads/2018/08/SNI_2907-2008_Biji_Kopi-1.pdf. Diakses pada 6 Juli 2023 pk. 14.24 WIB.

Diyasti, F., Tulus, T. M & Eva. L. 2022. Sistem Pertanian Organik sebagai Jawaban Penanganan Isu Residu Isoprocarb pada Biji Kopi Indonesia. https://ditjenbun.pertanian.go.id/sistem-pertanian-organik-sebagai-jawaban-penanganan-isu-residu-isoprocarb-pada-biji-kopi-indonesia/. Diakses pada 7 Juli 2023 pk. 07.58 WIB.

Eyhorn, F. 2007. Organic Farming For Sustainable Livelihoods In Developing Countries: The Case Of Cotton In India. Executive Summary. https://www.nccr-north-south.ch/Upload/Eyhorn_organic_farming.pdf. Diakses pada 6 Juli 2023 pk. 11.16 WIB.

European Commission. EU Pesticides Database. https://ec.europa.eu/food/plant/pesticides/eu-pesticides-database/start/screen/mrls. Diakses pada 6 Juli 2023 pk. 14.44 WIB.

Paul, J. W., Claudia. W., Andrew. T., Ron. F & Malcolm, M. 2001. Composting As A Strategy To Reduce Greenhouse Gas Emissions. https://citeseerx.ist.psu.edu/document?repid=rep1&type=pdf&doi=f6633918ea08c19780b9392066b4300687ba40c3. Diakses pada 7 Juli 2023 pk. 10.41 WIB.

Surmaini, E., Eleonora. R & Irsal. L. 2011. Upaya Sektor Pertanian Dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Jurnal Litbang Pertanian 30(1): 1—7.

Wani, S. A., Subhash. C., G. R. Najar & M. A. Teli. 2013. Organic Farming: As A Climate Change Adaptation And Mitigation Strategy. Current Agriculture Research Journal 1(1): 45—50.


Bagikan Artikel Ini  

Sistem Pertanian Organik sebagai Jawaban Penanganan Isu Residu Isoprocarb pada Biji Kopi Indonesia

Diposting     Selasa, 15 Maret 2022 10:03 am    Oleh    perlindungan



Isu cemaran residu pestisida berbahan aktif Isoprocarb yang menerpa biji kopi Indonesia asal Lampung kerap menyita perhatian dari berbagai pihak. Pasalnya, negara tujuan ekspor yaitu Jepang “mengancam” akan menutup ekspor kopi secara keseluruhan dari Indonesia. Sebaliknya, jika Indonesia mampu membuktikan dalam 2 tahun dan/atau 300 kali shipment dalam 1 tahun, kopi Indonesia mampu menunjukkan nilai MRL (Maximum Residue Limit) berada di bawah ambang 0,01 ppm, maka Jepang akan membatalkan pemberlakuan inspection order 100% atas kopi asal Indonesia dan membuka kembali jalur perdagangan kopi tersebut.

Dengan menggelar Forum Group Discussion (FGD), Senin 14 Maret 2022 bertempat di Novotel- Bandar Lampung, Direktur Perlindungan Perkebunan beserta jajarannya menggandeng berbagai pihak untuk bersama-sama berkomitmen dalam menuntaskan dan memulihkan kembali nama baik kopi Lampung Indonesia khususnya dan kopi Indonesia pada umumnya agar dapat dinikmati kembali oleh seluruh dunia.

Pertemuan dimoderatori oleh Dr Antarjo Dikin (Analis Perkarantinaan Tumbuhan Ahli Utama) serta narasumber pertemuan dihadiri oleh Direktur Perlindungan Perkebunan, perwakilan dari Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, Direktorat Tanaman Tahunan dan Penyegar, Badan Karantina Pertanian, Badan Pangan Nasional, Dinas Perkebunan Provinsi Lampung. Pertemuan juga dihadiri oleh Badan Karantina Pertanian Provinsi Lampung, Kepala Otoritas Kompeten Keamanan Pangan Daerah (OKKPD), Provinsi Lampung, Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Lampung Barat, Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Tenggamus, Dinas Perkebunan Kabupaten Way Kanan, Dinas Pertanian Kabupaten Lampung Utara, Dinas Pertanian Kabupaten Pesisir Barat serta para eksportir kopi.

Kasus pencemaran residu ini diduga bermula dari perilaku oknum petani yang “menyemprot” kopi untuk mengusir semut pada saat panen dengan menggunakan insektisida berbahan aktif Isoprocarb. Hal ini berbuntut panjang, karena pestisida kimia yang diaplikasikan menjelang panen dapat menimbulkan residu pada produk akhir. Berdasarkan data Direktorat Pupuk dan Pestisida bahwa insektisida berbahan aktif Isoprocarb terdaftar dan mendapat ijin Menteri Pertanian untuk pengendalian hama kutu putih (Planococcus citri) pada tanaman kopi (SK Mentan RI No. 597/KPTS/SR.330/M/10/2021).

Pengelolaan semut di lahan pertanian perlu dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, karena pada dasarnya semut berperan sebagai predator yaitu sahabat petani dalam mengendalikan hama tanaman. Kelimpahan populasinya memerlukan pengamatan dan monitoring yang intensif, jika sudah melewati ambang batas dan sangat mengganggu, maka tindakan pengelolaan dapat dilakukan dengan memerhatikan ekologi semut tersebut. Identifikasi jenis semut perlu dilakukan agar dapat diketahui bioekologinya, misalnya untuk jenis semut api (Solenopsis sp.) memiliki ciri khas membentuk sarang berupa gundukan tumpukan seperti pasir. Tindakan petani dengan menyemprot semut pada ranting kurang efektif karena semut pekerja yang berada di luar sarang kurang dari 20% dari populasi, koloni semut yang harus dikelola berada di sarang gundukan. Sehingga cara terbaik yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan cara umpan.

Penerapan Good Agriculture Practices (GAP) dan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang mengarah pada penggunaan biopestisida yang ramah lingkungan perlu dilakukan, mendorong penerapan sistem pertanian organik pada komoditas kopi, penerapan registrasi kebun kopi dengan system ketelusuran atau traceability  sehingga ketika terdapat kontaminasi bahan aktif yang melebihi ambang batas dapat ditelusuri asal produknya. Treaceability produk serta melakukan inspeksi/monitoring biji kopi yang akan diekspor perlu diperhatikan guna mendapatkan informasi ketelusuran asal produk. Tracebility bukan hanya tanggung jawab Direktorat Jenderal Perkebunan dan Badan Karantina Pertanian saja namun juga oleh stakeholders lainnya seperti pihak swasta maupun eksportir. Offtaker atau eksportir juga harus proaktif agar permasalahan ini dapat terselesaikan.

Dalam upaya mengurangi risiko adanya residu pestisida pada komoditas perkebunan yang dikonsumsi, Direktorat Perlindungan Perkebunan telah menyebarkan informasi melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik terkait dengan pengendalian OPT ramah lingkungan dan penerapan sistem pertanian organik berbasis komoditas perkebunan, salah satunya pada komoditas kopi sejak tahun 2016. Pertanian organik menjadi solusi terbaik untuk menghindari cemaran kimiawi pada produk pertanian, “tegas Ir. Baginda Siagian, Direktur Perlindungan Perkebunan. Kita akan mencoba menyelesaikan permasalahan terkait Isoprocarb dari segala sisi, bahkan juga pada residu bahan aktif lainnya yang tidak boleh lebih dari ambang batas ketentuan. Kita berbenah di dalam negeri, namun juga tidak melupakan diplomasi dagang internasional, “ pungkas Baginda.

Penulis: Farriza Diyasti, Tulus Tri Margono, Eva Lizarmi


Bagikan Artikel Ini