KEMENTERIAN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

Perkebunan Mendorong Produksi Pangan.

Diposting     Selasa, 10 Mei 2016 07:05 pm    Oleh    ditjenbun



Lampung (12/02/16), Berbagai cara terus dilakukan oleh semua pihak termasuk komoditas perkebunan untuk mendorong produksi pangan seperti padi, jagung dan kedelai (pajale).

Harus diakui bahwa komoditas perkebunan sebagai penyumbang terbesar devisa negara. Bahkan sebagian besar luas areal perkebunan masih dikuasasi oleh rakyat atau disebut perkebunan swadaya. Namun permasalahannya saat ini perkebunan yang dikuasai oleh rakyat sebagian besar sudah pada tua sehingga produktivitasnya pun menurun. Satu diantaranya yaitu perkebunan kelapa sawit.

Bahkan berdasarkan catatan Kementerian Pertanian nilai ekonomi dari kelapa sawit mencapai Rp 31 triliun. Tapi juga jangan  mengenyampingkan komoditas pangan utama. Sebab dari tujung komoditas pangan utama juga ikut menyumbang devisa negara.

Diantaranya padi sebesar Rp359,4 triliun, jagung Rp78,2 triliun, kedelai Rp7,7 triliun, gula Rp33,2 triliun, daging sapi atau kerbau Rp56,5 triliun, cabai Rp49,4 triliun dan bawang merah Rp27,1 triliun.

“Untuk itu, kita terus meningkatkan produksi pangan tapi kita tetap harus menjaga produksi tanaman kebun karena sebagai penyumbang devisa,” jelas Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman pada Kunjungan Kerjanya di Lampung, bulan Februari 2016.

Terbukti, berdasarkan catatan Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian tahun 2015 kemarin luas areal kelapa sawit telah mencapai 11,3 juta hektar. Dari angka tersebut, seluas 4,58 juta hektar (40,53%) milik Perkebunan Rakyat (PR), 750 ribu hektar (6,64%) Perkebunan Besar Negara (PBN) dan seluas 5,97 juta hektar (52,83%) merupakan Perkebunan Besar Swasta (PBS). Artinya dari total luas perkebunan sawit hampir setengahnya milik rakyat.

“Jadi meskipun perkebunan rakyat cukup luas, tapi produktivitasnya rendah. Hal ini karena rata-rata tanaman rakyat sudah pada tua,” jelas Gamal Nasir, Dirjen Perkebunan, pada kesempatan yang sama saat mendampingi Kunjungan Kerja Mentan di Lampung.

Banyaknya tanaman yang tua, Gamal mendukung agar tanaman tersebut untuk segera diremajakan. Namun untuk melakukan hal tersebut tidaklah semudah membalikan tangan. Sebab pada saat petani melakukan replanting maka petani otomatis akan kehilangan pendapatan selama 3,5 tahun.  Melihat masalah tersebut maka solusinya yaitu dengan cara tumpang sari antara tanaman kelapa sawit dengan tanaman pangan, seperti padi, jangung, dan kedelai. Bahkan dengan melakukan tumpang sari tersebut maka tanaman perkebunan ikut mendorong peningkatan produksi pangan.

Seperti diketahui jika saat ini ada 20% dari 4,58 juta hektar kondisinya sudah pada tua, maka ada 2,29 juta hektar yang harus segera direplanting. Artinya lahan yang harus direplanting tersebut bisa digunakan tumpang sari dengan tanaman kelapa sawit.

“Jadi ada dua keuntungan yang didapat dengan tumpang sari tersebut. Pertama petani akan mendapatkan penghasilan dari tanaman tumpang sari tersebut. Kedua, tanaman kelapa sawit ikut mendorong produksi pangan saat melakukan replanting,” kata Dirjen Perkebunan.


Bagikan Artikel Ini  

Sinergitas Perkebunan Sawit dengan Tanaman Pangan.

Diposting     Senin, 09 Mei 2016 07:05 pm    Oleh    ditjenbun



Padang (14/04/16), Sambil menyelam minum air, mungkin itulah yang terjadi saat ini di wilayah Kabupaten Pasaman Barat, Provinsi Sumatera Barat. Bagaimana tidak, sambil melakukan replanting maka petani menggunakan areal disekitar tanaman kelapa sawit yang masih berupa bibit yang digunakan untuk tanaman pangan.

Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Barat (Sumbar), Fajaruddin pada acara Kunjungan Pers Ditjenbun di Padang, Sumbar, Kamis, 14 April 2016, membenarkan bahwa besarnya potensi tanaman tumpang sari antara tanaman kelapa sawit dengan tanaman pangan seperti padi jagung dan kedelai. Sebab hanya dengan melakukan tumpang sari maka petani tetap akan mendapatkan pendapatan, tidak harus menunggu hingga minimal 3,5 tahun. Sebab seperti diketahui tanaman pangan, seperti padi dan jagung setidaknya dalam setahun bisa panen antara 2- 3 kali. Hal ini maka petani tetap bisa tersenyum meski tanaman sawit sedang di replanting. Apalagi jika tanaman pangan yang dibudidayakannya bisa mendapatkan hasil yang maksimal. “Jadi sambil menunggu tanaman sawit berbuah, petani tetap bisa menghidupi keluarganya melalui tanaman tumpang sarinya,” kata Fajaruddin kepada Para Pejabat Kehumasan lingkup Kementerian Pertanian dan wartawan yang hadir pada acara tersebut.

Lebih lanjut Fajaruddin menjelaskan, berdasarkan catatan Dinas Perkebunan Provinsi Sumbar saat ini dari total luas areal tanaman kelapa sawit sebesar 390.380 hektar yang dimiliki oleh petani sebesar 192.153 hektar, perkebunan besar milik negara sebesar 9.261, dan dikuasai oleh perusahaan swasta sebesar 188.966 hektar. Tapi masalahnya meski perkebunan rakyat mendominasi setengah dari total luas areal yang ada, produktivitasnya jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan produktivitas perkebunan milik pemerintah apalagi dengan perusahaan swasata. Hal ini karena perkebunan milik rakyat sudah banyak yang tua, dan masih banyak petani yang menggunakan benih yang tidak bersertifikat. Melihat hal ini maka mau tidak mau replanting adalah solusinya agar produktivitas perkebunan milik rakyat bisa meningkat. “Jadi coba lihat saja tanaman kelapa sawit disini usianya rata-rata 1979 – 1980 karena berawal dari program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) bekerjasama dengan PTPN VI,” jelas Fajaruddin.

Sebab, lanjut Fajaruddin, jika tanaman tersebut akan didiamkan tentunya juga akan berpengaruh terhadap produktivitasnya. Terbukti, jika dahulu tanaman yang ditanam tahun 1979 bisa berproduktivitas mencapai 30 – 35 ton/hektar/tahun, tapi kini menurun menjadi 14 – 15 ton/hektar/tahun. Angka tersebut sangatlah kecil karena usia tanaman rata-rata sudah diatas 25 tahun. Ini juga artinya dengan menurunnya produktivitas maka menurun juga pendapatan yang dihasilkan oleh petani. “Kita berharap dengan melakukan replanting maka diharapkan produktivitas akan kembali tinggi dan petani dapat kembali tersenyum,” harap Fajaruddin.

Hal ini karena, menurut Fajaruddin, dahulu masuknya tanaman kelapa sawit di Sumbar menjadi titik tumbuh perekonomian bagi masyarat. Lalu karena perkebunan juga terjadi pemekaran. Artinya, perkebunan benar-benar memberikan arti bagi masyarakat.

Melihat kelapa sawit sangat penting bagi masyarakat maka Pemerintah sudah seharusnya membantu perkebunan rakyat yang saat ini kondisinya sudah sangat tua. Adapun bantuan penggunaan benih kelapa sawit bersertifikat terdapat di Kabupaten Solok Selatan sebesar 5.000 batang, Kabupaten Sijunjung sebesar 5.875 batang, Kabupaten Pasaman Barat sebesar 6.125 batang. Sedangkan untuk intensifikasi seperti pembesaran, pemeliharaan dan distribusi benih kelapa sawit prenursery dilakukan di Kabupaten Pesisir Selatan sebesar 4.000 batang, Kabupaten Agam sebesar 5.000 batang, dan Kabupaten Pasaman Barat sebesar 2.000 batang.

“Semua ini dilakukan guna mengembalikan produktivitas perkebunan milik rakyat,” ucap Fajaruddin. Bahkan harus diakui, menurut Fajaruddin, petani tidak hanya senang karena tanamannya kembali muda dan berproduktivitasnya tinggi karena menggunakan benih bersertifikat, tapi juga selama menungggu tanaman sawit hingga tanaman menghasilkan (TM) petani tetap mendapatkan hasil, yaitu dari tanaman pangan yang ditanam di sela-sela tanaman sawit.

“Jadi petani kelapa sawit tidak hanya akan menghasilkan produktivitas yang tinggi, tapi juga tetap mendapatkan hasil selama menunggu buah serta mendukung peningkatan produksi,” terang Fajaruddin.


Bagikan Artikel Ini  

Peran CPOPC Untuk Perkembangan Sawit Indonesia dan Dunia.

Diposting     Kamis, 05 Mei 2016 07:05 pm    Oleh    ditjenbun



Malaysia, Pertemuan tingkat menteri dewan negara-negara produsen minyak sawit, Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) yang dipimpin oleh perwakilan menteri dari kedua negara Indonesia dan Malaysia yang dilaksanakan di Putrajaya pada tanggal 30 Agustus 2016, menghasilkan beberapa kesepakatan guna memperkuat kerjasma antara produsen sawit.

Pertemuan tersebut yang mewakili Indonesia dan sekaligus memimpin adalah Menteri Kooordinator Kemaritiman, HE Luhut Binsar Pandjaitan, sedangkan perwakilan dari Malaysia adalah Menteri Industri Perkebunan dan Komoditas, YB Datuk Seri Mah Siew Keong. Pertemuan ini juga dihadiri oleh para pejabat dari kedua Negara baik Malaysia maupun Indonesia, yang turut hadir dari Kementerian Pertanian RI diwakili oleh Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, Ir.  Dedi Junaedi, M.Sc.

Ada beberapa hal yang menjadi fokus pembahasan dan menjadi kesepakatan bersama guna kemajuan operasinalisasi sekretariat CPOPC sejak penandatanganan pembentukan CPOCP, antara lain:

  1. Syarat dan jangka waktu penunjukan Direktur Eksekutif dan Wakil Direktur Eksekutif CPOPC. Direktur Eksekutif dari Indonesia yang telah disepakati sejak tanggal 1 Agustus 2016;
    Kedua negara memberikan kontribusi sejumlah USD 5 juta sebagai kontribusi awal untuk mengoperasionalkan Sekretariat CPOPC;
  2. Mempromosikan kerjasama sektor swasta dengan pembentukan forum bisnis CPOPC. Forum ini akan diikuti oleh para pemimpin industri dari kedua negara dan bertindak sebagai mediator untuk meneruskan umpan balik dari sektor swasta dalam pengembangan industri kelapa sawit lebih lanjut;
  3. Rencana kerja untuk tahun 2016/2017 termasuk memfinalkan kerangka global prinsip minyak sawit berkelanjutan, kerjasama dalam pengembangan zona ekonomi hijau sawit berkelanjutan;
  4. Kriteria untuk masuk menjadi negara angggota dalam CPOPC.  Dalam hal ini termasuk luas areal penanaman kelapa sawit, persentase luas lahan pertanian yang digunakan untuk budidaya kelapa sawit serta ekspor minyak sawit;
  5. Kriteria untuk menjadi mitra dialog didasarkan atas Negara-negara pengimpor dan konsumen minyak kelapa sawit.

Sehingga diharapkan pembentukan CPOCP dapat memperkuat kerjasama dan kolaborasi di antara negara-negara produsen minyak kelapa sawit untuk menghadapi isu-isu yang berkembang terkait minyak kelapa sawit.

Selain itu juga pertemuan tersebut memberikan perhatian khusus pada hambatan tarif  yang dikembangkan di negara-negara pengimpor utama kelapa sawit.  Termasuk dalam hal ini adalah pelabelan produk pangan dengan label “tanpa minyak sawit (No Palm Oil)” dan rencana untuk memberlakukan pajak impor yang tinggi pada produk kelapa sawit. Selain itu kedua Menteri menyepakati  bahwa sekreariat dari CPOPC mengatur  “Ministrial Mission” ke negara-negara pengimpor utama minyak kelapa sawit termasuk Uni Eropa untuk menghadapi masalah minyak sawit dari perspektif keseatan dan perspektif lain yang berkembang.


Bagikan Artikel Ini  

Pengendalian JAP pada Tanaman Karet di Indonesia dengan dana APBN-TP 2016.

Diposting     Selasa, 03 Mei 2016 10:05 am    Oleh    ditjenbun



Penyakit Jamur Akar Putih (JAP) merupakan salah satu penyakit utama yang menyerang pertanaman karet di Indonesia. Berdasarkan laporan OPT dari daerah tahun 2015, luas serangan JAP sekitar 26 ribu hektar dengan taksasi kerugian hasil sebesar 75,67 miliar.

Dalam rangka meminimalkan kehilangan hasil akibat serangan OPT pada tanaman karet melalui penurunan luas areal terserang OPT, pada tahun 2016 Direktorat Jenderal Perkebunan mengalokasikan kegiatan pengendalian JAP karet seluas 725 hektar di Provinsi Jawa Barat, Sumatera Barat, Riau, Jambi dan Banten melalui dana APBN  Tugas Pembantuan (TP) pada Dinas provinsi/kabupaten/kota yang menangani perkebunan. Kegiatan tersebut dimaksudkan sebagai pemicu (trigger) bagi daerah dan petani untuk melakukan pengendalian JAP.


Bagikan Artikel Ini  

Direktorat Jenderal Perkebunan Siapkan 45 Orang Petugas Tim Percepatan Desa Organik

Diposting     Senin, 02 Mei 2016 07:05 pm    Oleh    ditjenbun



Hayati Inn – Bogor.  Untuk mendukung kegiatan pengembangan pertanian organik berbasis komoditas perkebunan yang tujuan akhirnya tersertifikasinya produk perkebunan organik oleh Lembaga Sertifikasi Organik (LSO), Ditjenbun membimbing Tim Percepatan Desa Organik melalui kegiatan  Bimbingan Teknis “Internal Control System” yang diselenggarakan selama 3 hari.  Menurut Dudi – Direktur Perlindungan Perkebunan, tim ini merupakan petugas pendamping di tingkat pusat yang dibimbing agar memiliki kemampuan tentang mekanisme pembentukan Internal Control Sistem (ICS) / Internal Manajemen Sistem (IMS), penyusunan dokumen sistem mutu dan pengajuan proses sertifikasi.


Bagikan Artikel Ini