KEMENTERIAN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

Penanganan Aflatoksin Pada Biji Pala Ekspor

Diposting     Selasa, 27 Desember 2022 12:12 pm    Oleh    perlindungan



Tanaman pala memiliki sejarah panjang sebagai emas hijau nusantara yang diperebutkan oleh negara-negara di dunia. Meskipun pada saat itu biji pala Banda telah disebarkan di beberapa negara oleh kolonial inggris pada saat pendudukannya, namun pala tetap dianggap sebagai buah emas endemis Indonesia. Hingga kini, pala Indonesia menjadi mercusuar rempah bagi negara-negara di dunia. Tahun 2020, tercatat nilai ekspor pala Indonesia sebesar 22.821 ton dengan nilai sebesar 158.42 juta Dollar Amerika. Di tengah lalu lintas ekspor yang kian meningkat, kasus cemaran residu aflatoksin pada biji pala menjadi pemicu penolakan oleh importir sehingga mengakibatkan kerugian negara serta berkurangnya nilai devisa.

Aflatoksin merupakan metabolit sekunder cendawan Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus yang bersifat toksik bagi manusia dan hewan. Aflatoksin dapat merusak hati (hepatotoksik), menyebabkan kanker hati (hepatokarsinogenik), perubahan genetik permanen (mutagenik); dan menimbulkan kelainan anatomis (teratogenik). Cemaran afla toksin pada biji pala dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain.

1. Penjemuran biji langsung di atas tanah
Para pelaku budidaya seringkali menjemur biji pala hasil panen di atas tanah tanpa dialasi dengan terpal, anyaman bambu, atau alas lainnya sehingga menyebabkan biji terkontaminasi berbagai jenis mikroba tanah antara lain Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus.

2. Kadar air biji tinggi
Kadar air biji pala pascapanen berhubungan erat dengan kelembapan. Sehingga, A. flavus dan A. Parasiticus akan tumbuh baik jika kadar air melebihi yang dipersyaratkan (standar maksimal: 10%; SNI Pala)

3. Pengemasan biji yang kurang baik
Beberapa pelaku usaha terkadang masih menggunakan kemasan dengan bahan seadanya tanpa dilengkapi atau diberi perlakuan khusus, misalnya kemasan yang tak kedap dan tak dilengkapi absorban menyebabkan biji mudah ditumbuhi dan terkontaminasi A. flavus dan A. parasiticus dari udara luar.

4. Pemanenan buah yang kurang tepat
Pemanenan/pemetikan buah terlalu muda lebih mudah terkontaminasi A. flavus dan A. parasiticus.

5. Pencampuran buah/biji
Beberapa pihak seringkali memaksakan diri untuk memenuhi kuantitas biji pala dengan mencampur buah/biji pala sehat, sehingga dapat meningkatkan penularan dan sumber infeksi.

Beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk mereduksi aflatoksin dan notifikasi penolakan akibat aflatoksin pada biji pala ekspor sebagai berikut:

1) Para petani perlu menerapkan Good Agricultural Practice (GAP); penerapan pertanian organik dan atau pengelolaan hama terpadu (PPHT) :

  • Pemanenan buah dilakukan pada tingkat ketuaan/kematangan yang cukup yaitu berwarna kuning kecoklatan.
  • Pemanfaatan jaring untuk mencegah kontak buah ke tanah pada saat panen atau lepasnya buah pada saat matang.
  • Penggunaan alas (terpal atau sejenisnya) untuk penjemuran buah/biji pala hasil panen
  • Penyortiran yang ketat terhadap biji atau buah pascapanen.
  • Pengemasan dan penyimpanan biji yang baik dan sesuai standar, misalnya penggunaan palet untuk mencegah kemasan kontak langsung dengan tanah, penggunaan absorban, dan kebersihan gudang/tempat penyimpanan.

2) Diperlukan tindakan pengendalian dan deteksi aflatoksin pada biji pala di tingkat eksportir sebelum diekspor (misalnya dengan perlakuan UV atau fumigasi).

3) Transportasi pengiriman biji pala ekspor harus didisain sebaik mungkin untuk mencegah dan menekan pertumbuhan A. flavus dan A. parasiticus. Misalnya sanitasi ruang penyimpanan (container) pada saat distribusi dan pengiriman.

4) Petani, pengepul, eksportir, dan beberapa pihak perlu memperhatikan dan menerapkan pedoman standar kualitas atau SNI Pala.

5) Pengujian aflatoksin dilakukan di laboratorium terakreditasi dan berstandar internasional.

Penulis : Esther M. Silitonga


Bagikan Artikel Ini