KEMENTERIAN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

Pengembangan Kelapa Sawit Nasional, Mewujudkan Visi Indonesia 2020.

Diposting     Selasa, 30 Juni 2009 09:06 pm    Oleh    ditjenbun



JAKARTA-Pengembangan kelapa sawit untuk mewujudkan Visi Indonesia 2020 adalah sebagai sumber kesejahteraan dan kemakmuran bangsa. Hal ini ditegaskan oleh Direktur Jenderal Perkebunan, Achmad Mangga Barani pada Simposium Tentang Kelapa Sawit Indonesia Menunjang Ketahanan Pangan Dunia, Selasa,(30/6) di Menara Kamar Dagang Indonesia (Kadin),Jakarta. Simposium yang dihadiri oleh pengurus dan anggota Kadin se Indonesia bertujuan untuk melihat peranan komoditas perkebunan kelapa sawit dalam rangka mewujudkan Visi Indonesia 2020.


Lebih lanjut dijelaskan oleh Achmad bahwa Indonesia saat ini merupakan negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia, dengan luas areal 7 juta ha dan produksi 19,2 juta minyak sawit (CPO). Oleh sebab itu peranan agribisnis kelapa sawit sangat penting artinya bagi bangsa ini. Tahun 2008, ekspor CPO mencapai 14,3 juta ton dengan nilai US$ 12,4 milyar. Negara juga memperoleh pendapatan dari PE  (Pungutan Ekspor) CPO,  tahun 2008 sebesar Rp 13,5 triliyun. Memberikan lapangan kerja sekitar 3,5 juta Kepala Keluarga (KK) mulai dari on-farm sampai off-farm. Disamping itu, minyak sawit merupakan sumber bahan baku industri utama di Indonesia, baik untuk kebutuhan pangan (minyak goreng) maupun untuk kebutuhan ole-chemical. Di masa depan, minyak sawit semakin penting  sebagai sumber bahan bakar nabati (bio-fuel), seiring dengan semakin langkanya bahan bakar dari fosil (BBM).

Tabel. Peran Indonesia Dalam Produksi Minyak Sawit Dunia Tahun 1993-2008

Uraian

Malaysia

Indonesia

Nigeria

Thailand

Columbia

Lainnya

Dunia

 

1993

Prod (000 ton)

7.403

3.421

645

297

324

1.716

13.806

Pangsa (%)

53,6

24,8

4,7

2,2

2,3

12,4

100

 

2000

Prod (000 ton)

10.842

7.000

740

525

524

2.196

21.827

Pangsa (%)

49,7

32,1

3,4

2,4

2,4

10,0

100

 

2007

Prod (000 ton)

15.823

17.373

835

1.020

732

2.890

38.673

Pangsa (%)

40,9

44,9

2,2

2,6

1,9

7,5

100

 

2008

Prod (000 ton)

17.735

19.200

860

1.160

800

3.149

42.904

Pangsa (%)

41,3

44,7

2,0

2,7

1,9

7,4

100

Pert  (%/th)

6,0

10,4

1,9

9,5

6,2

4,3

7,9

  Sumber : Oil World dan MPOB, diolah

Upaya Mewujudkan Visi 2020

Menurut Dirjen, pemerintah bersama stakeholder industri perkelapa sawitan telah berupaya mewujudkan Visi Perkebunan 2020 dengan  kelapa sawit sebagai sumber kesejateraan dan kemakmuran bangsa.  Arah pengembangan kelapa sawit sebagai unggulan nasional adalah melalui pengembangan industri kelapa sawit yang menghasilkan produk hulu hingga hilir serta pengembangan produk samping untuk meningkatkan nilai tambah. Pendekatannya  adalah : “Pengembangan Klaster Industri Berbasis Kelapa Sawit”.

 

Lebih lanjut Dirjen Perkebunan menjelaskan secara rinci upaya-upaya yang sudah dan akan dilakukan untuk mewujudkan Visi Perkebunan 2020 berbasis kelapa sawit yaitu : 1) Revitalisasi Perkebunan 2007-2010, 2) Intensifikasi tanaman kelapa sawit rakyat, 3) Dukungan penyediaan lahan, 4) Dukungan penyediaan benih unggul, 5) Dukungan pembangunan infrastruktur, 6) Pengembangan riset dan development, 7) Penyediaan pembiayaan, dan 8) Meningkatkan penerapan pembangunan kelapa sawit berkelanjutan (sustainable development).

 

Melihat pentingnya peranan, posisi Indonesia serta  prospek  kelapa sawit ke depan, Achmad Mangga Barani yang menjabat Dirjen Perkebunan  sejak tahun 2006,  mengharapkan bahwa untuk pengembangkan kelapa sawit ke depan perlu  adanya komitmen politik yang kuat dari pemerintah bersama  lembaga legislatif. Komoditas kelapa sawit hampir sama dengan beras yaitu merupakan komoditas  strategis dalam perekonomian  nasional, tambah Dirjen dihadapan ratusan peserta simposium. Diperkirakan  komposisi perkebunan kelapa sawit Indonesia  tahun 2020 pada tabel berikut :

Tabel. Perkiraan Kompososisi Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Tahun 2020

Posisi Tahun 2008

Perkiraan Tahun 2020

Bentuk Pengusahaan Luas Areal

(1.000 ha)

Persentase (%) Bentuk Pengusahaan Luas Areal (1.000 ha) Perentase (%)
Perk.Rakyat

2.903

41,42

Perk.Rakyat

4.107

45,00

Perk.Besar Negara

608

8,67

Perk.Besar Negara

912

10,00

Perk.Besar Swasta

3.497

48.64

Perk.Besar Swasta

4.107

45.00

Total

7.008

100,00

Total

9.127

100,00


Bagikan Artikel Ini  

Pengembangan Kelapa Sawit Nasional, Mewujudkan Visi Indonesia 2020.

Diposting        Oleh    ditjenbun



JAKARTA-Pengembangan kelapa sawit untuk mewujudkan Visi Indonesia 2020 adalah sebagai sumber kesejahteraan dan kemakmuran bangsa. Hal ini ditegaskan oleh Direktur Jenderal Perkebunan, Achmad Mangga Barani pada Simposium Tentang Kelapa Sawit Indonesia Menunjang Ketahanan Pangan Dunia, Selasa,(30/6) di Menara Kamar Dagang Indonesia (Kadin),Jakarta. Simposium yang dihadiri oleh pengurus dan anggota Kadin se Indonesia bertujuan untuk melihat peranan komoditas perkebunan kelapa sawit dalam rangka mewujudkan Visi Indonesia 2020.


Lebih lanjut dijelaskan oleh Achmad bahwa Indonesia saat ini merupakan negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia, dengan luas areal 7 juta ha dan produksi 19,2 juta minyak sawit (CPO). Oleh sebab itu peranan agribisnis kelapa sawit sangat penting artinya bagi bangsa ini. Tahun 2008, ekspor CPO mencapai 14,3 juta ton dengan nilai US$ 12,4 milyar. Negara juga memperoleh pendapatan dari PE  (Pungutan Ekspor) CPO,  tahun 2008 sebesar Rp 13,5 triliyun. Memberikan lapangan kerja sekitar 3,5 juta Kepala Keluarga (KK) mulai dari on-farm sampai off-farm. Disamping itu, minyak sawit merupakan sumber bahan baku industri utama di Indonesia, baik untuk kebutuhan pangan (minyak goreng) maupun untuk kebutuhan ole-chemical. Di masa depan, minyak sawit semakin penting  sebagai sumber bahan bakar nabati (bio-fuel), seiring dengan semakin langkanya bahan bakar dari fosil (BBM).

Tabel. Peran Indonesia Dalam Produksi Minyak Sawit Dunia Tahun 1993-2008

Uraian

Malaysia

Indonesia

Nigeria

Thailand

Columbia

Lainnya

Dunia

 

1993

Prod (000 ton)

7.403

3.421

645

297

324

1.716

13.806

Pangsa (%)

53,6

24,8

4,7

2,2

2,3

12,4

100

 

2000

Prod (000 ton)

10.842

7.000

740

525

524

2.196

21.827

Pangsa (%)

49,7

32,1

3,4

2,4

2,4

10,0

100

 

2007

Prod (000 ton)

15.823

17.373

835

1.020

732

2.890

38.673

Pangsa (%)

40,9

44,9

2,2

2,6

1,9

7,5

100

 

2008

Prod (000 ton)

17.735

19.200

860

1.160

800

3.149

42.904

Pangsa (%)

41,3

44,7

2,0

2,7

1,9

7,4

100

Pert  (%/th)

6,0

10,4

1,9

9,5

6,2

4,3

7,9

  Sumber : Oil World dan MPOB, diolah

Upaya Mewujudkan Visi 2020

Menurut Dirjen, pemerintah bersama stakeholder industri perkelapa sawitan telah berupaya mewujudkan Visi Perkebunan 2020 dengan  kelapa sawit sebagai sumber kesejateraan dan kemakmuran bangsa.  Arah pengembangan kelapa sawit sebagai unggulan nasional adalah melalui pengembangan industri kelapa sawit yang menghasilkan produk hulu hingga hilir serta pengembangan produk samping untuk meningkatkan nilai tambah. Pendekatannya  adalah : “Pengembangan Klaster Industri Berbasis Kelapa Sawit”.

 

Lebih lanjut Dirjen Perkebunan menjelaskan secara rinci upaya-upaya yang sudah dan akan dilakukan untuk mewujudkan Visi Perkebunan 2020 berbasis kelapa sawit yaitu : 1) Revitalisasi Perkebunan 2007-2010, 2) Intensifikasi tanaman kelapa sawit rakyat, 3) Dukungan penyediaan lahan, 4) Dukungan penyediaan benih unggul, 5) Dukungan pembangunan infrastruktur, 6) Pengembangan riset dan development, 7) Penyediaan pembiayaan, dan 8) Meningkatkan penerapan pembangunan kelapa sawit berkelanjutan (sustainable development).

 

Melihat pentingnya peranan, posisi Indonesia serta  prospek  kelapa sawit ke depan, Achmad Mangga Barani yang menjabat Dirjen Perkebunan  sejak tahun 2006,  mengharapkan bahwa untuk pengembangkan kelapa sawit ke depan perlu  adanya komitmen politik yang kuat dari pemerintah bersama  lembaga legislatif. Komoditas kelapa sawit hampir sama dengan beras yaitu merupakan komoditas  strategis dalam perekonomian  nasional, tambah Dirjen dihadapan ratusan peserta simposium. Diperkirakan  komposisi perkebunan kelapa sawit Indonesia  tahun 2020 pada tabel berikut :

Tabel. Perkiraan Kompososisi Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Tahun 2020

Posisi Tahun 2008

Perkiraan Tahun 2020

Bentuk Pengusahaan Luas Areal

(1.000 ha)

Persentase (%) Bentuk Pengusahaan Luas Areal (1.000 ha) Perentase (%)
Perk.Rakyat

2.903

41,42

Perk.Rakyat

4.107

45,00

Perk.Besar Negara

608

8,67

Perk.Besar Negara

912

10,00

Perk.Besar Swasta

3.497

48.64

Perk.Besar Swasta

4.107

45.00

Total

7.008

100,00

Total

9.127

100,00


Bagikan Artikel Ini  

Program, Kegiatan dan Fokus Kegiatan Pembangunan Perkebunan.

Diposting     Selasa, 23 Juni 2009 09:06 pm    Oleh    ditjenbun



Program Pembangunan Perkebunan

Berdasarkan hasil restrukturisasi program dan kegiatan sesuai surat edaran bersama Menteri Keuangan No.SE-1848/MK/2009 dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas No.0142/M.PPN/06/2009 tanggal 19 Juni 2009, setiap unit Eselon I mempunyai satu program yang mencerminkan nama Eselon I yang bersangkutan dan setiap unit Eselon II hanya mempunyai dan tanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan. Dengan demikian indikator kinerja unit Eselon I adalah outcome dan indikator kinerja unit Eselon II adalah output.

Berdasarkan restrukturisasi tersebut ditetapkan bahwa program pembangunan perkebunan Tahun 2010 – 2014 adalah: “Peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman perkebunan berkelanjutan”.

Program ini dimaksudkan untuk lebih meningkatkan produksi, produktivitas dan mutu tanaman perkebunan melalui rehabilitasi, intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi yang didukung oleh penyediaan benih bermutu, sarana produksi, perlindungan perkebunan dan penanganan gangguan usaha secara optimal.

Dari 127 komoditas binaan Ditjen Perkebunan, prioritas penanganan difokuskan pada 15 komoditas strategis yang menjadi unggulan nasional yaitu karet, kelapa sawit, kelapa, kakao, kopi, lada, jambu mete, teh, cengkeh, jarak pagar, kemiri sunan, tebu, kapas, tembakau, dan nilam. Sedangkan Pemda didorong untuk memfasilitasi dan melakukan pembinaan komoditas spesifik dan potensial di wilayahnya masing-masing.

Kegiatan Pembangunan Perkebunan Tahun 2013

Sebagai penjabaran dari program, masing-masing unit eselon II lingkup Ditjen. Perkebunan mempunyai satu kegiatan. Dengan demikian di lingkup Direktorat Jenderal Perkebunan terdapat sembilan kegiatan pembangunan perkebunan, yaitu:

Peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman semusim;
Peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman rempah dan penyegar;
Peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman tahunan;
Dukungan penanganan pascapanen dan pembinaan usaha;
Dukungan perlindungan perkebunan;
Dukungan manajemen dan dukungan teknis lainnya;
Dukungan pengujian, pengawasan mutu benih dan penerapan teknologi proteksi tanaman perkebunan BBP2TP Medan; Surabaya dan Ambon
Fokus Kegiatan Utama Pembangunan Perkebunan 2013

Revitalisasi perkebunan
Swasembada gula nasional
Penyediaan bahan tanaman sumber BBN/Bio-energi
Gerakan peningkatan produksi dan mutu kakao nasional
Pengembangan komoditas ekspor
Pengembangan komoditas pemenuhan konsumsi dalam negeri
Dukungan pengembangan tanaman perkebunan berkelanjutan


Bagikan Artikel Ini  

Strategi Pembangunan Perkebunan.

Diposting     Ahad/Minggu, 21 Juni 2009 09:06 pm    Oleh    ditjenbun



Strategi Umum

Untuk mencapai sasaran, mewujudkan visi, misi dan tujuan, serta mengimplementasikan kebijakan pembangunan perkebunan selama periode 2010-2014, strategi pembangunan pertanian Tahun 2010-2014 yang dikenal dengan Tujuh Gema Revitalisasi menjadi strategi umum pembangunan perkebunan Tahun 2010-2014. Komponen tujuh gema revitalisasi dan penjelasannya secara garis besar adalah sebagai berikut :

Revitalisasi lahan
Revitalisasi perbenihan
Revitalisasi infrasruktur dan sarana
Revitalisasi sumberdaya manusia
Revitalisasi pembiayaan petani
Revitalisasi kelembagaan petani
Revitalisasi teknologi dan industri hilir
Strategi khusus

Strategi umum pembangunan perkebunan Tahun 2010-2014 merupakan strategi yang mengacu pada target utama pembangunan pertanian sehingga sifatnya masih sektoral. Agar lebih sesuai dengan karakteristik khusus sub sektor perkebunan, strategi umum dimaksud diformulasikan ke dalam strategi khusus sebagai berikut:

Strategi peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu tanaman perkebunan berkelanjutan
Strategi pengembangan komoditas
Strategi peningkatan dukungan terhadap sistem ketahanan pangan
Strategi investasi usaha perkebunan
Strategi pengembangan sistem informasi manajemen perkebunan
Strategi pengembangan kelembagaan dan kemitraan usaha
Strategi pengembangan dukungan terhadap pengelolaan SDA dan lingkunan hidup


Bagikan Artikel Ini  

Arah Kebijakan Pembangunan Perkebunan.

Diposting     Sabtu, 20 Juni 2009 09:06 pm    Oleh    ditjenbun



Dengan memperhatikan arah kebijakan nasional dan pembangunan pertanian periode 2010-2014, dalam menjalankan tugas pelaksanaan pembangunan perkebunan di Indonesia, Direktorat Jenderal Perkebunan merumuskan kebijakan yang akan menjadi kerangka pembangunan perkebunan periode 2010-2014 yang dibedakan menjadi kebijakan umum dan kebijakan teknis pembangunan perkebunan Tahun 2010-2014. Kebijakan umum pembangunan perkebunan adalah: Mensinergikan seluruh sumberdaya perkebunan dalam rangka peningkatan daya saing usaha perkebunan, nilai tambah, produktivitas dan mutu produk perkebunan melalui partisipasi aktif masyarakat perkebunan, dan penerapan organisasi modern yang berlandaskan kepada ilmu pengetahuan dan teknologi serta didukung dengan tata kelola pemerintahan yang baik.

Adapun kebijakan teknis pembangunan perkebunan yang merupakan penjabaran dari kebijakan umum pembangunan perkebunan adalah: Meningkatkan produksi, produktivitas, dan mutu tanaman perkebunan berkelanjutan melalui pengembangan komoditas, SDM, kelembagaan dan kemitraan usaha, investasi usaha perkebunan sesuai kaidah pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dengan dukungan pengembangan sistem informasi manajemen perkebunan.


Bagikan Artikel Ini  

Tujuan dan Sasaran Pembangunan Perkebunan.

Diposting     Jumat, 19 Juni 2009 08:06 pm    Oleh    ditjenbun



Tujuan Pembangunan Perkebunan

Untuk dapat mendukung pencapaian agenda pembangunan nasional dan tujuan pembangunan pertanian, tujuan pembangunan perkebunan ditetapkan sebagai berikut:

Meningkatkan produksi, produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing perkebunan;
Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat perkebunan;
Meningkatkan penerimaan dan devisa negara dari subsektor perkebunan;
Mendukung penyediaan pangan di wilayah perkebunan;
Memenuhi kebutuhan konsumsi dan meningkatkan penyediaan bahan baku indutri dalam negeri;
Mendukung pengembangan bio-energi melalui peningkatkan peran subsektor perkebunan sebagai penyedia bahan bakar nabati;
Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya secara arif dan berkelanjutan serta mendorong pengembangan wilayah;
Meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia perkebunan;
Meningkatkan peran subsektor perkebunan sebagai penyedia lapangan kerja;
Meningkatkan pelayanan organisasi yang berkualitas.
Sasaran Pembangunan Perkebunan

Pertumbuhan PDB, Perkebunan 11,41 % (berdasarkan harga berlaku) dan harga konstan 3,14%
Keterlibatan tenaga kerja petani perkebunan 20,9 juta orang.
Peningkatan Pendapatan Pekebun menjadi US$1.780/KK/Thn/2 ha
Nilai Tukar Petani (NTP) 108,20
Penerimaan ekspor US $ 51,99 milyar
Kebutuhan inventasi perkebunan 62,9 triliun bersumber dari APBN 1,773 triliun (2,82%) dan sumber lain seperti APBD, perbankan dan swadaya masyarakat senilai 61,127 triliun (97,18%)


Bagikan Artikel Ini  

Dirjen Perkebunan : Konsumsi Domestik Mendorong Industri Kakao.

Diposting     Selasa, 16 Juni 2009 09:06 pm    Oleh    ditjenbun



JAKARTA-Selama ini tingkat konsumsi produk olahan kakao di Indonesia masih rendah, hanya berkisar 100 gram/kapita. Kondisi industri hilir kakao juga tidak bisa dibilang sebagai kabar baik, dari 16 pabrik hanya 5 unit yang aktif. Untuk mendorong bergairahnya industri kakao nasional perlu peningkatan konsumsi domestik hingga mencapai 1 kg/kapita. Sebagai perbandingan, masyarakat negeri jiran Malaysia mengkonsumsi produk kakao 5 kg/kapita sedangkan di Swiss malah menyentuh angka 15 kg/kapita.

Hal ini diungkapkan oleh Dirjen Perkebunan Departemen Pertanian RI, Achmad Mangga Barani, saat peresmian kafe coklat d’Cocoa di Kantin Dirjen Perkebunan, kemarin (1/6). ”Agenda besar kita meningkatkan produksi dan penetrasi ke pasar global juga perlu meningkatkan konsumsi domestik yang juga bisa mendorong pengembangan industri kakao Tanah Air,” ujar Dirjen Perkebunan.

Salah satu langkah sosialisasi komoditi kakao dan bubuk coklat sebagai produk turunan adalah tersedianya kafe coklat seperti d’Kakao ini yang diharapkan ada di tiap bandara besar seperti Sulawesi Selatan dan Padang, juga di Gedung Pusat Departemen Pertanian. ”Hal ini bukan semata-mata langkah komersil melainkan bentuk sosialisasi komoditi unggulan perkebunan kita,” katanya. Peningkatan konsumsi domestik ini menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pengusaha, petani, peneliti dan termasuk media massa.

Peningkatan produksi dan tingkat konsumsi ini juga menjadi program kerja Dewan Kakao Indonesia (Dekaindo). Target konsumsi 1 kg/kapita tersebut ditargetkan tercapai dalam waktu 5 tahun ke depan sedangkan tingkat produksi nasional diharapkan terpenuhi pada angka 5 juta ton pada tahun 2020. ”Indonesia juga menjadi satu-satunya harapan dunia untuk memasok kakao karena Afrika dan Amerika Selatan tidak bisa diharapkan lagi,” kata Wakil Ketua Dekaindo yang juga Direktur Puslitkoka Jember.

Nilai Tambah Kakao

Selama ini, nilai tambah komoditi kakao kurang dinikmati Indonesia. Kondisi ini tak jauh bergeser dari masa penjajahan Kompeni dimana kita lebih banyak mengekspor bijih kakao (bean) sedangkan peluang industri produk olahan kurang optimal dimanfaatkan. Kapasitas industri hilir kita hanya 150 ribu ton/tahun sedangkan Malaysia yang hanya memiliki luas lahan kakao 30 ribu ha mampu menghasilkan tingkat produksi hingga 300 ribu ton.

Lebih ironis lagi, Singapura yang tidak memiliki satupun batang kakao, malah mampu memproses kakao hingga 150 ribu ton/tahun. Berarti selama ini, kita tidak dapat menikmati nilai tambah dari industri hilir kakao. ”Tapi, bukan berarti kita akan menghentikan seketika ekspor bijih demi diproses di negeri sendiri. Perdagangan luar negeri tetap jalan dan pelan-pelan industri hilir kita dorong,” kata Mangga Barani.

Salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah mengundang investor asing dari negara-negara yang selama ini menjadi pasar bijih kakao seperti negara-negara Eropa dan AS. ”Kita bisa meniru langkah Ghana. Mereka memberi kesempatan pada negara-negara itu membangun industri olahan di sini sehingga tercipta lapangan kerja dan devisa,” usul Ketua Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), Piter Jasman. Menurutnya, langkah ini cukup taktis karena investor asing itulah yang juga akan melakukan negosiasi dengan pemerintah negaranya untuk mengurangi bahkan meniadakan bea tarif masuk produk olahan kakao ke negaranya.

Keunggulan Stabilitas Nasional

Dibandingkan negara lain terutama dari Afrika, Indonesia memiliki keunggulan signifikan yaitu stabilitas yang solid. ”Secara umum, peluang kita masih terbuka untuk meningkatkan produksi. Afrika sendiri terbilang tidak bisa berkembang, salah satunya karena situasi keamanan,” jelas Achmad Mangga Barani. Sedikit banyak, ini berdampak pada posisi Indonesia di tengah negara produsen kakao lainnya sehingga ranking kita telah terkoreksi. Jika sebelumnya Indonesia berada di posisi ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana, kini Indonesia naik ke posisi dua karena produksi Ghana terus merosot.

Memanfaatkan kondisi nasional yang stabil, maka upaya mempersatukan stakeholder atau pemangku kepentingan kakao menjadi agenda penting untuk terus dipertahankan. ”Berkaca pada stakeholder kelapa sawit, mewujudkan keserasian antar pemangku kepentingan memang sulit dan butuh proses tapi jika segera kita mulai, mudah-mudahan kita bisa solid,” tegas Dirjen, optimis.

Gernas kakao

Menyinggung agenda gerakan nasional peningkatan produksi dan mutu kakao (Gernas Kakao), Dirjen menggarisbawahi bahwa program berkisar pada pemulihan tanaman kakao dari serangan hama, pemulihan kebun-kebun yang kurang perawatan dan mengganti tanaman kakao karena tua dengan peremajaan. Tingkat produksi sekarang yang sekitar 500-600 kg/ha/tahun akan ditingkatkan hingga 1,2 ton/ha/tahun bahkan 4 ton/ha.

Luas lahan kakao di Indonesia mencapai 1,6 juta ha dengan penambahan lahan di Sumatera dan Jawa. ”Sampai 2 tahun ke depan, tingkat produksi akan tetap sama namun 4 tahun lagi kita optimis program peremajaan (tanaman baru) akan mulai terlihat.Sedangkan langkah ekstensifikasi dengan teknik sambung samping sudah dapat dilihat 2 tahun lagi,” terang Dirjen Perkebunan.

Menjawab permintaan Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI), Muh Hasjim yang menginginkan adanya penyuluh lapangan bagi petani, Mangga Barani menegaskan bahwa para petugas penyuluh lapangan telah aktif bekerja. ”Ini kabar terbaru dari gernas, para penyuluh telah siap mendampingi petani. Tiap 1000 ha akan ditangani oleh 4 petugas yang terdiri dari 1 sarjana pertanian lulusan Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP) Yogyakarta dan 3 petugas teknis alumni Puslitkoka Jember,” kata Dirjen.


Bagikan Artikel Ini  

Dirjen Perkebunan : Konsumsi Domestik Mendorong Industri Kakao.

Diposting        Oleh    ditjenbun



JAKARTA-Selama ini tingkat konsumsi produk olahan kakao di Indonesia masih rendah, hanya berkisar 100 gram/kapita. Kondisi industri hilir kakao juga tidak bisa dibilang sebagai kabar baik, dari 16 pabrik hanya 5 unit yang aktif. Untuk mendorong bergairahnya industri kakao nasional perlu peningkatan konsumsi domestik hingga mencapai 1 kg/kapita. Sebagai perbandingan, masyarakat negeri jiran Malaysia mengkonsumsi produk kakao 5 kg/kapita sedangkan di Swiss malah menyentuh angka 15 kg/kapita.

Hal ini diungkapkan oleh Dirjen Perkebunan Departemen Pertanian RI, Achmad Mangga Barani, saat peresmian kafe coklat d’Cocoa di Kantin Dirjen Perkebunan, kemarin (1/6). ”Agenda besar kita meningkatkan produksi dan penetrasi ke pasar global juga perlu meningkatkan konsumsi domestik yang juga bisa mendorong pengembangan industri kakao Tanah Air,” ujar Dirjen Perkebunan.

Salah satu langkah sosialisasi komoditi kakao dan bubuk coklat sebagai produk turunan adalah tersedianya kafe coklat seperti d’Kakao ini yang diharapkan ada di tiap bandara besar seperti Sulawesi Selatan dan Padang, juga di Gedung Pusat Departemen Pertanian. ”Hal ini bukan semata-mata langkah komersil melainkan bentuk sosialisasi komoditi unggulan perkebunan kita,” katanya. Peningkatan konsumsi domestik ini menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pengusaha, petani, peneliti dan termasuk media massa.

Peningkatan produksi dan tingkat konsumsi ini juga menjadi program kerja Dewan Kakao Indonesia (Dekaindo). Target konsumsi 1 kg/kapita tersebut ditargetkan tercapai dalam waktu 5 tahun ke depan sedangkan tingkat produksi nasional diharapkan terpenuhi pada angka 5 juta ton pada tahun 2020. ”Indonesia juga menjadi satu-satunya harapan dunia untuk memasok kakao karena Afrika dan Amerika Selatan tidak bisa diharapkan lagi,” kata Wakil Ketua Dekaindo yang juga Direktur Puslitkoka Jember.

Nilai Tambah Kakao

Selama ini, nilai tambah komoditi kakao kurang dinikmati Indonesia. Kondisi ini tak jauh bergeser dari masa penjajahan Kompeni dimana kita lebih banyak mengekspor bijih kakao (bean) sedangkan peluang industri produk olahan kurang optimal dimanfaatkan. Kapasitas industri hilir kita hanya 150 ribu ton/tahun sedangkan Malaysia yang hanya memiliki luas lahan kakao 30 ribu ha mampu menghasilkan tingkat produksi hingga 300 ribu ton.

Lebih ironis lagi, Singapura yang tidak memiliki satupun batang kakao, malah mampu memproses kakao hingga 150 ribu ton/tahun. Berarti selama ini, kita tidak dapat menikmati nilai tambah dari industri hilir kakao. ”Tapi, bukan berarti kita akan menghentikan seketika ekspor bijih demi diproses di negeri sendiri. Perdagangan luar negeri tetap jalan dan pelan-pelan industri hilir kita dorong,” kata Mangga Barani.

Salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah mengundang investor asing dari negara-negara yang selama ini menjadi pasar bijih kakao seperti negara-negara Eropa dan AS. ”Kita bisa meniru langkah Ghana. Mereka memberi kesempatan pada negara-negara itu membangun industri olahan di sini sehingga tercipta lapangan kerja dan devisa,” usul Ketua Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), Piter Jasman. Menurutnya, langkah ini cukup taktis karena investor asing itulah yang juga akan melakukan negosiasi dengan pemerintah negaranya untuk mengurangi bahkan meniadakan bea tarif masuk produk olahan kakao ke negaranya.

Keunggulan Stabilitas Nasional

Dibandingkan negara lain terutama dari Afrika, Indonesia memiliki keunggulan signifikan yaitu stabilitas yang solid. ”Secara umum, peluang kita masih terbuka untuk meningkatkan produksi. Afrika sendiri terbilang tidak bisa berkembang, salah satunya karena situasi keamanan,” jelas Achmad Mangga Barani. Sedikit banyak, ini berdampak pada posisi Indonesia di tengah negara produsen kakao lainnya sehingga ranking kita telah terkoreksi. Jika sebelumnya Indonesia berada di posisi ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana, kini Indonesia naik ke posisi dua karena produksi Ghana terus merosot.

Memanfaatkan kondisi nasional yang stabil, maka upaya mempersatukan stakeholder atau pemangku kepentingan kakao menjadi agenda penting untuk terus dipertahankan. ”Berkaca pada stakeholder kelapa sawit, mewujudkan keserasian antar pemangku kepentingan memang sulit dan butuh proses tapi jika segera kita mulai, mudah-mudahan kita bisa solid,” tegas Dirjen, optimis.

Gernas kakao

Menyinggung agenda gerakan nasional peningkatan produksi dan mutu kakao (Gernas Kakao), Dirjen menggarisbawahi bahwa program berkisar pada pemulihan tanaman kakao dari serangan hama, pemulihan kebun-kebun yang kurang perawatan dan mengganti tanaman kakao karena tua dengan peremajaan. Tingkat produksi sekarang yang sekitar 500-600 kg/ha/tahun akan ditingkatkan hingga 1,2 ton/ha/tahun bahkan 4 ton/ha.

Luas lahan kakao di Indonesia mencapai 1,6 juta ha dengan penambahan lahan di Sumatera dan Jawa. ”Sampai 2 tahun ke depan, tingkat produksi akan tetap sama namun 4 tahun lagi kita optimis program peremajaan (tanaman baru) akan mulai terlihat.Sedangkan langkah ekstensifikasi dengan teknik sambung samping sudah dapat dilihat 2 tahun lagi,” terang Dirjen Perkebunan.

Menjawab permintaan Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI), Muh Hasjim yang menginginkan adanya penyuluh lapangan bagi petani, Mangga Barani menegaskan bahwa para petugas penyuluh lapangan telah aktif  bekerja. ”Ini kabar terbaru dari gernas, para penyuluh telah siap mendampingi petani. Tiap 1000 ha akan ditangani oleh 4 petugas yang terdiri dari 1 sarjana pertanian lulusan Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP) Yogyakarta dan 3 petugas teknis alumni Puslitkoka Jember,” kata Dirjen.

Bagikan Artikel Ini  

Harga dan Marjin Keuntungan Merupakan Penyuluh Terbaik.

Diposting     Ahad/Minggu, 14 Juni 2009 08:06 pm    Oleh    ditjenbun



JAKARTA-Demikian pernyataan Direktur Jenderal Perkebunan Ir. Achmad Mangga Barani, MM dalam mengawali kesempatan tanya jawab dengan media pers pada acara penandatanganan MoU antara Dirjen Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka Departemen Perindustrian dengan Dirjen Perkebunan Departemen Pertanian sekaligus Launching Program Restrukturisasi Mesin Peralatan Pabrik Gula pada hari Senin tanggal 8 Juni 2009 di Kantor Departemen Perindustrian Jakarta.

Meskipun terkesan apa adanya, sederhana namun pernyataan tersebut sangat berarti dan memiliki makna hakiki yang jelas dan mengandung pesan yang mendalam, bahwa setiap program atau kegiatan yang direncanakan seyogyanya harus didasari pada pertimbangan atau analisis yang bertumpu pada pertimbangan harga dan margin yang akan diperoleh guna dapat menjadi rangsangan atau stimulus bagi pelaku usaha khususnya usaha tani dalam hal ini agribisnis pergulaan agar dapat berjalan lancar dan berkelanjutan sesuai harapan.

Penilai Independen (LPI) serta unsur-unsur pemerintah dari Departemen Pertanian dan Departemen Perindustrian sekaligus insan pers dari media cetak dan elektronik, Dijen ILMTA sempat menyampaikan bahwa Program Restrukturisasi Mesin/Peralatan Pabrik Gula sebagai bagian dari Program Revitalisasi Industri Pergulaan Nasional, adalah merupakan bagian dari usaha pemerintah untuk mendorong peningkatan penggunaan produksi dalam negeri serta menunjukan keberpihakan atas kemampuan dari industri dalam negeri yang diimplementasikan dalam bentuk pemberian keringanan pembiayaan sebesar 10% atas pembelian mesin/peralatan pabrik gula buatan dalam negeri dengan mengalokasikan anggaran dalam DIPA Departemen Perindustrian TA 2009 sebesar Rp 50 milyar. Disampaikan pula bahwa nilai Rp. 50 milyar tersebut pada hakekatnya baru didasarkan pada perkiraan kebutuhan sementara, namun tidak menutup kemungkinan untuk ditambah (revisi) mengingat untuk restrukturisasi industri tekstil alokasi yang ada mencapai Rp. 200 milyar.

Dalam DIPA Ditjen ILMTA tahun anggaran 2009, alokasi dana sebesar Rp. 50 milyar disediakan untuk membantu keringanan pembiayaan pembelian mesin/peralatan yang digunakan dan atau terkait fungsinya dalam proses produksi gula dan bukan mesin/peralatan pendukung, antara lain mesin gilingan, pemurnian, penguapan, pemasakan, puteran, crane/pengangkat, boiler, turbin, pompa-pompa, generator dan instrumentasi peralatan kelistrikan; dengan periode permohonan mulai tanggal 1 April 2009 sampai dengan 31 Agustus 2009.

Dengan telah dapat direalisasikannya program ini maka besar harapan kita semua bahwa upaya peningkatan produksi baik di bidang on farm melalui kegiatan bongkar ratoon dalam rangka mengganti/menyediakan bibit bermutu maupun di bidang off farm melalui restrukturisasi pabrik gula dapat terwujud dalam meraih dan bahkan mempercepat pencapaian swasembada gula nasional.


Bagikan Artikel Ini  

Harga dan Marjin Keuntungan Merupakan Penyuluh Terbaik.

Diposting        Oleh    ditjenbun



JAKARTA-Demikian pernyataan Direktur Jenderal Perkebunan Ir. Achmad Mangga Barani, MM dalam mengawali kesempatan tanya jawab dengan media pers pada acara penandatanganan MoU antara Dirjen Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka Departemen Perindustrian dengan Dirjen Perkebunan Departemen Pertanian sekaligus Launching Program Restrukturisasi Mesin Peralatan Pabrik Gula pada hari Senin tanggal 8 Juni 2009 di Kantor Departemen Perindustrian Jakarta.

Meskipun terkesan apa adanya, sederhana namun pernyataan tersebut sangat berarti dan memiliki makna hakiki yang jelas dan mengandung pesan yang mendalam, bahwa setiap program atau kegiatan yang direncanakan seyogyanya harus didasari pada pertimbangan atau analisis yang bertumpu pada pertimbangan harga dan margin yang akan diperoleh guna dapat menjadi rangsangan atau stimulus bagi pelaku usaha khususnya usaha tani dalam hal ini agribisnis pergulaan agar dapat berjalan lancar dan berkelanjutan sesuai harapan.

Penilai Independen (LPI) serta unsur-unsur pemerintah dari Departemen Pertanian dan Departemen Perindustrian sekaligus insan pers dari media cetak dan elektronik, Dijen ILMTA sempat menyampaikan bahwa Program Restrukturisasi Mesin/Peralatan Pabrik Gula sebagai bagian dari Program Revitalisasi Industri Pergulaan Nasional, adalah merupakan bagian dari usaha pemerintah untuk mendorong peningkatan penggunaan produksi dalam negeri serta menunjukan keberpihakan atas kemampuan dari industri dalam negeri yang diimplementasikan dalam bentuk pemberian keringanan pembiayaan sebesar 10% atas pembelian mesin/peralatan pabrik gula buatan dalam negeri dengan mengalokasikan anggaran dalam DIPA Departemen Perindustrian TA 2009 sebesar Rp 50 milyar. Disampaikan pula bahwa nilai Rp. 50 milyar tersebut pada hakekatnya baru didasarkan pada perkiraan kebutuhan sementara, namun tidak menutup kemungkinan untuk ditambah (revisi) mengingat untuk restrukturisasi industri tekstil alokasi yang ada mencapai Rp. 200 milyar.

Dalam DIPA Ditjen ILMTA tahun anggaran 2009, alokasi dana sebesar Rp. 50 milyar disediakan untuk membantu keringanan pembiayaan pembelian mesin/peralatan yang digunakan dan atau terkait fungsinya dalam proses produksi gula dan bukan mesin/peralatan pendukung, antara lain mesin gilingan, pemurnian, penguapan, pemasakan, puteran, crane/pengangkat, boiler, turbin, pompa-pompa, generator dan instrumentasi peralatan kelistrikan; dengan periode permohonan mulai tanggal 1 April 2009 sampai dengan 31 Agustus 2009.

Dengan telah dapat direalisasikannya program ini maka besar harapan kita semua bahwa upaya peningkatan produksi baik di bidang on farm melalui kegiatan bongkar ratoon dalam rangka mengganti/menyediakan bibit bermutu maupun di bidang off farm melalui restrukturisasi pabrik gula dapat terwujud dalam meraih dan bahkan mempercepat pencapaian swasembada gula nasional.

Bagikan Artikel Ini