KEMENTERIAN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

Dirjen Perkebunan : Konsumsi Domestik Mendorong Industri Kakao.

Diposting     Selasa, 16 Juni 2009 01:06 pm    Oleh    ditjenbun



JAKARTA-Selama ini tingkat konsumsi produk olahan kakao di Indonesia masih rendah, hanya berkisar 100 gram/kapita. Kondisi industri hilir kakao juga tidak bisa dibilang sebagai kabar baik, dari 16 pabrik hanya 5 unit yang aktif. Untuk mendorong bergairahnya industri kakao nasional perlu peningkatan konsumsi domestik hingga mencapai 1 kg/kapita. Sebagai perbandingan, masyarakat negeri jiran Malaysia mengkonsumsi produk kakao 5 kg/kapita sedangkan di Swiss malah menyentuh angka 15 kg/kapita.

Hal ini diungkapkan oleh Dirjen Perkebunan Departemen Pertanian RI, Achmad Mangga Barani, saat peresmian kafe coklat d’Cocoa di Kantin Dirjen Perkebunan, kemarin (1/6). ”Agenda besar kita meningkatkan produksi dan penetrasi ke pasar global juga perlu meningkatkan konsumsi domestik yang juga bisa mendorong pengembangan industri kakao Tanah Air,” ujar Dirjen Perkebunan.

Salah satu langkah sosialisasi komoditi kakao dan bubuk coklat sebagai produk turunan adalah tersedianya kafe coklat seperti d’Kakao ini yang diharapkan ada di tiap bandara besar seperti Sulawesi Selatan dan Padang, juga di Gedung Pusat Departemen Pertanian. ”Hal ini bukan semata-mata langkah komersil melainkan bentuk sosialisasi komoditi unggulan perkebunan kita,” katanya. Peningkatan konsumsi domestik ini menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pengusaha, petani, peneliti dan termasuk media massa.

Peningkatan produksi dan tingkat konsumsi ini juga menjadi program kerja Dewan Kakao Indonesia (Dekaindo). Target konsumsi 1 kg/kapita tersebut ditargetkan tercapai dalam waktu 5 tahun ke depan sedangkan tingkat produksi nasional diharapkan terpenuhi pada angka 5 juta ton pada tahun 2020. ”Indonesia juga menjadi satu-satunya harapan dunia untuk memasok kakao karena Afrika dan Amerika Selatan tidak bisa diharapkan lagi,” kata Wakil Ketua Dekaindo yang juga Direktur Puslitkoka Jember.

Nilai Tambah Kakao

Selama ini, nilai tambah komoditi kakao kurang dinikmati Indonesia. Kondisi ini tak jauh bergeser dari masa penjajahan Kompeni dimana kita lebih banyak mengekspor bijih kakao (bean) sedangkan peluang industri produk olahan kurang optimal dimanfaatkan. Kapasitas industri hilir kita hanya 150 ribu ton/tahun sedangkan Malaysia yang hanya memiliki luas lahan kakao 30 ribu ha mampu menghasilkan tingkat produksi hingga 300 ribu ton.

Lebih ironis lagi, Singapura yang tidak memiliki satupun batang kakao, malah mampu memproses kakao hingga 150 ribu ton/tahun. Berarti selama ini, kita tidak dapat menikmati nilai tambah dari industri hilir kakao. ”Tapi, bukan berarti kita akan menghentikan seketika ekspor bijih demi diproses di negeri sendiri. Perdagangan luar negeri tetap jalan dan pelan-pelan industri hilir kita dorong,” kata Mangga Barani.

Salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah mengundang investor asing dari negara-negara yang selama ini menjadi pasar bijih kakao seperti negara-negara Eropa dan AS. ”Kita bisa meniru langkah Ghana. Mereka memberi kesempatan pada negara-negara itu membangun industri olahan di sini sehingga tercipta lapangan kerja dan devisa,” usul Ketua Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), Piter Jasman. Menurutnya, langkah ini cukup taktis karena investor asing itulah yang juga akan melakukan negosiasi dengan pemerintah negaranya untuk mengurangi bahkan meniadakan bea tarif masuk produk olahan kakao ke negaranya.

Keunggulan Stabilitas Nasional

Dibandingkan negara lain terutama dari Afrika, Indonesia memiliki keunggulan signifikan yaitu stabilitas yang solid. ”Secara umum, peluang kita masih terbuka untuk meningkatkan produksi. Afrika sendiri terbilang tidak bisa berkembang, salah satunya karena situasi keamanan,” jelas Achmad Mangga Barani. Sedikit banyak, ini berdampak pada posisi Indonesia di tengah negara produsen kakao lainnya sehingga ranking kita telah terkoreksi. Jika sebelumnya Indonesia berada di posisi ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana, kini Indonesia naik ke posisi dua karena produksi Ghana terus merosot.

Memanfaatkan kondisi nasional yang stabil, maka upaya mempersatukan stakeholder atau pemangku kepentingan kakao menjadi agenda penting untuk terus dipertahankan. ”Berkaca pada stakeholder kelapa sawit, mewujudkan keserasian antar pemangku kepentingan memang sulit dan butuh proses tapi jika segera kita mulai, mudah-mudahan kita bisa solid,” tegas Dirjen, optimis.

Gernas kakao

Menyinggung agenda gerakan nasional peningkatan produksi dan mutu kakao (Gernas Kakao), Dirjen menggarisbawahi bahwa program berkisar pada pemulihan tanaman kakao dari serangan hama, pemulihan kebun-kebun yang kurang perawatan dan mengganti tanaman kakao karena tua dengan peremajaan. Tingkat produksi sekarang yang sekitar 500-600 kg/ha/tahun akan ditingkatkan hingga 1,2 ton/ha/tahun bahkan 4 ton/ha.

Luas lahan kakao di Indonesia mencapai 1,6 juta ha dengan penambahan lahan di Sumatera dan Jawa. ”Sampai 2 tahun ke depan, tingkat produksi akan tetap sama namun 4 tahun lagi kita optimis program peremajaan (tanaman baru) akan mulai terlihat.Sedangkan langkah ekstensifikasi dengan teknik sambung samping sudah dapat dilihat 2 tahun lagi,” terang Dirjen Perkebunan.

Menjawab permintaan Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI), Muh Hasjim yang menginginkan adanya penyuluh lapangan bagi petani, Mangga Barani menegaskan bahwa para petugas penyuluh lapangan telah aktif  bekerja. ”Ini kabar terbaru dari gernas, para penyuluh telah siap mendampingi petani. Tiap 1000 ha akan ditangani oleh 4 petugas yang terdiri dari 1 sarjana pertanian lulusan Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP) Yogyakarta dan 3 petugas teknis alumni Puslitkoka Jember,” kata Dirjen.

Bagikan Artikel Ini