KEMENTERIAN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

Sertifikasi Benih Di Tengah Pandemi

Diposting     Kamis, 02 Juli 2020 10:07 am    Oleh    ditjenbun



Pandemi Covid-19 tidak semata-mata berdampak pada sektor kesehatan, tetapi juga sosial ekonomi masyarakat. Di sektor pertanian, khususnya subsektor perkebunan pandemi ini berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi terhadap pelaku usaha termasuk usaha perbenihan. Benih perkebunan sebelum diedarkan (diperjualbelikan) harus melewati proses sertifikasi benih. Proses ini merupakan serangkaian kegiatan penerbitan sertifikat terhadap benih yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi yaitu UPT Pusat/UPTD yang mempunyai tugas dan fungsi sertifikasi dan pengawasan benih, melalui pemeriksaan lapangan, pengujian laboratorium dan pengawasan serta memenuhi persyaratan untuk diedarkan. Hal ini mengharuskan seorang Pengawas Benih Tanaman (PBT) turun ke lapangan untuk melaksanakan sertifikasi benih.

Dengan adanya pandemi ini yang dibarengi dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) praktis sertifikator dalam hal ini PBT tidak dapat secara langsung ke lapangan untuk melakukan pemeriksaan, apalagi di beberapa daerah pemerintah setempat mengeluarkan aturan yang melarang sementara para ASN untuk melakukan perjalanan dinas.

Pelayanan sertifikasi benih harus tetap berjalan, Pandemi Covid-19 tidak boleh menjadi sebab terhambatnya layanan kepada masyarakat (pemohon sertifikasi), justru pandemi ini bisa dijadikan momentum reformasi pada subsektor perkebunan, lebih khusus lagi bidang perbenihan perkebunan. Dibutuhkan lebih banyak inovasi dan terobosan untuk memastikan roda kegiatan lapangan tetap berjalan. Sertifikasi bisa terlaksana dan benih dapat disalurkan.

Teknologi informasi digital saat ini cukup memungkinkan dilakukannya sertifikasi benih secara online (jarak jauh). Perkembangan teknologi informasi dan komputer yang sangat cepat mempengaruhi cara pandang orang terhadap teknologi perkebunan secara keseluruhan. Beberapa hal yang dulunya dilakukan secara manual dan memakan waktu lama didorong untuk lebih cepat dan dilakukan secara otomatis atau digital. Teknologi geotagging saat ini dianggap mampu untuk membantu sebagai sarana untuk dilakukannya sertifikasi secara online.

Geotagging adalah sebuah proses untuk menambahkan konten identifikasi geografis. Proses geotagging berasal dari GPS yaitu dengan menambahkan konten-konten media berupa koordinat latitude, longitude, jarak dan nama lokasi. Sehingga saat dilakukan sertifikasi benih jarak jauh, pemohon atau petugas di lapangan dapat melakukan pemeriksaan benih di lokasi berdasarkan panduan dari sertifikator yang berada di tempat yang berbeda. Pada saat pengambilan foto atau video, petugas lapang menggunakan open camera (timestamp camera) sehingga akan dimunculkan waktu, tanggal, tempat/lokasi hingga desa/kelurahan (dengan titik koordinat) dan keterangan lainnya sehingga mendukung keabsahan pemeriksaan.

Pemeriksaan benih di lapangan mencakup beberapa kriteria yang terdapat dalam standar teknis pemeriksaan, yang secara umum seperti tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, warna daun, dan kesehatan benih. Pemeriksaaan beberapa kriteria tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan aplikasi video call, zoom meeting, atau skype. Aplikasi tersebut saat ini sudah sangat familiar bagi hampir kebanyakan orang. Benih-benih dalam bendengan atau penangkaran diperiksa oleh petugas lapang atas instruksi atau arahan secara online dari PBT. Beberapa sampel tanaman yang diukur/diperiksa ditunjukkan secara langsung melalui video tersebut. Data-data hasil pemeriksaan yang telah dicatat dan direkap oleh petugas lapang diserahkan kepada institusi sertifikator sebagai eviden (bukti) untuk dilakukan verifikasi, analisis, dan evaluasi. Hasil evaluasi inilah yang menjadi salah satu dasar diterbitkannya Sertifikat mutu Benih.

Pemeriksaan benih di lapangan yang ‘tidak biasa’ ini, memunculkan pertanyaan apakah hasil ini memiliki tingkat kepercayaan yang memadai terhadap hasil pemeriksaan yang dituangkan dalam sertifikat mutu benih yang dikeluarkan institusi sertifikasi. Hal ini harus dijawab oleh pemerintah melalui regulasi sehingga data-data dan informasi berupa foto, video dan dokumen lainnya yang dijadikan bukti bisa menjadi jaminan mutu benih serta legalitas benih tersebut.

Beberapa hal yang mesti diatur terkait hal tersebut antara lain :

  • Surat pernyataan (di atas materai) dari pemohon (produsen benih) terkait penyampaian data secara jujur sesuai kondisi yang ada dan bertanggungjawab terhadap keragaan benih di kemudian hari dan bersedia mengganti kerugian terhadap benih yang tidak sesuai standar.
  • Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) benih di lapangan dapat diberikan keterangan tambahan bahwa pemeriksaan ini dilakukan secara daring (online) dan pernyataan tambahan terkait dimungkinkannya pemeriksaan langsung dalam rangka validasi kebenaran proses pemeriksaan.
  • LHP tidak hanya ditandatangani oleh PBT dan pemohon tapi perlu diketahui dan dikuatkan dengan keterlibatan pimpinan insitusi sertifikasi.
  • Sertifikat yang merupakan ‘produk akhir’ dari kegiatan sertifikasi benih harus diberikan penciri/penanda khusus sehingga jika terjadi ketidaksesuaian hasil yang memerlukan klarifikasi atau semacam validasi, maka dapat dengan mudah ditelusur bahkan sertifikat tersebut bisa dibatalkan.
  • Proses pelabelan benih sebagai kegiatan setelah sertifikasi dapat juga mengadopsi prosedur pemeriksaan benih di lapangan karena sejatinya pelabelan harus juga disaksikan oleh PBT.

Teknologi bukanlah tanpa kelemahan, oleh karena itu untuk menjamin keabsahan dari pemeriksaan, perlu pendampingan yang dilakukan kapan pun dan di mana pun. Untuk itu, sektor usaha perbenihan perkebunan dan pemerintah perlu beradaptasi dengan perubahan ini. Meminimalisir resiko kerugian ekonomi terhadap pelaku usaha dan tetap berjalannya program pemerintah. Kita harus bisa menciptakan efisiensi rantai pemeriksaan benih perkebunan dengan tetap menjamin mutu dan legalitas benih. (M. Subhi)


Bagikan Artikel Ini