KEMENTERIAN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

Potensi Predasi Eucanthecona furcellata sebagai Pengendali Hayati UPDKS di Perkebunan Kelapa Sawit

Diposting     Kamis, 18 Agustus 2022 02:08 pm    Oleh    perlindungan



Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang berperan penting dalam peningkatan perekonomian Indonesia karena permintaan pasar dunia yang semakin tinggi. Saat ini Indonesia menduduki peringkat ke-1 sebagai produsen kelapa sawit dunia dengan luas areal pada tahun 2019 mencapai 14.456.611 ha. Sebagian besar kelapa sawit di Indonesia diusahakan oleh perusahaan besar swasta (PBS) yaitu sebesar 54,94 % atau seluas 7.942.335 ha dan perusahaan besar negara (PBN) sebesar 4,27 % atau 617.501 ha. Perkebunan rakyat (PR) menempati posisi ke-2 dalam kontribusinya terhadap total luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia yaitu seluas 5.896.755 ha atau 40,79 %. Perkebunan kelapa sawit tersebar di 26 provinsi di Indonesia dimana Pulau Sumatera memiliki luas lahan perkebunan kelapa sawit terbesar hingga mencapai 7.944.520 ha disusul oleh Pulau Kalimantan dengan luasan sebesar 5.820.406 ha.

Ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunannya sepanjang tahun 2019 mencapai 36,17 juta ton disusul dengan negara-negara Timur Tengah, seperti: India dan Pakistan. Nilai ekspor kelapa sawit Indonesia dalam wujud CPO dan turunannya cenderung fluktuatif dari tahun ke tahun selama tahun 2010-2019 dengan laju penurunan rata-rata sebesar 1,57% per tahun. Rata-rata harga CPO sepanjang tahun 2019 sebesar Rp 6.500 per kg. Hal ini dikarenakan banyak hambatan dalam budidaya kelapa sawit, yaitu serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT), salah satunya adalah hama. Serangan hama menyebabkan kerusakan pada tanaman hingga berdampak pada penurunan produksi kelapa sawit. Serangan ulat pemakan daun kelapa sawit (UPDKS), seperti: ulat api Setothosea asigna Eecke dan ulat kantung Mahasena corbetti Tams menyebabkan kehilangan hasil yang signifikan (Cendramadi, 2011). Serangan ulat api S. asigna dan ulat kantung M. corbetti tersebut menurunkan produksi sebesar 69 % pada tahun pertama dan bertambah hingga 96 % setelah tahun kedua (Simanjuntak et al., 2011). Serangan hama kelapa sawit dimulai dari pembenihan hingga tanaman menghasilkan dan pada serangan lebih lanjut menyebabkan kematian tanaman (Corley dan Tinker, 2003).

Gambar 1. (a) Ulat api S. asigna dan (b) ulat kantung M. corbetti

Teknik pengendalian yang umum dilakukan dalam mengatasi permasalahan tersebut dengan menggunakan insektisida kimia sintetik. Namun biaya untuk pengendalian ulat api S. asigna dan ulat kantung M. corbetti dapat mencapai Rp 20,67 juta per ha. Selain secara ekonomi berbiaya tinggi, pemanfaatan pestisida dapat menurunkan daya saing produk olahan kelapa sawit. Hal ini disebabkan oleh semakin meningkatnya kesadaran konsumen akan kesehatan, selain itu dari aspek ekologi, pestisida menimbulkan efek samping yang merugikan, antara lain: resurgensi, resistensi organisme bukan sasaran dan pencemaran terhadap lingkungan (Perangin-angin, 2009). Berkaitan dengan hal tersebut, maka diperlukan teknik pengendalian hayati yang ramah lingkungan dan berkesinambungan, salah satunya dengan memaksimalkan peran predator atau pemangsa (Kiswanto et al., 2008). Predator tersebut dapat mengurangi populasi hama yang menyerang tanaman kelapa sawit. Pada perkebunan kelapa sawit keberadaan predator sangat rendah, salah satunya akibat terbunuh oleh pestisida kimiawi.

Salah satu predator hama ulat api S. asigna dan ulat kantung Mahasena corbetti adalah kepik predator Eucanthecona furcellata Wolff. dari famili Limacodidae (Susanto, 2012). Kepik Eucanthecona furcellata merupakan predator yang baik untuk dikembangkan menjadi sarana pengendalian hayati terhadap UPDKS khususnya ulat api S. nitens dan ulat kantung M. corbetti. Kemampuan Eucanthecona furcellata dalam memangsa ulat api di lapangan dengan siklus hidupnya yang pendek dan kemampuan reproduksi yang tinggi membuat predator Eucanthecona furcellata sangat potensial untuk diaplikasikan dalam pengendalian hama ulat api. Eucanthecona furcellata memangsa ulat api S. nitens dan ulat kantung M. corbetti dengan cara menusuk dan menghisap cairan ulat api. Pelepasan imago Eucanthecona furcellata di lapangan sebanyak 3-4 ekor per tanaman kelapa sawit dalam keadaan padat populasi ulat api S. asigna, yaitu 3-6 ekor per pelepah akan menjaga populasi hama berada di bawah ambang populasi ekonomi (Sipayung dkk., 1991).

Gambar 2. E. furcellata memangsa ulat api

Biologi Eucanthecona furcellata

Eucanthecona furcellata merupakan predator yang baik untuk dikembangkan menjadi sarana pengendalian hayati ulat perusak daun kelapa sawit khususnya ulat api. Hal ini mengingat siklus hidup Eucanthecona furcellata yang pendek, kemampuan berbiaknya tinggi, lama hidup imago yang Panjang (sekitar 2 bulan) serta kemampuan meletakkan telur pada helaian daun kelapa sawit, sehingga memungkinkan baik nimfa maupun imagonya hidup pada tajuk daun kelapa sawit dan aktif memangsa ulat api (Desmeis de Chenon, 1989; Sipayung dkk., 1991).

Fase Telur

Eucanthecona furcellata meletakkan telur dalam kelompok sebanyak 9 – 74 butir telur dan jumlah telur per kelompok berbeda tergantung kepada spesiesnya. Eucanthecona furcellata merupakan spesies yang paling tinggi kemampuan reproduksinya. Betina bertelur rata-rata 2-4 kali dalam waktu 23 hari. Bagian samping telur berwarna hitam dengan bagian atasnya lebih bersih dan bercahaya, kecuali pada bagian tengahnya. Ukuran tinggi telur 1,02 mm dan lebar 0,88 mm (Sipayung dkk., 1991).

Gambar 3. Telur E. furcellata

Fase Nimfa

Nimfa Eucanthecona furcellata berwarna hitam pada bagian kepala dan kaki, abdomen jingga sampai kemerahan dengan garis putus-putus pada tepi dan tengah dari abdomennya. Dari stadia nimfa hingga dewasa mengalami 5 kali pergantian kulit. Perkembangan Eucanthecona furcellata dengan menggunakan ulat api S. nitens sebagai mangsa memerlukan waktu sekitar 4 minggu dari telur sampai imago dan jika diberi makan dengan S. asigna maka siklus hidup berkisar antara 44 – 76 hari (Desmier de Chenon, 1989). Nimfa instar satu yang baru menetas belum mau makan, nimfa instar dua mulai memakan hama ulat api pada daun kelapa sawit begitu juga instar tiga, empat, lima sampai imago (Sipayung dkk., 1991).

Gambar 4. Nimfa E. furcellata

Fase Imago

Imago Eucanthecona furcellata memiliki tiga pasang tungkai, tungkai berwarna hitam coklat, dan terdapat warna putih pada ruas femur. Warna tubuh didominasi coklat tua. Pada bagian dorsal terdapat totol berwarna putih yang membentuk pola segitiga. Bentuk tubuh pipih membulat, bagian bawah tubuh berwarna coklat muda dan terdapat garis memanjang bagian anterior dan posterior. Imago Eucanthecona furcellata jantan memiliki panjang 11,30 mm dan lebar 5,36 mm. Sedangkan imago betina sedikit lebih besar dengan panjang 14,65 mm dan lebar 6,86 mm.

Gambar 5. Imago E. furcellata

Dalam upaya mengendalikan UPDKS perlu dilakukan pembiakan secara massal Eucanthecona furcellata dengan mudah, dalam jumlah besar, dalam waktu cepat dan murah biayanya. Hal ini dapat dilakukan dengan memperbanyak Eucanthecona furcellata dalam insektarium, yaitu kotak dari kasa yang di dalamnya diletakkan bibit kelapa sawit yang kemudian dilepaskan satu pasang atau beberapa pasang Eucanthecona furcellata. Setiap hari Eucathecona furcellata diberi makan berupa ulat api yang hidup bahkan yang sudah mati. Sipaung (1990) mengungkapkan 14 ekor ulat S. asigna stadia 6-7 cukup untuk 100 ekor nimfa Eucanthecona furcellata per hari.

Gambar 6. (a) Insektarium dan (b) Antigonon leptopus

Dalam pelepasan predator Eucanthecona furcellata di lapangan lebih baik melepaskan nimfa instar terakhir dan imago. Nimfa dan imago tersebut dapat lebih lama tinggal pada tanaman kelapa sawit. Pelepasan predator lebih efektif ketika populasi larva UPDKS rendah (Desmier de Chenon et al., 1990). Pelepasan sejumlah besar predator secara periodik merupakan salah satu teknik pemanfaatan predator untuk mengendalikan UPDKS. Dalam jangka pendek, tindakan ini diharapkan akan dapat menekan populasi hama sasaran secara langsung. Sedangkan dalam jangka panjang, diharapkan dapat menggeser keseimbangan alami ke arah yang lebih menguntungkan sehingga ledakan populasi hama berikutnya dapat dicegah (Prawirosukarto dkk., 1991). Selain itu, untuk memperbanyak dan mempertahankan populasi predator di perkebunan kelapa sawit dapat dilakukan dengan mengurangi penggunaan insektisida kimia maupun herbisida dalam mengendalikan gulma sebagai sumber makanan bagi imago parasitoid. Media hidup dan tempat berlindung bagi predator Eucanthecona furcellata yaitu tanaman Antigonon leptopus atau yang biasa dikenal dengan bunga air mata pengantin.

Selain itu, untuk memperbanyak dan mempertahankan populasi predator di perkebunan kelapa sawit dapat dilakukan dengan mengurangi penggunaan insektisida kimia maupun herbisida dalam mengendalikan gulma sebagai sumber makanan bagi imago parasitoid. Media hidup dan tempat berlindung bagi predator Eucanthecona furcellata yaitu tanaman Antigonon leptopus atau yang biasa dikenal dengan bunga air mata pengantin.

Penulis: Yuni Astuti dan Ratri Wibawanti

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2018. Predator Ulat Api “Ëucanthecona furcellata”. Dikutip dari: https://membangunperkebunankelapasawit.blogspot.com/2018/05/predator-ulat-api-eocanthecona.html, diakses pada tanggal 9 Agustus 2022.

Diratika M, Yaherwandi dan Siska E. 2020. Kelimpahan Kepik Predator (Hemiptera: Reduviidae) Ulat Api pada Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat. Universitas Andalas. Padang. Dikutip dari Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol. 20 (1): 1-10 (https://www.jurnal.polinela.ac.id/JPPT), diakses pada tanggal 2 Agustus 2022.

Direktorat Perlindungan Perkebunan. 2013. Arti Penting OPT dalam Produksi Kelapa Sawit di Indonesia. Direktorat Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Kelompok Peneliti Proteksi Tanaman. 2020. Kunci Sukses Pengendalian Hama UPDKS di Perkebunan Kelapa Sawit. PPKS. Medan. Bahan Tayang disampaikan pada webinar tanggal 25 September 2020. Sekretariat Direktorat Jenderal Perkebunan. 2020. Statistik Perkebunan Unggulan Nasional 2019 – 2021. Direktorat Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian. Jakarta.


Bagikan Artikel Ini