KEMENTERIAN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

Kopi Excelsa, Potensi kopi Specialty baru.

Diposting     Senin, 28 Mei 2012 10:05 pm    Oleh    ditjenbun



Sumber daya hayati yang melimpah didukung kondisi geografis spesific dan agro-ekosistem yang optimal serta kearifan lokal yang dimiliki, telah menghasilkan produk-produk specialty yang mempunyai cita rasa dan aroma yang khas dan diminati dunia antara lain kopi specialty. Dewasa ini kopi specialty yang telah mendunia antara lain :Gayo Coffee, Mandheling Coffee,Toraja Coffee, Bali Kintamani Coffee, Flores Bajawa Coffee dan Baliem Coffee.

Satu lagi yang berpotensi besar menjadi kopi specialty adalah kopi excelsa atau excelsa coffee yang saat ini sedang dalam kajian peneliti puslit koka untuk diajukan pelepasan varietasnya. Kopi jenis ini tidak termasuk kedalam kelompok arabika dan robusta akan tetapi masuk kelompok liberoid. Asal mula kopi excelsa ditemukan secara historis di daerah afrika Barat tahun 1905 kemudian menyebar ke daerah melayu dan menurut petani di daerah betara, Tanjung jabung barat excelsa sudah ditanam tahun 1960 di daerah ini.

Keunggulan kopi excelsa.

Kopiexcelsa mempunyai cita rasa dan aroma yang dikategorikan kuat dan dominan pahit. Beberapa peneliti luar negeri juga mulai tertarik kopi excelsaindonesia. Beberapa keunggulan kopi excelsa antara lain : mempunyai fisik yanglebih besar dari kopi arabika maupun robusta dan cenderung berbuah sepanjangtahun, mudah dibudidayakan, dan relatif tahan terhadap hama dan penyakit.Keunggulan lainya adalah dapat ditanam di lahan gambut yang memilikikesuburan rendah yang tidak dapat ditanami baik kopi arabika maupun robusta.Dalam 3,5 tahun, tanaman kopi excelsa telah mampu menghasilkan produksi sekitar 1,2 ton per ha.

Produksi dan pasar.

Daerah sentra kopi excels adalah provinsi jambi kabupaten tanjung Jabung barat dengan areal seluas2.540 ha, produksi 1.104 ton dan melibatkan 2.247 KK petani. Hasil kopi excels sebagian diekspor keMalaysia yang kemudian dicampur dengan kopi excelsa Malaysia yang selanjutnya di ekspor kembalike Eropa dan negara lainnya. Harga kopi excelsa meskipun dibawah kopi arabika namun diatas harga kopi robusta di wilayah ini yaituRp. 28.000/kg kering ditingkat petani.Selain di jambi sebagai sentra, excelsa juga terdapat di lahan gambut pulang pisau kalimantan tengah.

Potensi dari kopi excels ini cukup besar dan masih banyak untuk dikembangkan karenapengelolaannya saat ini belum optimal antara lain baru sebagian panen dengan melakukan petik buahmerah.

Apabila akan dilakukan petik buah merah kualitas dapat ditingkatkan. Pengolahan masih dilakukanpengolahan kering yang seharusnya dilakukan pengolahan basah apabila dilakukan pengolahanbasah, kualitas dapat ditingkatkan dan berpotensi besar organik.


Bagikan Artikel Ini  

Ekstrak Bengkuang, Pestisida Nabati untuk Mengendalikan Spodoptera litura Fab.

Diposting     Jumat, 18 Mei 2012 10:05 pm    Oleh    ditjenbun



Bengkuang (Pachyrrhyzus erosus Urban), yang kita kenal sebagai makanan pelengkap rujakan atau asinan, ternyata dapat sebagai pestisida nabati. Selain ekstrak daun dan bijinya yang mengandung senyawa kimia beracun “derrid”, penambahan ekstrak umbi bengkuang pada suspensi SlNPV pada berbagai konsentrasi dapat meningkatkan keefektifan Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) dalam membunuh ulat grayak.
Informasi ini sangat berguna dalam teknologi pengendalian ulat grayak (Spodoptera litura) yang merupakan salah satu hama utama pemakan daun pada tanaman tembakau di Indonesia dan dapat menurunkan produksi hingga mencapai 85%. Sebagian besar petani masih mengandalkan penggunaan insektisida kimia dalam pengendaliannya, kondisi ini dikhawatirkan dapat menimbulkan resistensi hama dan terbunuhnya musuh-musuh alami serta menimbulkan residu yang dapat menurunkan kualitas hasil.

Cara pengendalian hama yang lebih efektif, murah dan ramah lingkungan dengan menggunakan insektisida nabati merupakan alternatif yang perlu dikembangkan, misalnya dengan penggunaan insektisida nabati. Kelebihan dari insektisida nabati antara lain: degradasi/penguraian yang cepat oleh sinar matahari; memiliki pengaruh yang cepat dalam menghentikan nafsu makan serangga walaupun jarang menyebabkan kematian; toksisitasnya umumnya rendah terhadap hewan dan relatif lebih aman pada manusia dan lingkungan; memiliki spektrum pengendalian yang luas (broad spectrum); tidak bersifat phitotoksisitas; tidak meracuni dan merusak tanaman; murah dan dapat di buat oleh petani.

Daun dan biji mengandung senyawa kimia yang beracun “derrid”, tetapi daun kurang beracun daripada bijinya.  Cara kerjanya bersifat racun mulut yang mengandung senyawa bioaktif alkolid dan pachyrrhizid yang dapat mengikat Ndalam tanah (Soelaksono dkk, 1994).

Menurut Askitosari dkk (2006) bahwa ekstrak biji bengkuang cukup efektif digunakan untuk mengendalikan larva ulat S. litura, terutama pada larva instar II. Ekstrak biji bengkuang pada konsentrasi 20 mg/ml, mampu membunuh larva ulat grayak instar II sampai 93,33%, sedangkan konsentrasi lebih atau sama dengan 40 mg/ml mampu membunuh 100% larva ulat grayak instar II.

Selain itu, ekstrak umbi bengkuang bisa digunakan sebagai UV protektan bagi Spodoptera lituraNuclear Polyhedrosis Virus (SlNPV).   Penambahan 10% ekstrak bengkuang pada suspensi SlNPV pada berbagai konsentrasi mampu menjaga keefektifan NPV, dengan rata-rata mortalitas larva S. litura sebesar 93,61% (Daniati, 2010).

Mengenal bengkuang

Tanaman bengkuang termasuk dalam famili Leguminosae, tanaman ini berasal dari Meksiko dan Amerika Tengah bagian Utara. Umbi (cormus) putihnya bisa dimakan sebagai komponen rujak dan asinan atau dijadikan masker untuk menyegarkan wajah dan memutihkan kulit. Tumbuhan ini termasuk dalam suku polong-polongan. Di tempat asalnya, tumbuhan ini dikenal sebagai xicama atau jícama. Orang Jawa menyebutnya sebagai besusu (Dasanovi, 2011).

Bengkuang dapat tumbuh pada dataran rendah sampai dataran tinggi (1-1000 m dpl). Bengkuang merupakan tumbuhan semak semusim yang tumbuh membelit. Batang bulat, berambut dan berwarna hijau.  Daun tunggal, bulat, tepi rata, ujung runcing, pangkal tumpul, tulang daun menyirip, permukaan berbulu, panjang 7-10 cm, lebar 5-9 cm, berwarna hijau.  Bunga majemuk, bentuk tandan, letak di ketiak daun, tiap tangkai terdiri atas 2-4 kuntum, berwarna ungu kebiruan. Buah polong berbentuk pipih dan berwarna hijau. Biji keras, bentuk ginjal, berwarna kuning kotor.  Akar tunggang berumbi. Perbanyakan tanaman dengan biji (Urip, 2010).

Ekstraksi dan aplikasi

Pada umumnya, teknik yang sederhana untuk menghasilkan bahan pestisida nabati yaitu: penggerusan, penumbukan, pembakaran/pengepresan untuk menghasilkan produk berupa tepung, abu, atau pasta; perendaman untuk produk ekstrak; ekstraksi penggunaan bahan kimia pelarut disertai perlakuan khusus untuk menghasilkan produk berupa ekstrak yang dikerjakan dengan tenaga terampil dan peralatan khusus.

Ekstraksi sederhana yang mudah dibuat oleh petani yaitu biji , daun atau umbi bengkuang dicuci, ditumbuk, kemudian ekstraknya diencerkan dengan  air aquades  dengan konsentrasi 25 – 100 gr / ltr air.  Selain aquades, alkohol (etanol) dan petrolium eter dapat digunakan sebagai pelarut. Aplikasi dilakukan dengan cara penyemprotan ke bagian tanaman.


Bagikan Artikel Ini  

Burung Hantu, Predator Tikus di Areal Tanaman Perkebunan.

Diposting     Jumat, 04 Mei 2012 10:05 pm    Oleh    ditjenbun



Tikus merupakan salah satu hama utama yang dapat menimbulkan kerusakan pada tanaman kelapa sawit dan tebu di Indonesia.  Pada kelapa sawit, bagian yang dirusak adalah pelepah sampai titik tumbuh pada tanaman muda, bunga dan buah pada tanaman yang menghasilkan. Pada  tanaman tebu muda, tikus merusak batang tebu sehingga daun menjadi layu.  Pada tanaman tebu tua, tikus merusak pangkal batang di dalam tanah, batang di atas permukaan tanah, dan pucuk tebu.  Spesies tikus yang sering dijumpai pada tanaman perkebunan adalah tikus belukar (Rattus tiomanicus), tikus ladang (Rattus exulans), tikus sawah (Rattus argentiventer) dan tikus rumah (Rattus rattus diardii).

Pada kelapa sawit, seekor tikus belukar dapat menghabiskan sekitar 6 sampai 14 gram daging buah per hari dan membawa brondolan (buah lepas matang) ke dalam tumpukan pelepah sebanyak 30 sampai 40 kali lipat dari konsumsinya.  Jika populasi tikus dalam 1 hektar berkisar antara 183–537 ekor dan berfluktuasi sangat lambat, maka dapat ditaksir menyebabkan kehilangan minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) minimal antara 828–962 kg/ha/tahun, tidak termasuk brondolan.   Selain itu, tandan buah yang luka akibat keratan tikus dapat memacu peningkatan asam lemak bebas pada minyak sawit.   Pada daerah pengembangan baru perkebunan kelapa sawit dapat menimbulkan kematian tanaman muda hingga mencapai 20–30% (Sipayung dkk, 1996).

Pada tebu, serangan tikus umumnya terjadi pada musim kemarau panjang.  Tikus memiliki daya rusak yang besar karena merusak tanaman dalam waktu yang singkat, yaitu merusak berbagai stadia tanaman, mampu bereaksi atau merespon terhadap setiap tindakan pengendalian, mempunyai mobilitas yang tinggi dan menimbulkan  kehilangan hasil dalam jumlah yang besar walaupun hanya dilakukan oleh beberapa ekor tikus saja. Eksplosi tikus di Indonesia dilaporkan pada tahun 1962/1963 yang menimbulkan kerusakan tanaman tebu seluas 70.000 hektar sehingga mengakibatkan penurunan rendeman gula nasional (Direktorat Bina Perlintan, 1994).  Akhir-akhir ini serangan tikus terjadi pada pertanaman tebu di Kabupaten Cirebon seluas 168,3 hektar, dari total luasan pertanaman tebu sekitar 9.150 hektar.

Pada umumnya pengendalian serangan tikus di perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan menggunakan racun tikus (rodentisida). Namun cara ini banyak memiliki kelemahan yaitu dapat menimbulkan pencemaran bahan kimia beracun terhadap lingkungan (air, tanah dan udara);  menimbulkan bau bangkai tikus disekitar kebun; menimbulkan jera  umpanterhadap tikus; dan membutuhkan pengawasan yang ketat terhadap penyebaran umpan dan pengamatan terhadap umpanyang dimakan oleh tikus pada tiga hari setelah perlakuan. Pada tebu, selain penggunaan umpan racun, tikus juga dikendalikan dengan cara gropyokan.

Salah satu strategi pengendalian hama tikus yang mengacu pada prinsip pengendalian hama terpadu (PHT) yaitu pengendalian secara biologis dengan menggunakan predator burung hantu (Tyto alba). Pengendalian ini  cukup efektif diterapkan pada tikus di perkebunan kelapa sawit dibandingkan dengan pengendalian tikus di perkebunan tebu.  Burung hantu merupakan predator tikus yang sangat potensial pada perkebunan kelapa sawit dan mampu menurunkan serangan tikus pada tanaman muda hingga di bawah 5%. Biaya pengendalian serangan tikus dengan burung hantu hanya berkisar 50% dibandingkan penanggulangan tikus secara kimiawi (Dunia Kebun, 2011).

Persiapan dan pembuatan sangkar burung hantu

Sebelum sangkar burung hantu (gupon) dibuat, terlebih dahulu perlu diketahui keberadaannya di dalam kawasan yang akan dikembangbiakkan.  Untuk mengetahui keberadaannya dapat dilakukan antara lain: mendengarkan kicauan-kicauan suaranya pada malam hari; mencari kotoran/pellet di sekitar bangunan atau tempat yang diduga sebagai tempat bertengger; dan mencari tempat bersarang di plafon bangunan yang diperkirakan ditempati burung hantu (Sipayung dkk, 1996).  Menurut Dhamayanti (2005) bahwa gupon burung hantu dibuat dari bahan tripleks 90 mm dan atap seng, berukuran panjang 90 cm,lebar 45 cm dan tinggi 50 cm.

Penempatan sangkar burung hantu

Gupon ditempatkan dibawah kanopi pohon kelapa sawit yang menunjukkan gejala serangan tikus yang baru dengan tinggi tiang kurang lebih 4 m (disesuaikan dengan tinggi pohon kelapa sawit). Setiap areal kelapa sawit seluas 30 ha dipasang satu gupon burung hantu (Dhamayanti, 2005).  Pada perkebunan tebu, gupon dengan tinggi 3–4 m ditempatkan pada areal pertanaman tebu muda seluas 1–5 ha.  Penggunaan burung hantu di perkebunan tebu disarankan pada areal pertanaman tebu yang masih muda karena burung hantu masih bisa melihat pergerakan tikus (Etik, 2012).

Perkembangbiakan burung hantu

Burung hantu  dewasa yang diperoleh ditempatkan pada gupon-gupon secara berpasangan dan setiap hari disediakan makanan berupa tikus sawah atau mencit.  Tergantung besarnya tikus, tiap burung memerlukan 2–4 ekor/hari.  Setelah ± 1 bulan, mereka dilepaskan dan dibiarkan hidup bebas di alam.  Pada hari-hari biasa, burung hantu biasanya tidak tinggal dalam gupon tetapi di pohon-pohon besar di sekitar gupon.  Pada saat bertelur, burung hantu akan kembali ke gupon dan akan tinggal dalam gupon  sampai anaknya cukup besar (Sipayung dkk, 1996).  Jumlah telur yang dihasilkan     bervariasi antara 4- 11 butir /betina tergantung pada jumlah makanan yang tersedia. Ukuran telur panjang 44 mm, lebar 31 mm. Masa bertelur dapat mencapai 15-24 hari, karena peletakan telur 1-3 hari sekali.  Telur mulai dierami pada saat telur ketiga atau keempat dan menetas setelah 30 hari. Pada umur 2.5 – 3 bulan, anak-anak burung hantu mulai belajar terbang dan meninggalkan induknya untuk mencari gupon yang baru (Dhamayanti, 2005).

Penutup

Burung hantu selain bermanfaat sebagai predator dalam pengendalian biologis tikus, juga memberikan nilai tambah dalam budidaya kelapa sawit, yaitu: (i) tidak menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan kebun (air, tanah, udara); (ii) biaya pengendalian dapat ditekan sampai 50% daripada penggunaan rodentisida; (iii) tidak memerlukan tenaga kerja yang khusus untuk pengawasan; (iv) efektif sepanjang tahun; (v) Burung hantu sebagai satwa langka dapat dilindungi dan dikembangkan populasinya.  Penggunaan burung hantu kiranya dapat diimplementasikan pada perkebunan kelapa sawit yang merupakan daerah endemis tikus.


Bagikan Artikel Ini