KEMENTERIAN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

Peran Strategis ISPO Dalam Bisnis Produk Kelapa Sawit.

Diposting     Kamis, 06 Maret 2014 10:03 pm    Oleh    ditjenbun



Yogyakarta (28/02), Pada saat ini Indonesia merupakan Negara produsen sawit terbesar di dunia, dengan produksi 27 juta ton pada tahun 2013 dan diperkirakan pada tahun 2014 akan mencapai lebih dari 29 juta ton, dengan ekspor lebih dari 15 juta ton. Apabila penggunaan biofuel di Indonesia naik menjadi 10%, maka Indonesia akan menjadi Negara produsen, eksportir dan pengguna sawit terbesar di dunia, demikian disampaikan oleh Rusman Heryawan (Wakil Menteri Pertanian), pada Workshop Percepatan Sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) bagi Eksekutif Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit, yang dilaksanakan pada hari Jumat, 28 Februari 2014 di LPP Kampus Yogyakarta.

Workshop dilaksanakan bertujuan untuk memberikan pemahaman peran strategis ISPO dalam bisnis produk-produk kelapa sawit dan membangun komitmen perusahaan dalam sertifikasi ISPO. Hadir pada workshop tersebut, Direktur Jenderal Perkebunan, Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Lingkungan, Direktur Lembaga Pendidikan Perkebunan, Rektor INSTIPER, Sejumlah Pelaku Usaha Perkebunan Kelapa Sawit, dan Lembaga-Lembaga Sertifikasi ISPO.

Dalam arahannya, Wakil Menteri Pertanian menjelaskan bahwa skema ISPO  telah diluncurkan pada bulan Maret 2011 dan berlaku penuh sejak 1 April 2011. Sejak penerapannya sudah 40 perusahaan yang telah disertifikasi ISPO dan 11 Lembaga Sertifikasi (LS) telah ditunjuk untuk melaksanakan sertifikasi ISPO. Sementara, 73 perusahaan lainnya saat ini sedang dalam proses mendapatkan sertifikasi ISPO. Sampai dengan akhir tahun 2014, ditargetkan seluruh perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah bersertifikat ISPO, atau paling tidak dalam proses mendapatkan sertifikat ISPO.

Wakil Menteri Pertanian menambahkan bahwa, mekanisme sertifikasi ISPO didahului dengan sistem penilaian usaha perkebunan, dimana pada tahap pertama perusahaan harus dinilai terlebih dahulu sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 07 Tahun 2009. Ini terkait dengan sistem manajemen perkebunan yang baik, yang wajib dimiliki oleh perusahaan. “Pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia bukan tanpa arah, bukan tanpa rambu-rambu, melainkan sejak awal menganut cakrawala pandang jauh ke depan (visioner) dan taat azas pada semua ketentuan yang berlaku. Itulah kemudian sertifikat ISPO menjadi muara dan merupakan hasil audit dari kepatuhan yang dimaksud”, katanya.

Pada kesempatan tersebut, Wakil Menteri Pertanian juga mengajak kepada peserta workshop untuk menyimak kembali tentang beberapa hal bahwa, pada tanggal 17 Maret 2009 telah berlangsung kegiatan penyerahan sertifikat RSPO pertama di Indonesia. Seperti dimaklumi bahwa, sertifikat RSPO tujuan pokoknya adalah memenuhi permintaan pasar tertentu (Eropa), jadi bersifat voluntary. Sedangkan, ujarnya lebih lanjut, sertifikat ISPO adalah dalam rangka kepatuhan pelaksanaan terhadap ketentuan perundangan yang berlaku di Indonesia, khususnya amanat UUD 1945, pasal 33, ayat 4, yang berbunyi : perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan dan kemajuan ekonomi nasional. “Dengan demikian ada dua kata kunci disini yaitu prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan”, ujarnya.

Sekali lagi Wakil Menteri Pertanian juga menegaskan bahwa, keikutsertaan para pekebun dalam skema ISPO adalah wajib, karena penerapannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. ISPO menggunakan mekanisme verifikasi melalui audit pihak ketiga  untuk mengetahui apakah pelaksana atau perusahaan telah menerapkan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Saat ini, skema ISPO direncanakan untuk direvisi dengan masuknya ketentuan baru yaitu INPRES 10 Tahun 2011 tentang Moratorium Penanaman di Lahan Gambut yang diperpanjang dengan INPRES 6 Tahun 2013. “Disamping itu, perubahan ketentuan mengenai penerapan high conservation value atau nilai konservasi tinggi harus disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia. Penerapan ketentuan pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca yang terdapat di dalam skema ISPO bertujuan untuk mendukung komitmen Presiden di Copenhagen pada tahun 2009 yaitu penurunan Emisi Karbon hingga 26% atau 41% dengan bantuan atau dukungan Internasional”, tegasnya.(humas-djbun)


Bagikan Artikel Ini