KEMENTERIAN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

Peluang Perluasan Karet di Indonesia Masih Terbuka Lebar?.

Diposting     Ahad/Minggu, 14 Oktober 2012 10:10 pm    Oleh    ditjenbun



Chiang Mai, Oktober-Diperkirakan sampai dengan tahun 2012, Indonesia berpeluang untuk melaksanakan penanaman baru seluas 167.199 hektar.  Secara keseluruhan hasil evaluasi yang dilakukan terhadap implementasi secara bersamaan ketiga negara ITRC menunjukkan bahwa baik produksi dan new planting area di ketiga negara selama 5 tahun (2007-2011) tidak melampaui alokasi target yang telah ditetapkan, demikian salah satu hasil dalam Sidang International Tripartite Rubber Council (ITRC) ke-20.

Sidang ITRC ke-20 yang diikuti oleh tiga negara produsen utama karet alam yaitu: Indonesia, Thailand dan Malaysia yang telah dilaksanakan pada tanggal 1 – 5 Oktober 2012 di Chiang Mai, Thailand di dalamnya membahas Statistics CommitteeITRC, Technical Working Group on Establishment of a Regional Rubber Market (TWGERRM), Expert Group on Establishment of a Regional Rubber Market (EGERRM).

Menurut Ketua Delegasi Indonesia untuk Statistics Committee ITRC, Ir. Bambang Sad Juga, MSc (Kepala Bagian Evaluasi dan Pelaporan) mewakili Direktorat Jenderal Perkebunan, sebagaimana disampaikan dalam sidang ITRC bahwa luas areal karet Indonesia tahun 2011 meningkat menjadi 3,45 juta hektar dibandingtahun 2010 dan produksi juga meningkat 10,7% menjadi 3,029 juta ton dibanding tahun 2010. Realisasi penanaman baru tahun 2011 sebesar 11.000 hektar dan estimasi penanaman baru tahun 2012 diperkirakan  10.000 hektar. Untuk replanting pada tahun 2011, terjadi peningkatan luas area seluas 3.400 hektar menjadi 60.700 hektar, namun pada replanting tahun 2012 diperkirakan akan menurun menjadi hanya 50.000 hektar.

Berdasarkan evaluasi implementasi Supply Management Scheme (SMS) selama 5 tahun (2007-2011), produksi Indonesia melampaui alokasi produksi sebesar 82.309 ton, namun untuk new planting area masih memiliki alokasi seluas 130.199 hektar. Diperkirakan sampai dengan tahun 2012, masih berpeluang untuk melaksanakan penanaman baru seluas 167.199 hektar lanjut Bambang.

Disamping itu, dalam mempertahankan harga karet,  ITRC sepakat untuk menerapkan Agreed Export Tonnage Scheme(AETS) dengan mengurangi volume ekspor sebanyak 300.000 ton selama 6 bulan periode 1 Oktober 2012 – 1 Maret 2013 dengan rincian untuk ketiga negara adalah Thailand sebesar 142.772 ton, Indonesia sebesar 117.306 ton dan Malaysia sebesar 39.922 ton. Alokasi pengurangan ekspor tahun 2012 sebesar 60% dengan rincian alokasi Oktober 2012 sebesar 20%, November 2012 sebesar 20% dan Desember 2012 sebesar 20%. Adapun sisanya sebesar 40% dilaksanakan pada tahun 2013 dengan rincian Januari dan Februari 2013 masing-masing sebesar 15% dan Maret 2013 sebesar 10%.

Menurut Bambang, pelaksanaan AETS tersebut dari masing-masing negara telah menyepakati untuk sementara waktu sebagai berikut:

  1. Indonesia, yang dalam hal ini Gapkindo, telah menerapkan AETS sejak 1 Oktober 2012 dengan pengurangan volume ekspor untuk periode Oktober-Desember 2012 sebesar 70.384 ton dan selebihnya sebesar 46.922 ton dialokasikan untuk periode Januari-Maret 2013 kepada seluruh produsen/eksportir karet alam Indonesia.
  2. Malaysia melalui Malaysia Rubber Board, mengalokasikan pengurangan volume ekspor kepada 24 prosesor/pengolahsebanyak 60% dari total pengurangan volume ekspor yaitu 23.953,2 ton untuk periode Oktober-Desember 2012 dan sisanya sebesar 15.969 ton dialokasikan pada periode Januari-Maret 2013.
  3. Thailand mengalokasikan pengurangan ekspor sebesar 85.663,2 ton (60% dari total volume pengurangan ekspor) dengan rincian: a) setiap eksportir yang mengekspor lebih dari 5.000 ton per tahun dikurangi sebesar 10%; b) pabrik baru dan lama dengan kapasitas ekspor lebih dari 10.000 ton dikurangi sebesar 50% dari peningkatan kapasitas produksi namun tidak lebih dari 5.000 ton.

Lanjut Bambang, untuk penghitungan AETS secara permanen kedepan belum ada kesepakatan diantara tiga negara dengan usulan formula sebagai berikut Indonesia mengusulkan penghitungan AETS dengan besarnya pengurangan volume ekspor didasarkan pada rata-rata produksi selama tiga tahun terakhir dari masing-masing negara. Usulan formula Thailand adalah besarnya pengurangan volume ekspor sama dengan produksi dikurangi konsumsi karet alam yang hanya dikonsumsi secara domestik oleh suatu negara. Sedangkan usulan formula Malaysia adalah besarnya volume pengurangan ekspor sama dengan gross ekspor dikurangi gross impor atau produksi dikurangi total konsumsi domestik.  Mengingat belum terjadi kesepakatan penggunaan formula penghitungan AETS secara permanen, ITRC menyepakati bahwa formula penghitungan AETS akan dibahas pada Pertemuan Tingkat Menteri ITRC 2012.

Dengan berkurangnya sentimen pasar karet alam yang disebabkan antara lain oleh stimulus keuangan yang dilakukan oleh USFederal Reserve dan optimisme terhadap langkah-langkah European Central Bank dalam mengatasi krisis ekonomi di Eropa serta keputusan ITRC untuk mengurangi jumlah karet alam melalui skema pengurangan volume ekspor (Agreed Export Tonnage Scheme), tren DCP IRCo menunjukkan perkembangan positif. DCP IRCo pada tanggal 28 September 2012 telah berada pada level diatas US 300 cents yaitu sebesar US 303.06 cents per kg dan diperkirakan akan terus meningkat sampai berada pada kisaran antara US 350 cents per kg – US 400 cents per kg di akhir tahun 2012.

Tugas Direktorat Jenderal Perkebunan, lanjut Bambang, adalah memonitor implementasi Supply Management Scheme(SMS) di Indonesia terutama alokasi produksi, alokasi luas area, produktivitas, luas area new planting dan replanting dengan mengacu pada alokasi target yang telah disepakati ITRC. (BSJ)


Bagikan Artikel Ini