KEMENTERIAN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

Jenis-Jenis Metode Pembuatan Kompos

Diposting     Jumat, 05 Maret 2021 05:03 pm    Oleh    ditjenbun



Pekebun saat ini diharapkan dapat mandiri dalam menjalankan usaha budidayanya, termasuk dalam usaha untuk mengurangi kehilangan hasil akibat OPT. Direktorat Perlindungan Perkebunan menerapkan kegiatan Penerapan Pengendalian Hama Terpadu yang selain Pekebun dibekali untuk dapat membuat bahan pengendali sendiri dari bahan-bahan yang berasal dari lingkungannya, pekebun diharapkan dapat membuat kompos dengan  memanfaatkan limbah pertanian dan limbah rumah tangga. Pelindungan Tanaman merupakan bagian dari Budidaya Tanaman Pertanian Berkelanjutan, salah satunya dengan penggunaan kompos. Pada posting sebelumnya telah disampaikan bagaimana cara pembuatan kompos secara umum dan kali ini akan disampaikan jenis – jenis metode pembuatan kompos.

Kompos adalah senyawa organik yang telah terurai dan di daur ulang sebagai pupuk dan dapat berperan sebagai agen yang mampu mengubah fisio-kimia tanah. Kompos berasal dari kumpulan senyawa organik yang telah membusuk, misalnya sampah rumah tangga, kertas, padi, dan berbagai macam sampah agrikultur lain. Kompos juga berguna sebagai nutrien untuk tanaman karena mengandung nitogen, fosfor, dan kalium serta mengandung mikro nutrien yang digunakan untuk pertumbuhan tanaman dan ketahanan tanaman.

Terdapat beberapa alasan valid pengomposan dengan menggunakan berbagai macam jenis limbah/ sampah organik dan komposisi, antara lain:

  1. Memperbaiki karakteristik fisik dari limbah pertanian sehingga menjadi gampang ditangani dan digunakan
  2. Pengomposan menurunkan rasio C:N dari material yang memiliki rasio C:N lebar, contohnya jerami, sehingga menghindari kompetisi nutrient antara tanaman dan mikroorganisme
  3. Menurunkan volume akhir limbah sampai ½ dari volume awal
  4. Memfasilitasi daur ulang humus dan nutrien ke dalam tanah
  5. Melindungi dan meningkatkan diversitas mikroorganisme dan kualitas tanah budidaya
  6. Temperatur tinggi yang dihasilkan selama proses pengomposan dapat mensterilisasi gulma, membunuh pathogen dan hama dalam limbah, sehingga dapat mengurangi biaya produksi dan pengendalian hama dan penyakit
  7. Meminimalkan masalah yang muncul akibat aerasi yang buruk, seperti emisi HS, senyawa fenolik, metan dan lain-lain.
  8. Selama pengomposan, berbagai macam mikroorganisme dapat mendorong biodegradasi dari senyawa toksik dan polutan (bioremediasi).

Fase Pengomposan
Selama proses pengomposan, temperatur, pH dan ketersediaan nutrient akan selalu mengalami perubahan secara konstan, sehingga faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi tipe mikroorganisme, diversitas spesies dan laju aktivitas metabolit. Degradasi material limbah pada kompos mengalami tiga fase, seperti terlihat pada Gambar 1, yaitu :

  1. Fase mesofilik adalah tahap inisiasi penguraian dan berlangsung selama satu minggu atau kurang dari 10 hari. Pada tahap ini, gula dan karbohidrat sederhana lainnya dimetabolisme secara cepat. Proses ini merupakan proses eksotermik, sehingga suhu bisa berkisar antara 15-45 °C.
  2. Fase termofilik adalah tahap kedua yang berlangsung selama dua minggu dan temperatur akan meningkat menjadi 50-75 °C, sehingga dapat memusnahkan banyak mikroorganisme yang menjadi pathogen bagi manusia dan tanaman. Peningkatan suhu akan dibarengi dengan akselerasi pemecahan protein, lemak dan karbohidrat kompleks, seperti selulosa dan hemiselulosa. Hal penting yang harus diperhatikan yaitu memastikan bahwa material kompos sudah tercampur rata dan terjaga aerasinya selama fase ini.
  3. Fase pendinginan dan maturasi. Pada fase pendinginan ini, aktivitas mikroorganisme akan mengalami penurunan sampai 50%, tetapi diversitas taksonomi dan metabolitnya akan meningkat. Oksidasi organik akan mendegradasi polimer kompleks alami, seperti selulosa, hemiselulosa, lignin, wax, lemak, dan lainnya. Sedangkan pada fase maturase, aktivitas utamanya adalah degradasi senyawa resistan dan mengubahnya menjadi humus. Senya resistan ini antara lain lignin, lignoselulosa dan komponen rekalsitran dari batang pohon, limbah rumah tangga, limbah pertanian, dan lainnya
Gambar 1. Tiga fase Pengomposan (https://www.slideshare.net/sadiqpa/composting-43902961)

Jenis-jenis  Metode Pembuatan Kompos
Beberapa metode pembuatan kompos sederhana yang biasanya digunakan pada umumnya, antara lain:

1. Metode Indore
Metode ini dikembangkan di Indore, India dan dibuat oleh A. Howard dan Y.D. Wad pada Institute of Plant Industry, Indore. Pada metode ini, sampah organik disebar di kandang dan parit digali dengan kedalaman 1 m, lebar 1,5-2 m, dengan panjang yang disesuaikan.

Limbah kering dengan kotoran ternak dan tanah ditambahkan dengan perbandingan 4: 2: 1 dalam lubang pengomposan. Bahan material disebar secara merata di lubang dengan lapisan setebal 10-15 cm. Pada setiap lapisan disebarkan cairan bubur yang terbuat dari 4,5 kg kotoran, 3,5 kg urine-tanah dan 4,5 kg inokulum yang diambil dari lubang pengomposan berumur 15 hari. Air yang cukup disiramkan ke atas material di dalam lubang untuk membasahinya. Lubang diisi dengan cara ini, lapis demi lapis. Tingkat kelembaban sekitar 40-50% sangat ideal untuk pengomposan yang baik. Masalah mengenai bau dan serangga yang ditimbulkan dapat diatasi dengan menutup tumpukan dengan lapisan tanah atau serpihan kayu.

Gundukan dibiarkan tidak terganggu selama sekitar 8 hingga 9 bulan dan untuk memastikan kondisi aerobik tetap terjaga, maka dilakukan pembalikan pada interval waktu tertentu. Pembalikan tumpukan sangat penting untuk pengomposan agar sempurna karena tumpukan membutuhkan masuknya O2 secara berkala dalam prosesnya. Sebagai awal, pembalikan dapat dilakukan pada hari ke 15 setelah pengisian. Pembalikan kedua diberikan setelah 15 dari pembalikan pertama. Sedangkan pembalikan ketiga dilakukan 1 bulan setelah pembalikan kedua. Sisa tanaman, gulma, daun tebu, rumput, abu kayu, kotoran hewan, dan urine ternak juga dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan kompos jenis ini.

2. Metode Heap
Di daerah dengan curah hujan tinggi, kompos dapat dibuat di tumpukan di atas permukaan tanah dan dilindungi oleh peneduh. Tiang pancang dibuat dengan dimensi 2m x 2m x 1,5m (PxLxT).

Tumpukan biasanya diawali dengan lapisan setebal 20 cm dari material berkarbon seperti daun, jerami, jerami, serbuk gergaji, serpihan kayu dan batang jagung cincang. Kemudian ditutup dengan material bernitrogen setebal 10 cm seperti rumput segar, gulma atau sisa tanaman kebun, kotoran atau lumpur kotoran yang dicerna (segar atau kering). Pola dari bahan berkarbon 20 cm dan 10 cm bahan bernitrogen diikuti sampai tumpukan setinggi 1,5 m dan material biasanya dibasahi sehingga terasa lembap tetapi tidak becek. Tumpukan terkadang tertutup tanah atau jerami untuk menahan panas dan dibalikkan dengan interval enam dan dua belas minggu.

Jika material terbatas, lapisan pengganti dapat ditambahkan saat material tersedia. Material yang sudah dihancurkan dapat mempercepat pembusukan secara signifikan. Jika material bernitrogen tidak tersedia, pupuk hijau atau tanaman polongan ditanam dekat tumpukan dengan menabur benih setelah pembalikan pertama. Materi tersebut kemudian dibalikkan pada saat pencampuran kedua. Proses ini memakan waktu sekitar empat bulan.

3. Metode Bangalore

Metode pengomposan ini dikembangkan di Bangalore di India oleh Acharya (1939) dan pada dasarnya direkomendasikan ketika feses dan sampah digunakan untuk menyiapkan kompos. Metode ini mengatasi banyak kerugian dari metode Indore seperti masalah perlindungan timbunan dari cuaca buruk, kehilangan unsur hara akibat angin kencang atau sinar matahari yang terik, pembalikan tumpukan dan penyiraman air yang terlalu sering, gangguan lalat dan lain-lain. Tetapi metode ini membutuhkan waktu produksi kompos yang lebih lama daripada metode Indore. Metode ini cocok untuk daerah dengan curah hujan rendah.

Pada metode Bangalore, lubang kompos digali di dalam tanah dengan ukuran 4,5m x 2,5m x 90cm (PxLxT). Sisa bahan organik dan feses ternak diletakkan secara bergantian menjadi suatu lapisan di dalam lubang dan setelahnya ditutup dengan lapisan sampah setebal 15-20 cm. Bahan-bahan tersebut dibiarkan tetap berada di dalam lubang tanpa membalik dan menyiram selama tiga bulan. Selama periode ini, material mengendap karena pengurangan volume biomassa dan penambahan feses dan sampah yang diletakkan di atas lapisan sebelumnya, yang kemudian akan ditutup dengan lumpur atau tanah untuk mencegah hilangnya kelembaban dan perkembangbiakan lalat. Setelah inisiasi pengomposan aerobik selama sekitar delapan sampai sepuluh hari, material akan mengalami dekomposisi anaerobik dengan kecepatan yang sangat lambat dan membutuhkan waktu sekitar enam sampai delapan bulan untuk mendapatkan produk jadi

4. Metode Berkeley
Metode ini dikembangkan oleh University of California, Berkeley, merupakan teknik pengomposan yang cepat, efisien, bersuhu tinggi yang akan menghasilkan kompos berkualitas tinggi dalam 18 hari. Persyaratan pengomposan panas dengan metode Berkley adalah sebagai berikut:

  • Temperatur kompos dijaga antara 55-65 derajat Celcius
  • Keseimbangan C: N (karbon: nitrogen) dalam bahan pengomposan kira-kira 25-30: 1
  • Tinggi tumpukan kompos sekitar 1,5m
  • Jika bahan pengomposan mengandung karbon tinggi, maka harus dihancurkan terlebih dahulu
  • Kompos dibalik dari luar ke dalam dan sebaliknya agar tercampur rata

Kompos dibuat dengan mencampur bahan-bahan dan meletakkannya secara bergantian antara lapisan tipis “hijau” dan “cokelat”. Basahi tumpukan kompos sehingga meneteskan air dari dasar tumpukan dan biarkan tumpukan selama 4 hari, jangan dibalik. Pada hari ke 5, balikkan tumpukan kompos dari bagian luar ke dalam, dan sebaliknya. Pastikan kelembapan tetap konstan dan mengujinya dengan memeras segenggam bahan kompos, yang seharusnya hanya mengeluarkan satu tetes air, atau hampir meneteskan setetes. Biarkan tumpukan kompos selama 4 hari, jangan dibalik. Pada hari ke 7 dan ke 9, ukur suhu pada bagian tengah tumpukan kompos. Tumpukan kompos harus mencapai suhu maksimumnya pada hari-hari ini. Proses pengomposan panas harus mencapai suhu optimal 55-65 ° C. Pada suhu di atas 65 ° C, sebuah “jamur” putih akan menyebar melalui kompos, yang sebenarnya merupakan sejenis bakteri pengomposan termofilik anaerobik, sering salah disebut sebagai ‘hawar api’. Bakteri ini muncul ketika kompos menjadi terlalu panas, lebih dari 65 ° C dan kekurangan oksigen, dan menghilang ketika suhu turun dan bakteri pengomposan aerobik mengambil alih sekali lagi. Suhu mencapai puncak pada 6-8 hari dan secara bertahap mendingin pada hari ke 18. Balikan tumpukan kompos setiap hari kedua (pada hari ke 6 dan hari ke 8) dan biarkan kompos beristirahat selama sehari setelah dibalikkan. Pada hari ke 11 sampai ke 17, terus membalikkan kompos setiap hari ke-2 (pada hari ke 11, 13, 15 dan hari ke 17) dan istirahatkan selama sehari setelah dibalik. Pada hari ke 18, kompos yang sudah siap dipanen akan menjadi hangat, berwarna coklat tua, dan berbau. Ketika cacing tanah ditemukan pada kompos, itu tandanya sudah selesai dan siap, karena cukup dingin untuk cacing tanah dan karena disana penuh nutrisi.

5. Vermikompos
Vermikompos adalah metode di mana kompos atau campuran pupuk organik dibuat dengan menggunakan cacing tanah. Ini merupakan proses degradasi terkontrol dari limbah organik yang langsung di konsumsi cacing tanah, sehingga membantu dalam daur ulang limbah makanan, mengurangi kepadatan curah limbah dan produk akhir kemungkinan mengandung senyawa menyerupai hormon yang dapat mempercepat pertumbuhan tanaman.

Keunggulan yang dimiliki Vermikompos dibandingkan pupuk kimia antara lain :

  • Memulihkan komunitas mikroba yang mengandung pemfiksasi nitrogen, pelarut fosfat, dll.
  • Menyediakan makro dan mikro nutrient bagi tanaman
  • Meningkatkan tekstur tanah dan kemampuan retensi air tanah
  • Memberikan aerasi tanah yang baik, sehingga mendorong pertumbuhan akar dan produksi mikroorganisme tanah yang bermanfaat
  • Mengurangi penggunaan pestisida untuk mengendalikan patogen pada tanaman
  • Meningkatkan stabilitas struktur tanah dan dengan demikian mencegah erosi tanah
  • Meningkatkan kualitas biji-bijian / buah karena kandungan gulanya lebih tinggi.

Bahan yang digunakan untuk Vermicomposting yaitu :

  • Limbah organic, dapat berupa limbah dapur, kotoran hewan, limbah pertanian (kotoran sapi dan limbah tanaman kering terutama digunakan). Selalu gunakan limbah tanaman polongan dan non-polongan untuk pembuatan kompos vermik.
  • Cacing tanah- Cacing tanah yang tersedia secara lokal dan yang ditemukan di tanah. Untuk tindakan cepat, lebih disukai cacing tanah tertentu. Spesies cacing tanah tertentu yang digunakan untuk pengomposan termasuk antara lain Eisenia fetida, Eudrilluseuginiae, Perionyx excavates
  • Kotoran sapi
  • air
  • Karung goni
  • Tempat sampah besar (tangki semen atau plastik).

Untuk menyiapkan vermikompos dapat digunakan tangki plastik atau beton sesuai ketersediaan (Ukuran berdasarkan jumlah bahan baku yang tersedia). Lalu kumpulkan biomassa kering (sampah taman, kotoran hewan, sampah kota, dan lain-lain.) dan potong-potong. Campur bahan kering cincang dengan kotoran sapi dengan perbandingan 1: 3 dan sisihkan selama 15-20 hari untuk dekomposisi parsial. Tambahkan lapisan tipis tanah / pasir (2-3 inci) di dasar tangki. Sekarang siapkan alas dengan menambahkan kotoran sapi yang sudah membusuk sebagian dan campuran sampah kering. Bagikan secara merata di tanah, lalu tambahkan campuran secara terus menerus hingga kedalaman 0,5-1 ft. Lepaskan cacing tanah di dalam tangki (1000-2000 cacing tanah / meter persegi). Tutupi campuran dengan kantong goni / jerami / plastik. Pantau tempat sampah untuk ketersediaan makanan bagi cacing tanah dan tambahkan makanan (kulit buah dan sayur, limbah dapur lainnya) bila perlu. Lakukan penyiraman secara rutin untuk menjaga kelembapan. Pantau tangki pengomposan untuk menjaga suhu dan kelembaban dan harus dibalik setiap 30 hari untuk aerasi dan dekomposisi yang tepat, kompos akan siap dalam 45-50 hari

Penulis: Nilam Sari Sardjono, SP, MP (POPT Ditjen Perkebunan), Romauli Siagian, SP, MSc (POPT Ditjen Perkebunan).

Daftar Pustaka:

Atchley, K. 2013. Hot Composting with the Berkeley Method. Kerr Center for Sustainable Agriculture. August. https://kerrcenter.com/wp-content/uploads/2014/06/hot_composting.pdf

Chapter 14-Composting. https://mohua.gov.in/upload/uploadfiles/files/chap14(1).pdf
https://www.slideshare.net/sadiqpa/composting-43902961
Manna, M.C. et al,. 2015. Rapid Composting Technique Ways to Enhance Soil Organic Carbon, Productivity and Soil Health. ICAR- Indian Institute of Soil Science. https://www.iiss.nic.in/news%20and%20event/Rapid%20Composting%20Technique.pdf

Misra R.V., et al., On-Farm Composting Methods. Rome. FAO. https://www.fao.org/ORGANICAG/doc/On_farm_comp_methods.pdf

Raabe, R. D. The Rapid Composting Method. Cooperative Extension University of California Division of Agriculture and Natural Resources.


Bagikan Artikel Ini