KEMENTERIAN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

Kebijakan Pengembangan Sagu Nasional: Potensi, Tantangan dan Peluang Sagu untuk Ketahanan Pangan

Diposting     Sabtu, 22 Juni 2024 10:06 am    Oleh    ditjenbun



Oleh: Agnes Verawaty Silalahi

ABSTRAK

Persoalan persaingan antara pertumbuhan penduduk dan produksi pangan telah menjadi perhatian banyak pihak.  Hal ini merupakan agenda yang sangat serius karena menentukan keberlangsungan hidup umat manusia. Hal ini juga sejalan dengan teori Thomas Robert Malthus tahun 1798 telah mempredikasi bahwa dunia akan menghadapi ancaman karena ketidakmampuan penyediaan pangan memadai bagi penduduknya. Teori Malthus ringkasnya menyatakan peningkatan produksi pangan mengikuti deret hitung dan pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur sehingga manusia pada masa depan akan mengalami ancaman kekurangan pangan. Hal ini juga terjadi di Indonesia dengan pertambahan penduduk dan berbagai kendala peningkatan produksi sumber pangan yang semakin terbatas karena perubahan iklim, situasi geopolitikal, alih fungsi lain dan berbagai kendala lainnya.

Menghadapi ancaman krisis pangan tersebut, diperlukan strategi penyedian pangan, salah satunya dengan mencari sumber daya pangan lainnya yang berpotensi besar. Sagu merupakan salah satu alternatif sumber  pangan dengan potensi yang sangat besar karena di seluruh wilayah Indonesia terdapat sekitar 5,5 juta lahan sagu yang bisa dioptimalkan, namun baru sekitar 5% saja yang baru termanfaatkan. Sagu dapat menjadi salah satu solusi terhadap situasi krisis pangan, tentunya dengan berbagai syarat dan kriteria yang harus disusun secara baik. Diperlukan perencanaan yang baik untuk menjadikan sagu sebagai salah satu sumber pangan nasional, mulai dari pemilihan lokasi Kawasan untuk pengembangan, manajemen pengolahan produk, sistem distribusi dan potensi pengembangan pasar, kondisi sosial budaya, dan tentunya pelibatan berbagai stakeholder yang berperan dan memiliki kepentingan terhadap komoditi Sagu. Melalui pengelolaan yang terencana dan bertahap, fokus pada wilayah dengan mempertimbangkan keunggulan dan kelemahannya, maka sagu dapat didorong menjadi solusi penyediaan pangan ditengah isu krisis pangan dunia yang makin nyata. Perencanaan secara bertahap ini juga dilengkapi dengan analisis kelayakan usaha untuk membagi peran masing-masing stakeholders sehingga dapat menjadi daya tarik dan jamiman bagi investor untuk ikut berinvestasi pada komoditas sagu. Program/kegiatan pengembangan sagu dari hulu ke hilir dapat didorong melalui APBN dan pembiayaan lain serta disosialisasikan secara massif agar menjadi suatu Gerakan nasional untuk menghadapi kondisi krisis pangan dunia, khususnya di Indonesia.

I. Pendahuluan

Peningkatan populasi manusia yang tidak seimbang dengan peningkatan produksi pangan, serta tingginya ketergantungan akan sumber pangan utama yang terbatas (gandum, beras dan jagung) memberikan tantangan terhadap kemampuan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia di masa depan. Perubahan iklim dan situasi geopolitik global yang sulit untuk diprediksi juga memberikan ancaman terhadap keberlanjutan sistem pangan dunia. Konsekuensinya dunia dihadapkan pada resiko krisis pangan global pada tahun 2050 di mana populasi dunia diperkirakan mencapai 9 milyar jiwa.

Dalam pemenuhan kebutuhan pangan utama masyarakat, Indonesia bertumpu pada beras yang juga memiliki risiko dalam menghadapi tekakan populasi, perubahan iklim dan ketidakpastian alam, sehingga pada saat tertentu Indonesia masih harus mengimpor beras dari negara lain. Hal ini tentu saja memberikan ancaman terhadap ketahanan pangan nasional.

Untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional, diversifikasi pangan menjadi salah satu alternatif solusi. Hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan system pangan berbasis komoditas, kelembangaan dan budaya lokal. Pemerintah sepatutnya menetapkan sentra produksi pangan lokal sesuai dengan karakteristik “eko-sosiologi-biogeografis” yang dimiliki suatu tempat.

Diversifikasi pangan sumber karbohidrat merupakan Langkah yang paling logis dalam menghadapi  ancaman ketahanan pangan di masa yang akan dating. Indonesia memiliki kekayaan biodiversitas yang sangat tinggi, namun Sebagian besar masih belum tereksplorasi sehingga tingkat pemanfaatannya masih rendah.

Sagu merupakan salah satu jenis tanaman khas Indonesia yang memiliki potensi pemanfaatan yang tinggi. Namun karena rendahnya popularitas komoditas sagu menjadi penghambat proses pengembangan dan riset yang pada akhirnya membatasi pencapaian potensi komoditas. Potensi yang belum termanfaatkan ini tentu saja memberikan peluang bagi berbagai pihak. Di satu sisi, pemnafaatan sagu berpotensi untuk berkontribusi pada diversifikasi pangan, yang dapat berpengaruh pada system pangan nasional. Di sisi lain, hal tersebut juga memberikan peluang untuk membuka, menciptakan, dan mengisi pasar sagu nasional dan internasional bagi para pelaku yang terlibat dalam agribisnis sagu Indonesia.

Indonesia memiliki potensi pengembangan sangat besar yaitu sekitar 5,5 juta ha dan berdasarkan data stastistik perkebunan (angka Tetap 2022), luas areal sagu yang termanfaatkan adalah 212.468 Ha yang terdiri dari 75.264 Ha Tanaman Belum Menghasilkan (TBM), 125.731 Ha Tanaman Menghasilkan (TM), dan 10.473 Ha Tanaman Rusak (TR/TTM) dengan total produksi 385.905 Ton. Proporsi luas areal sagu sebagaimana pada Gambar 1.

Gambar 2 menunjukan bahwa areal Sagu di Indonesia umumnya merupakan perkebunan rakyat dengan persentase penguasaan sebesar 94,34% dan merupakan penyumbang produksi sagu dengan persentase hingga 99%. Sagu berkembang dengan baik di beberapa wilayah antara lain Papua, Maluku, Maluku Utara, Aceh, Riau, Kepulauan Riau, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Selatan (Gambar 3).

Selain memiliki potensi produksi yang sangat besar, beberapa potensi sagu yang dapat dijadikan sebagai dasar pengembangan adalah:

  1. Sagu memiliki nilai guna yang tinggi. Hal ini menjadikan sagu berpotensi digunakan tidak hanya sebagai alternatif sumber karbohidrat, namun juga sumber bahan baku berbagai industri, bahkan sebagai sumber energi terbarukan.
  2. Indonesia memiliki lahan sagu slap panen yang sangat luas.
  3. Nilai tambah produk turunan dan produk samping sagu cukup tinggi (Pasar bagi produk turunan sagu yang belum tereksplorasi).

Berdasarkan potensi tersebut dan kondisi semakin terbatasnya sumber pangan dunia di tengah kondisi geopolitical dan perubahan iklim, maka sagu perlu didorong untuk menjadi salah satu alternatif penyediaan bahan pangan.

II. Metode

a. Pengumpulan Data dan Informasi
Pengumpulan data primer malalui kunjungan lapang Ke Kepulauan Meranti, pengumpulan data sekunder dari data stastistik perkebunan dan data lain.

b. FGD
FGD dilaksanakan dengan berbagai stakeholder sesuai dengan konsep kolaborasi pentahelik yang melibatkan antari lain pemerintah pusat dan pemerintah daerah, masyarakat khususnya pekebun sagu, pelaku usaha, akademisi, dan media.

c. Waktu dan Tempat
Pengumpulan data dan analisis dilaksanakan pada tahun 2023 – 2024

d. Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan untuk kegiatan ini adalah analisis deskriptif dan analisis usaha tani yang kemudian didukung dengan berbagai data.

III. Hasil dan Pembahasan

a. Budidaya sagu

Regenerasi tanaman sagu pada prisnipnya terjadi secara alami, karena dari satu pohon sagu akan menghasilkan beberapa anakan atau tunas yang menempel pada pangkal batang induknya. Anakan dari pohon sagu tersebut merupakan TBM (Tanaman Belum Menghasilkan) yang akan terus tumbuh menjadi TM (Tanaman Menghasilkan pada usia 8-12 tahun). Pada tanaman yang dibudidayakan, anakan atau tunas yang dijadikan benih akan dijarangkan atau diatur sedemikian rupa agar memiliki jarak tanam yang mencukupi dengan memilih anakan terbaik.

Pola pertumbuhan sagu ini akan menjaga jumlah populasi sagu dalam suatu Kawasan secara alami. Hingga saat ini kebutuhan akan sagu masih tergolong kecil (hanya untuk pemenuhan kebutuhan pangan lokal), sehingga populasi sagu masih dapat dipertahanjabn secara alami, namun apabila sagu didorong akan dikembangkan secara luas, maka diperlukan pengelolaan persediaan TBM sagu yang baik untuk menjaga produksi sagu.

b. Logistik Pengolahan Sagu

Sagu dipanen dalam bentuk tual (potongan batang pohobn sagu) untuk memeudahkan distribusi sagu ke lokasi pengolahan. Selama ini tual dipanen oleh tenaga kerja dengan harga yang disepakati baik untuk upah tenaga kerja maupun pembelian tual (batang pohon sagu). Penentuan harga tual maupun upah tenaga kerja menjadi salah satu penentu juga banyaknya bahan baku yang bisa diperoleh oleh industri pengolahan. Proses ini dapat menjadi faktor penentu yang berperan dalam mendatangkan bahan baku darti dan menuju lokasi kebun/hutan sagu ke industri pengolahan

c. Industri Pengolahan Sagu

Industri pengolahan memiliki kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan 2 subsistem sebelumnya, karena melibatkan lebih banyak komponen dalam prosesnya seperti teknologi (mesin), tenaga kerja, dan aktivitas pemasaran saat produk telah selesai diproduksi. Produk yang dihasilkan harus dapat dijual agar memberikan pemasukan bagi industri pengolahan. Semakin banyak produk yang terjual, maka perputaran proses pengolahan akan semakin cepat dan kemampuan untuk mengembangkan skala industri menjadi semakin baik pula. Akumulasi kapital yang terbentuk sangat bergantung kepada banyaknya produk yang terserap oleh pasar dan efisiensi sejak dari bahan baku.

Pengembangan sagu secara nasional meliputi pengembangan komoditas sagu secara menyeluruh melalui pendekatan kluster agribisnis dalam perencanaan pengembangannya. Selain itu konsep kolaborasi pentahelix digunakan dalam konteks pelibatan stakeholder. Hal ini dilakukan dengan tujuan optimasi berbagi potensi yang dimiliki komoditas sagu untuk memberikan nilai tambah optimal bagi para pelaku yang terlibat. Selain itu, aspek keberlanjutan sosial, ekonomi dan lingkungan dijadikan faktor utama yang mendasari penyusunan rancangan pengembangan komoditas sagu.

Dalam pelaksanaannya, pengembangan sagu membutuhkan perencanaan strategis yang terstruktur dan sistematis. Kegiatan harus dilakukan secara pararel pada berbagai tingkatan subsistem agribisnis sagu. Secara umum, elemen primer yang harus diprioritaskan dalam pengembangan sagu nasional terdiri dari penataan lahan prosuksi, peningkatan Kawasan sagu nasional terdiri dari penataan lahan produksi, peningkatan kapasitas SDM, pengembangan infrastruktur (on-farm dan off-farm). Selain itu, elemen sekunder yang harus ditingkatan terdiri dari moderenisasi perkebunan, optimasi jejaring stakeholders, serta peningkatan nilai tambah, daya saing dan pangsa pasar.

Selama 3 tahun awal, pembangian tahapan dalam kegiatan ini baru dirasakan pada ekspanis wilayah produksi. Dalam durawi waktu tersebut, selayaknya pembangunan infrastruktur yang dapat menunjang aktivitas produksi dan barang juga dilaksanakan di masing masing wilayah.

Berdasarkan potensi dan perhitungan analisis usaha, pengembangan sagu nasional dengan target pemenuhan kebutuhan tepung sagu sebanyak 1 juta ton (asumsi pengganti tepung terigu) akan efisien dilaksanakan secara pararel di 6 lokasi (3 Provinsi) dan dibagi menjadi 3 tahap (Gambar 4):

Tahap I (Tahap Persiapan):

Dilakukan di wilayah Provinsi Papua Barat, Riau dan Sulawesi Selatan dengan target luasan total sebesar 50.000 hektar. Untuk mengusahakan agar kegiatan panen daopat dilakukan setiap tahun, maka total luasan panen dibagi menjadi dua (25.000 ha per tahun). Berdasarkan pada asumsi produktivitas lahan sebesar 35 ton tual (batang sagu) per hektar. Dengan asumsi produksi tepung sagu berkisar anatara 7-14 ton per hektar per tahun. Dengan demikian, tahapan pertama ini ditargetkan produksi mencapai 304.500 ton per tahun atau sekitar 30% dari total target produksi.

Pada tahapan ini, penggunaan sumberdaya akan difokuaskna pada kegiatan yang bertujuan untuk membangun hal-hal yang akan dijadikan pondasi bagi keberlanjutan pelaksanaan program di tahun tahun berikutnya. Pelaksanaan kegiatan difokuskan pada Kawasan utama dengan potensi paling tinggi. Tahapan ini diawali sosialisasi, agar kegiatan difahami oleh setiap pelaku dalam Kawasan. Beberapa kegiatan yang harus dilaksanakan pada tahap ini antara lain:

  • Penyusunan dokumen action plan yang disinergikan dengan roadmap. Hal ini dilakukan untuk menjaga Langkah pemerintah daerah khususnya Kabupaten dalam mencapai visi yang sejalan.
  • Pembangunan infrastruktur berbasis data digital. Hal ini dilakuka. Dengan digitalisasi perekaman data untuk titik lokasi dan luasan wilayah yang masuk dalam kegiatan. Input data jumlah tanaman, permasalahan, kebutuhan dan keluhan di lapangan hendaknya dapat dilakukan secara realtime dan berkala sehingga monitoring dan evaluasi program berjalan dengan baik.
  • Ekstensifikasi dan intensifikasi tanaman yang dilakukan berdasarkan hasil identifikasi data digital.
  • Penyaluran bantuan sarana produksi, panen dan pasca panen serta pengolahan pada lokasi lokasi utama diikuti dengan pendampingan tim ahli dari pemerintah, swasta dan akademisi.
  • Pemetaan dan pengembangan jejaring stakeholder melalui forum diskusi untuk memetakan kepentingan dan peran masing masing dalam mendukung dan Kerjasama untuk pengembangan sagu nasional. Pertemuan dapat dilaksanakan beberapa kali hingga MoU untuk memastikan komitmen para stakeholder atas peran dan kontribusi yang disepakati masing-masing untuk keberhasilan kegiatan.
  • Pembentukan korporasi petani dan pemetaan petani milenial. Kelembagaan ekonomi petani yang berpotensi diintegrasikan akan menjadi salah satu pendorong berkembangnya sagu dan industri  pengolahannya. Hal ini juga dapat diakselerasi melalui keterlibatan petani milenial yang memliki krakteristik inovatif dan kreatif yang akan memberikan warna yang berbeda dan menjadi akselerator pembangunan pertanian di wilayahnya.

Tahap II (Tahap Pengembangan):

Dilakukan di wilayah yang sama, focus pada ekspansi lahan dengan target luasan total sebesar 70.000 ha. Dengan asumsi struktur sistem produksi yang sama, maka target total luas panen per tahun sebesar 35.000 hektar, yag diprediksi mampu menghasilkan 426.000 ton per tahun atau 42,6% dari total produksi. Dengan demikian, pada tahap ke-2 ini diharapkan produksi telah mencapai 70% dari total target.

Pada tahap ini harus dilaksanakan kegiatan kegiatan sebagai berikut:

  • Monitoring dan evaluasi kegiatan pada tahap I. kegiatan yang telah dilaksanakan dievaluasi untuk menjadi bahan pertimbangan pelaksanaan program berikutnya. Apabila ada kegiatan yang gagal, dicari penyebabnya dan diperbaiki atau tidak dilaksanakan lagi pada tahap berikutnya. Sebaliknya apabila kegiatan berjalan dengan baik, maka faktor pendukung tersebut dijadikan referensi pada kegiatan pada tahap II.
  • Pemutakhiran basis data digital
  • Lanjutan ekstensifikasi dan intensifikasi
  • Lanjutan pemberian bantuan saprodi, pasca panen serta pengolahan di wilayah sekunder dengan mengadopsi ide dan model pengembangan di tahap satu dengan kategori berhasil dan sangat berhasil
  • Pembangunan dan pemeliharaan insfrastruktur kebun.
  • Penguatan dan replikasi korporasi pekebun
  • Bimtek dan pendampingan petani

Tahap II (Tahapan Pemantapan):

Dilakukam di wilayah yang sama dengan fokus pada ekspansi lahan dengan target total luasan sebesar 100.000 hektar. Dengan asumsi struktur system produksi yang sama, maka target total luasan panen per tahun sebesar 50.000 hektar, yang diprediksi mampu menghasilkan 609.000 ton per tahun atau 61% dari total target produksi. Dengan demikian, di tahun ke-3 diharapkan pengembangan sagu mampu mencapai 130% dari target produksi.

Pada tahap ini harus dilaksanakan kegiatan kegiatan sebagai berikut:

  • Monitoring dan evaluasi kegiatan pada tahap II. kegiatan yang telah dilaksanakan dievaluasi untuk menjadi bahan pertimbangan pelaksanaan program berikutnya. Apabila ada kegiatan yang gagal, dicari penyebabnya dan diperbaiki atau tidak dilaksanakan lagi pada tahap berikutnya. Sebaliknya apabila kegiatan berjalan dengan baik, maka faktor pendukung tersebut dijadikan referensi pada kegiatan pada tahap III.
  • Pemeliharaan sumber benih dan nursery
  • Pemutakhiran basis data
  • Lanjutan ekstensifikasi, intensifikasi dan diversivikasi tanaman
  • Lanjutan pemberian bantuan saprodi, pasca panen serta pengolahan di wilayah tersier dengan mengadopsi ide dan model pengembangan di tahap pengembangan dengan kategori berhasil dan sangat berhasil
  • Pembangunan dan pemeliharaan insfrastruktur kebun.
  • Penguatan dan replikasi korporasi pekebun
  • Bimtek dan pendampingan petani

Setiap tahap pengembangan sagu direncanakan dengan 3 skenario, yaitu pesimis, moderat dan optimis dengan produktivitas dan harga pada masing masing skenario.

Berdasarkan tiga asumsi di atas, analisis usaha untuk masing-masing wilayah adalah sebagai berikut.

  • Riau (Kepulauan Meranti)
    • Nilai investasi per hektar untuk penataan dan pengolahan Rp.9.230.000;
    • Biaya produksi batang sagu per hektar: Rp.3.487.750,-
    • Biaya produksi tepung sagu per hektar: Rp.33.705.000
    • Total luas pengembangan 60.000 hektar

Pengembangan sagu di provinsi Riau memiliki keunggulan sebagai berikut:

  1. Agroeskosistem dan topografi lahan mendukung
  2. Keberadaan perusahaan swasta memungkinkan untuk Kerjasama dalam berbagai kegiatan
  3. Keberadaan Lembaga pekebun dan pengolah sagu
  4. Merupakan komoditas unggulan daerah

Pengembangan sagu di Provinsi Riau memiliki kelemahan sebagai berikut:

  1. Infrastruktur kebun masih sederhana
  2. Keterampilan dan kapasiyas SDM masih perlu dikembangkan
  3. Sistem transaksi yang berlaku di masyarakat masih kurang menguntungkan bagi petani
  • Sulawesi Selatan
    • Nilai investasi per hektar: Rp.16.475.000,-
    • Biaya produksi batang sagu per hektar: Rp.4.187.750,-
    • Biaya produksi tepung sagu per hektar: Rp.17.830.556,-
    • Total luas kawasan pengembangan 80.000 ha

Pengembangan sagu di Provinsi Sulawesi Selatan memiliki keunggulan agroekosistem dan topologi lahan yang mendukung, sedangkan kekurangannya adalah  infrastruktur kebun masih sederhana, keterampilan dan kapasitas SDM masih perlu dikembangan dan system transaksi yang perlu dikembangkan

  • Papua Barat
    • Penataan dan pengolahan Nilai investasi per hektar: Rp.19.085.000,-
    • Biaya produksi batang sagu per hektar: Rp.5.762.750,-
    • Biaya produksi tepung sagu per hektar: Rp.18.161.111
    • Total pengembangan Kawasan 80.000 hektar

Keunggulan pengembangan sagu di Papua Barat:

  • Agroeksistem dan topografi lahan mendukungmendukung
  • Budaya masyarakat sekitar yang sesuai
  • Merupakan komoditas unggulan daerah

Kelemahan pengembangan sagu di Papua Barat:

  • Infrastruktur kebun masih sederhana
  • Infrastruktur sekitar sangat terbatas
  • Keterampilan dan kapasitas SDM masih perlu dikembangkan
  • Biaya SDM mahal
  • Lokasi Jauh

IV. Kesimpulan dan Rekomendasi

a. Kesimpulan

Berdasarkan potensi dan analisis kelayakan usaha, pengembangan sagu secara nasional layak untuk dilaksanakan secara bertahap dengan fokus pada kaawasan yang memeiliki potensi tinggi. Tahapan dilakukan melalui 3 tahap selama kurun waktu 3 tahun dengan mempertimbangkan potensi produksi dan potensi harga di masing-masing wilayah

b. Rekomendasi

  • Penataan lahan sagu apabila dilaksanakan secara terpisah tidak layak, sehingga kegiatan harus dilaksanakan secara terpadu dengan pengolahan tepung sagu.
  • Pengaruh harga jual batang sagu lebih sensitive dalam mempengaruhi keuntungan petani dibandingkan produktivitas. Prioritas pemerintah adalah menjaga kestabilan harga dengan menentukan harga terendah.
  • Sebagian biaya investasi ditanggung APBN malalui berbagai skema untuk mengurangi beban investor dan masyakarat. Hal ini dapat meningkatkan nilai kelayakan usaha dan menjadi stimulant bagi para pelaku.
  • Pengembangan sagu di wilayah timur khususnya Papua sebaiknya diperuntukan untuk pasar lokal dan wilayah sekitarnya. Hal ini mempertimbangkan tingginya biaya logistic dan biaya operasional, sehingga sangat sulit untuk menetapkan harga jual yang dapat bersaing dengan wilayah barat.
  • Perluasan pasar produk sagu perlu dilakukan dengan Gerakan sagu nasional untuk mengenalkan dan mengajak masyakarat untuk mengenal dan menyukai prosuk olahan sagu sebagai alternatif pangan. Kegiatan ini misalnya dapat dilakukan dengan menyediakan menu sagu seminggu sekalia atau dua kali pada pemberian makan siang ggratis atau menjadikan sagu sebagai salah satu makanan wajib pada rapat atau kegiatan kantor di Pemda, sekolah atau restoran (daerah wisata).

Bagikan Artikel Ini