KEMENTERIAN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

Produsen Kakao Nomor Satu Bisa Dicapai .

Diposting     Kamis, 14 Juli 2011 11:07 pm    Oleh    ditjenbun



Cita-cita menjadi produsen kakao nomor satu bagi Indonesia bukanlah hal yang mustahil untuk  dicapai. Dengan luas lahan mencapai 1,5 juta ha maka  bila  produktivitas mencapai 1 ton/ha saja  produksi kakao Indonesia bisa mencapai 1,5 juta ton atau melebihi Pantai Gading  yang mencapai 1,3 juta ha.”Kalau hal ini bisa tercapai maka Indonesia menjadi produsen nomor satu dunia” kata Azwar AB, Direktur Rempah Penyegar pada Rakornas  Kakao, di Badung.

Gerakan Nasional  Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao (Gernas Kakao) dengan rehabilitasi bisa memacu produktivitas sampai 1,6 ton/ha, sedang peremajaan dan intensifikasi mencapai 1,2 ton/ha, dari semula yang hanya mencapai 800 kg/ha. Kenaikan produktivitas kakao juga akan diikuti dengan peningkatkan kesejahteraan petani kakao. “Cita-cita menjadi produsen kakao terbesar adalah perwujudan untuk meningkatkan kesejahteraan petani kakao. Kondisi kakao nasional sudah baik hanya belum yang terbaik”kata Azwar lagi.

Saat ini kementerian lain di luar Kementerian Pertanian begitu optimistis dengan kakao Indonesia. Kementerian Perindustrian mencanangkan kebangkitan Industri Kakao, Kementerian Keuangan mencanangkan devisa USD500 miliar dan kakao menjadi salah satu kontributornya. “Sanggupkah kita menjawab optimisme pihak lain terhadap kakao, ini yang menjadi tantangan bagi kita semua” kata Azwar lagi kepada seluruh pemangku kepentingan kakao yang memenuhi ball room hotel Grand Aquila.

Saat ini ada Gernas Kakao yang bisa dijadikan dasar untuk optimis. Hal yang harus diantisipasi adalah kalau tiba-tiba gernas kakao selesai tahun ini juga apakah kakao di Indonesia akan   kiamat atau tidak. Harus ada solusinya dan kluster industri kakao merupakan konsep yang disiapkan untuk mengantisipasi hal ini. Kluster industri kakao adalah penyatuan dalam satu wilayah sehingga mencapai skala ekonomi baik dari sisi bisnis dan industri.

Saat ini data kakao terutama ekspor masih bervariasi. Kalau ekspor turun biasanya para analis menyimpulkan bahwa produksi turun. Bisa jadi sebenarnya konsumsi di dalam negeri meningkat. Saat ini konsumsi perkapita 0,2-0,4 kg/tahun, ICCO menyebutkan 0,56 kg, tetapi Azwar mensinyalir bisa saja mencapai 1 kg/tahun. “Saya sudah usulkan untuk survey sehingga bisa diketahui data konsumsi di dalam negeri, sebab bisa jadi konsumsi dalam negeri besar”katanya.

Sekarang  semua hal soal kakao prospeknya seolah-olah sangat tergantung pada gernas. Padahal gernas kakao hanya membiayai pada tahun pertama, sedang tahun ke dua dan ketiga diharapkan dapat diperoleh dari revitalisasi. Kredit revitalisasi perkebunan  merupakan peluang untuk   membiayai tanaman kakao. Lahan sudah ada sertifikat sudah ada sehingga dari sisi ini sebenarnya kredit revitalisasi perkebunan bisa digunakan untuk kakao.

Selama ini petani kakao belum-belum sudah pesimistis bahwa bank tidak tertarik pada kakao dan tidak mau membiayai kakao. Buktinya Lembaga Ekonomi Masyarakat Sejahtera Sulawesi Tenggara bisa mendapat kredit revitalisasi dari BRI cabang Kendari.”Hal ini membuktikan kita jangan pesimistis, benahi administrasinya. Bank Indonesia sendiri tertarik dengan prospek kakao dan mereka melihat layak dibiayai”katanya.

Gernas jangan jadi satu-satunya andalan, kalau hanya mengandalkan gernas saja ambisi untuk menjadi nomor satu akan lama mencapainya. Potensi lain masih bisa digunakan seperti revitalisasi, kluster industri dan lain-lain.

Kakao fermentasi menjadi kata kunci untuk mengubah image kakao Indonesia yang berkualitas jelek.  Sistim sertifikasi kakao sekarang sudah mulai disusun dan pemerintah yang akan menentukan prinsip, indikator dan kriterianya. Pemerintah juga yang akan menentukan siapa pelaksananya.LSM sudah ada yang masuk untuk melakukan sertifikasi versi mereka, tetapi nanti pemerintah yang menentukan.

Untuk mendapatkan nilai tambah kakao juga harus  berani masuk membuat sertifikasi indikasi geografis. Hal ini sudah biasa di kopi dan sertifikat ini member nilai tambah karena harga yang lebih tinggi. Kakao di daerah-daerah tertentu punya aroma yang khas yang tidak bisa didapat  di daerah lain sehingga indikasi geografis ini memungkinkan.

Gamal Nasir, Dirjen Perkebunan menyatakan kakao yang masuk dalam program gernas untuk pembiayaan selanjutnya menghadapi kendala bahwa lahan mereka belum sertrfikat. Gamal mengingatkan ketika pertama kali Kementerian Pertanian mengadakan MoU dengan empat Gubernur se Sulawesi untuk mengadakan gernas salah satu klausul tugas pemda adalah membantu petani melaksanakan  sertifikasi lahan. “Tolong pemda laksanakan tugasnya, sejauh mana pemda sudah merealisaikan kesepakayan ini. Soal RTRWP maka Kementerian Pertanian akan berusaha menyelesaikanya dengan Kementerian Kehutanan”katanya.

Rismansyah  Danusaputra, Direktur Tanaman Tahunan, mengakui krediit revitalisasi sebagian besar masih untuk kelapa sawit, kemudian karet dan kakao yang terkecil. Padahal lahan petani yang mendapat program gernas kakao  jelas, petaninya juga  jelas dan mereka memerlukan  pembiayaan untuk pemeliharaan tahun ke 2 dan ke 3. Realisasi untuk kakao hanya mencapai Rp37 m. Masalah masih berputar disekitar lahan , petani dan sertifikat. Di beberapa  daerah RTRWP sudah  clear sedang di daerah lain masih  tumpang tindih dengan kehutanan sehingga perlu dicarikan jalan keluar. Aturan di bank sendiri sangat ketat tetapi bank ada yg tertarik pada kakao.

Hendrajat Natawidjaja, Direktur Pasca Panen dan Pembinaan n Usaha menyatakan kakao fermentasi merupakan tuntutan pasar global. Kalau peningkatan produksi kakao fermentasi bisa  dipercepat maka bisa mengangkat keunggulan komparatif  kakao Indonesia. Kakao fermentasi dengan aroma khas pangsa pasarnya mencapai 85%. Unit pengolahan bisa diperluas dan menyebar secara merata sebab sekarang masih berupa spot-spot.

Dalam Gernas kakao tahun 2010 unit pengolahan ini kurang diperhatikan sedang tahun  2011 harus unit pengolahan bji harus bisa operasional. SNI kakao bubuk sudah wajib, SNI biji kakao juga sudah wajib sejak Oktober 2010, sudah saatnya melakukan hal nyata dalam kakao fermentasi ini.

Tahun 2010 ada 29 unit fermentasi kakao di 29 kabupaten dan  6 propinsi tetapi  pada umumnya unit fermentasi belum berjalan karena bahan baku terbatas dan belum ada kemitraan yang bisa menjamin pasar. Unit ini dibangun pada bulan Desember sehingga tahun berikutnya tidak mendapatkan bahan baku. Tahun 2011 diharapkan unit pengolahan bisa dibangun bulan Juni dan Juli sehingga bisa langsung jalan karena biasnya sesudah Juli panen besar kakao terjadi. “Saya minta pelaksana jemput bola untuk mendorong operasional unit pengolahan, tanpa ini maka fermentasi tidak akan berjalan”katanya.

Unit pengolahan yang  tidak operasional karena  tidak ada bahan baku akibat serangan   hama penyakit dan  perubahan iklim juga  tidak ada kemitraan harus diatasi. Bentuk kemitraan untuk menjaga kontinuitas biji dengan membuat regu pengendalian hama penyakit. Dibicarakan bagaimana dari hasil panen bisa disisihkan biaya untuk regu pengendalian ini.

Regu ini melakukan pemangkasan dan pembersihan sehingga tidak tergantung pada kerajinan petani. Kondisi petani ada beragam ada yang malas dan rajin, dengan adanya regu ini maka pemangkasan, sanitasi bisa dilakukan pihak lain yang dibayar khusus, hasilnya pasokan biji kakao tidak dirongrong oleh hama penyakit yang membuat produksi dan kualitas turun.

Untuk mendorong petani melakukan fermentasi perlu juga dibuat Keputusan Menteri Pertanian soal harga kakao  fermentasi. Fermentasi kakao perlu dilaksanakan dalam jumlah besar sehingga semakin banyak kakao yang difermentasi. Operasional dari pasca panen sampai pemasaran perlu dilakukan dalam satu atap.

Nurnowo Paridjo, Direktur Perlindungan Perkebunan menyatakan masih banyak kendalayang dihadapi dalam upaya meningkatkan produksi dan mutu kakao, tetapi kemajuanya masih sedikit. “Soal bank misalnya dikatakan bank masih alergi pada kakao, apakah masalahnya bukan karena kita tidak berhasil meyakinkan bank untuk membiayai kakao” katanya.

Dalam  10 tahun terakhir produktivitas kakao hanya 660 kg/ha, padahal pernah mencapai 1100 kg/ha. Dari gernas ternyata lahan petani ada yang potensi mencapai  2 ton/ha sehingga  mimpi menjadi produsen kakao nomor  satu dunia tidak mustahil dicapai lewat peningkatan produktivitas.

Organisme Penganggu Tanaman menyerang hampir seluruh tanaman kakao dan tidak ada lahan yang bebas. Kehilangan hasil akibat OPT tiap tahun  mencapai  198.000 ton dengan nilai Rp3,96 triliun. Automatic detention menyebabkan Indonesia kehilangan devisa sampai USD 5,35 miliar  disamping  citra kakao Indonesia sebagai kakao bermutu jelek.

Sambung samping di gernas kakao seharusnya bebas VSD tetapi sekarang sudah ada yang terserang. OPT dulu yang dianggap sepele sekarang sudah jadi OPT yang mematikan yaitu hawar daun kuda.Peramajaan dan rehabilitasi gernas kakao sudah mulai tertular, sedang peremajaan belum banyak.

Bibit  SE yang sudah ditanam umumnya tidak  keberadaan  tanaman pelindung diabaikan, padahal kakao  perlu naungan. Akibat tidak harmonisnya keseimbangan cahaya dan unsur hara sehingga muncul  opt. “Kalau petani rajin masuk kebun melakukan sanitasi minimal 2 jam sehari saja sebenarnya masalah OPT ini bisa diatasi” katanya.

Bagikan Artikel Ini