Definisi Lahan Gambut, Dari Ketidakjelasan Menjadi Jelas.
Diposting Selasa, 10 Juli 2012 10:07 pmLokakarya dilaksanakan pada tanggal 8 Agustus 2012 di Gedung Kementerian BUMN, yang dibuka oleh Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim, dan dihadiri oleh perwakilan dari Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, LAPAN, BAPPENAS, Kementerian Dalam Negeri, BAKOSURTANAL, BPN, UKP4, BPPT, Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Pekerjaan Umum, Akademisi, Asosiasi, LSM, Swasta, Kedutaan, Donor, Organisasi dan Swasta Internasional.
Definisi gambut yang diperoleh merupakan ringkasan definisi gambut dari tiga kementerian yaitu; Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pertanian dan Kementerian Kehutanan. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup ‘tanah gambut’ sebagai tanah hasil penumpukan bahan organik melalui produksi biomassa hutan hujan tropis (PERMEN LH No.7/2006). Kementerian Pertanian mendifinisikan ‘gambut’ sebagai tanah hasil akumulasi timbunan bahan organik dengan komposisi lebih besar dari 65% yang terbentuk secara alami dalam jangka waktu ratusan tahun dari lapukan vegetasi yang tumbuh di atasnya yang proses dekomposisinya terhambat suasana anaerob dan basah (PERMENTAN No.14/Permentan/PL.110/2009). Kementerian Kehutanan mendifinisikan ‘gambut’ sebagai satu formasi pohon-pohon yang tumbuh pada kawasan yang sebagian besar terbentuk oleh sisa-sisa bahan organik yang tertimbun dalam waktu lama. Oleh karena itu ‘gambut’ adalah sisa-sisa bahan organik yang tertimbun dalam waktu yang lama (PERMENHUT No.P69/Menhut-II/2011). Dari ketiga kementerian tersebut hanya Kementerian Pertanian yang menyebutkan secara semi-kuantitatif sehingga perlu dikembangkan untuk dapat mengakomodasi persyaratan definisi lahan gambut yang dapat diadopsi untuk semua tujuan.
Metode Delineasi (penggambaran) Lahan Gambut diklasifikasikan menurut kedalaman gambut, lapisan gambut, daerah hidrologi lahan gambut dan pemanfaatan lahan gambut.
Untuk penggambaran berdasarkan klasifikasi tersebut akan dilaksanakan menggunakan metode citra satelit dan metode ground measurement, namun metode tersebut memiliki kelemahan masing-masing. Metode citra satelit dengan akurasi yang rendah dan metode ground measurement membutuhkan waktu lama dengan biaya tinggi. Sehingga diusulkan supaya menggunakan metode citra satelit dengan perbandingan 1:25.000 yang dikombinasi dengan ground measurement pada lokasi-lokasi terpilih yang segera untuk dilakukan pemanfaatan/penanganan.