KEMENTERIAN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

Dari Ladang ke Pasar: Hilirisasi Demi Kesejahteraan Petani

Diposting     Rabu, 16 Juli 2025 01:07 pm    Oleh    ditjenbun



Jakarta – Sektor pertanian Indonesia memiliki peran strategis dalam menopang perekonomian nasional sekaligus menjadi sumber penghidupan bagi jutaan rakyat.
Pada tahun 2024, kontribusi sektor ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai sekitar 12,6 persen, dengan subsektor tanaman perkebunan sebagai penyumbang utama.

Produk perkebunan juga mendominasi ekspor pertanian, mencakup 97 persen dari total nilai ekspor sebesar Rp622 triliun pada 2022, dan nilainya diperkirakan terus meningkat. Kelapa sawit menjadi komoditas unggulan, menyumbang sekitar 75 persen dari total ekspor pertanian.

Besarnya kontribusi ini menunjukkan bahwa perkebunan merupakan pilar penting dalam struktur ekonomi dan perdagangan Indonesia.

Selain nilai ekonomi yang signifikan, sektor perkebunan juga memainkan peran besar dalam penyerapan tenaga kerja dan penguatan ekonomi pedesaan. Berdasarkan Sensus Pertanian 2023, sekitar 10,8 juta rumah tangga menggantungkan hidupnya pada usaha perkebunan, yang sebagian besar dikelola oleh pekebun rakyat di lahan terbatas.

Industri kelapa sawit sendiri menyerap lebih dari 16 juta tenaga kerja di sepanjang rantai pasoknya, sementara perkebunan karet menopang kehidupan sekitar 2,5 juta keluarga petani.

Namun, potensi besar ini belum sepenuhnya dioptimalkan karena masih kuatnya kebergantungan pada ekspor bahan mentah, yang berdampak pada rendahnya nilai tambah dan kesejahteraan petani.

Ekspor bahan mentah
Selama beberapa dekade, model bisnis perkebunan Indonesia cenderung berorientasi pada ekspor bahan mentah. Hasil bumi seperti kopi, kakao, dan karet diekspor dalam bentuk biji mentah atau olahan minimal, sementara negara lain menikmati nilai tambah dari pengolahan dan penjualan produk akhirnya.

Contohnya, meskipun Indonesia termasuk produsen kopi terbesar dunia, sekitar 98 persen ekspornya masih berupa biji kopi mentah. Hal serupa terjadi pada kakao dan karet, yang sebagian besar diekspor dalam bentuk dasar, bukan sebagai produk jadi bernilai tinggi seperti cokelat, ban, atau barang karet lainnya.

Akibatnya, keuntungan terbesar justru dinikmati oleh negara pengolah dan merek asing, bukan oleh petani dan pelaku industri di dalam negeri.

Kebergantungan pada ekspor bahan mentah membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global dan berbagai kebijakan proteksionis negara tujuan ekspor. Petani dan pelaku usaha lokal sering terpukul ketika harga global anjlok, karena tidak ada penopang nilai tambah di dalam negeri.

Selain itu, pasar ekspor semakin menuntut standar tinggi. Tanpa kemampuan mengolah hasil pertanian secara mandiri dan mendiversifikasi pasar, posisi tawar Indonesia di pasar internasional menjadi lemah dan devisa negara pun terancam jika terjadi pembatasan impor.

Padahal, potensi hilirisasi komoditas perkebunan di Indonesia sangat besar dan belum tergarap optimal. Kelapa sawit bisa menghasilkan ratusan produk turunan mulai dari makanan, kosmetik, hingga biofuel. Demikian pula kelapa dapat diolah menjadi VCO, gula kelapa, santan instan, dan briket tempurung.

Komoditas lain seperti rempah dan minyak atsiri juga memiliki pasar bernilai tinggi jika diolah menjadi parfum, obat herbal, atau produk makanan premium. Hilirisasi bukan hanya meningkatkan nilai tambah, tetapi juga memperkuat industri nasional, meningkatkan pendapatan petani, dan menciptakan efek ganda bagi ekonomi daerah serta ketahanan ekonomi nasional secara keseluruhan.

Lapangan kerja dan pemerataan
Hilirisasi komoditas perkebunan tidak hanya berdampak pada peningkatan nilai tambah secara ekonomi, tetapi juga mendorong terwujudnya pertumbuhan yang lebih inklusif dan berkualitas.

Dengan berkembangnya industri pengolahan di sekitar sentra-sentra produksi, tercipta lapangan kerja baru bagi masyarakat pedesaan, terutama generasi muda, sebagai teknisi, operator, pengemas, hingga tenaga pemasaran. Ini mengurangi ketimpangan wilayah karena aktivitas industri tidak lagi terpusat di kota besar.

Hilirisasi juga memberikan efek ganda bagi perekonomian: meningkatkan devisa melalui ekspor produk olahan dan sekaligus menekan impor barang jadi, sehingga memperkuat neraca perdagangan nasional.

Bagi petani, hilirisasi membuka peluang untuk berperan lebih dalam rantai nilai domestik. Mereka tidak hanya menjadi pemasok bahan mentah, tetapi juga bisa bermitra dalam proses pengolahan awal seperti penggilingan kopi, fermentasi kakao, atau penyulingan minyak atsiri, sehingga mendapatkan nilai tambah yang lebih besar.

Hilirisasi mendorong petani untuk menerapkan praktik budidaya yang lebih baik guna memenuhi standar industri, yang berujung pada peningkatan kualitas dan harga jual produk. Selain itu, keberadaan industri hilir di dalam negeri dapat menjaga stabilitas harga di tingkat petani, karena ada serapan domestik yang mampu meredam dampak fluktuasi harga global.

Dukungan pemerintah
Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen yang konsisten dalam mendorong hilirisasi sektor perkebunan sebagai bagian dari transformasi ekonomi nasional. Dalam RPJMN 2020–2024, hilirisasi industri berbasis sumber daya alam, ditetapkan sebagai prioritas strategis pembangunan.

Komitmen ini dilanjutkan oleh pemerintahan periode 2025–2029 yang tetap menjadikan hilirisasi sebagai agenda utama. Keberlanjutan arah kebijakan ini mencerminkan tekad pemerintah untuk memaksimalkan nilai tambah dalam negeri dari kekayaan alam yang melimpah, sekaligus memperkuat fondasi industri nasional.

Dari aspek regulasi, upaya reformasi dilakukan melalui Undang-Undang Cipta Kerja dan berbagai peraturan turunannya. Perizinan dipermudah melalui sistem OSS (Online Single Submission), dan insentif fiskal seperti tax holiday serta tax allowance diberikan kepada investor di sektor hilir agro.

Skema pembiayaan juga diperkuat, seperti peningkatan plafon Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk sektor pertanian, yang membuka peluang bagi koperasi petani dan UKM agribisnis untuk mengembangkan usaha pengolahan. Regulasi ini dirancang untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif dan inklusif di tingkat lokal maupun nasional.

Kebijakan sektoral turut memperkuat hilirisasi di tingkat komoditas. Untuk sawit, pemerintah menerapkan bea keluar progresif terhadap ekspor CPO dan mendukung program mandatori biodiesel (B40–B50), yang mendorong tumbuhnya industri hilir seperti oleokimia dan biofuel.

Di sektor kakao, pajak ekspor biji mentah berhasil meningkatkan kapasitas pengolahan dalam negeri, menjadikan Indonesia sebagai salah satu pengolah kakao terbesar di dunia. Pemerintah juga membangun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) untuk menarik investasi dengan fasilitas fiskal dan kemudahan perizinan.

Langkah ini diikuti oleh penguatan kelembagaan, melalui pembentukan Direktorat Hilirisasi Hasil Perkebunan di Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian, yang kini tengah mengkaji model bisnis, kebutuhan tenaga kerja, dan penyelesaian legalitas lahan rakyat.

Meski kerangka kebijakan dan institusi pendukung telah disiapkan, tantangan implementasi tetap besar. Minimnya infrastruktur di wilayah terpencil, tingginya risiko investasi, keterbatasan SDM dan inovasi teknologi, serta belum sinkronnya regulasi pusat dan daerah, menjadi hambatan utama.

Banyak UMKM dan koperasi petani masih kesulitan mengakses pembiayaan dan dukungan teknis untuk masuk ke sektor hilir. Kemitraan yang inklusif antara petani dan industri juga penting untuk memastikan bahwa manfaat hilirisasi dirasakan secara merata.

Dengan roadmap yang terukur dan pelaksanaan yang konsisten, hilirisasi dapat menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi yang adil, berkelanjutan, dan menyejahterakan petani.

Penulis: 
Kuntoro Boga Andri, S.P., M.Agr., PH.D.
Direktur Hilirisasi Hasil Perkebunan
Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian


Bagikan Artikel Ini