HARI PERKEBUNAN-Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah sudah membuat Peraturan Daerah yang mewajibkan perusahaan perkebunan membangun plasma minimal 20% dari lahan yang ditanaminya. Sekarang yang baru teralisir mencapai 11% dan dengan perda ini maka 20% diharapkan bisa cepat tercapai. Wakil Gubernur Kalimantan Tengah, Achmad Diran menyatakan hal ini pada pembukaan workshop Hari Perkebunan.
Dengan perda ini maka bupati/walikota di larang mengeluarkan ijin bila perusahaan besar perkebunan tidak mencantumkan dimana saja akan dibangun plasma seluas 20% itu. Lahan plasma harus berada di areal HGUnya. Sedang bagi perusahaan perkebunan lama tetap diwajibkan membangun plasma. Bila lahan perusahaan sudah terpakai semua maka bupati/walikota akan mencarikan lahan bagi perusahaan itu untuk membangun plasma. Kalau tidak maka tidak akan dikeluarkan ijin untuk replanting dan perpanjangan.
“Saya ingin rakyat menjadi raja di daerahnya sendiri. Saya tidak ingin rakyat jadi sulit karena ada perkebunan di daerahnya” kata Diran.
Agus Pakpahan, Ketua Badan Eksekutif Gabungan Asosiasi Perkebunan Indonesia menyatakan pasal 11 ini terkesan model yang baik. Tetapi berdasarkan pengalaman selama ini terjadi banyak potensi penyimpangan dalam penyelenggaraanya. Karena itu lebih baik masyarakat diberi HGU seperti Felda Malaysia dengan berbagai penyesuaian. Lahan yang ada diprioritaskan bagi petani sedang pengusaha membangun industri pengolahan secara terpisah.
Mengenai dampak putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan pasal 21 berserta penjelasanya, pasal 47 ayat 1 dan 2 UU no 18 tahun 2004 ,menurut Tuti Rianingrum dari Kementerian Hukum dan Ham maka bila ada sengketa kepemilikan lahan bisa menggunakan pasal 9 ayat 2 UU no 18 tahun 2004, diselesaikan secara perdata atau menggunakan KUHP.
Achmad Mangga Barani menyatakan pencabutan ini harus diselesaikan, sebab jika tidak diakomodir akan jadi masalah. Ada pasal 21 saja perusakan kebun terus berjalan apalagi kalau dicabut akan menjadi pintu masuk banyak hal. Penyelesaianya adalah dengan menggunakan KUHP.
Melihat hal ini mala UU no 18 tahun 2004 tentang perkebunan mungkin sudah waktunya direvisi semuanya. Diantaranya pasal-pasal yang sangat riskan dan saat ini tidak berjalan adalah passl 19 ayat 2 tentang pembentukan dewan komoditas. Tujuanya seperti dewan komoditas di Malaysia tetapi hasilnya sama sekali berbeda.
Kemudian pasal l 43 tentang pengumpulan dana untuk pengembangan sumber daya manusia, promosi dan penelitian. Peraturan Pemerintahnya sudah ada tetapi bisa operasional karena bertentangan dengan UU keuangan. Padahal di negara tetangga hal ini masih laksanakan yaitu Malaysia dengan ces sawit dan Thailand untuk karet.
Mengenai ketersediaan lahan untuk perkebunan, Gunawan Setiadi Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Kalimantan Tengah menyatakan tanah yang bisa digunakan untuk perkebunan di Kalteng adalah di Kawasan Pengembangan Produksi ( berdasarkan Perda Kalteng no 8 tahun 2003 tentang RTRWP) seluas 2.974.395 ha (18,3% dari luas Provinsi Kalteng); Areal Penggunaan Lain berdasarkan SK Menhut no 292 tahun 2011 seluas 1.168.656 ha atau 7,6% dari luas Kalteng;APL hasil perubahan setelah dikurangi APL yang masuk pada penundaan ijin baru, APL yang masuk pada HGU dan APL yang masuk kawasan transmigrasi dengan luas 879.556 ha (5,7% dari luasKalteng) dan Hutan Produksi Konversi,
Gunawan lebih setuju bila APL untuk rakyat supaya tidak ada masalah bila disertifikasi sedang pengusaha sebaiknya menggunakan Hutan Produksi Konversi dengan minta pelepasan pada Menhu