KEMENTERIAN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

Workshop Penyempurnaan Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.

Diposting     Senin, 23 April 2012 11:04 pm    Oleh    ditjenbun



Dalam kurun waktu sejak ditetapkannya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, terdapat pemberian perizinan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur sesuai kewenangannya yang belum sesuai dengan maksud aturan sehingga sering terjadi ketidakpuasan dari penerima izin. Hal tersebut tidak hanya disampaikan oleh pengusaha sendiri namun juga dari berbagai kalangan baik pihak Asosiasi, Dinas Perkebunan maupun masyarakat/pekebun dan pihak terkait lainnya.

Menteri Pertanian Suswono menyampaikan hal tersebut pada acara Workshop Penyempurnaan Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan yang dilakasanakan pada hari Rabu, tanggal 18 April 2012 bertempat di Ruang Binakarna Hotel Bidakara Jakarta.

Dalam laporan Direktur Jenderal Perkebunan, Gamal Nasir kepada Menteri Pertanian disampaikan bahwa terkait penyempurnaan Permentan Nomor 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan Tim Direktorat Jenderal Perkebunan bersama dengan Biro Hukum dan Informasi Publik Kementerian Pertanian, telah membahas penyempurnaan Permentan Nomor 26 Tahun 2007 secara intensif sejak tahun 2010 dengan berbagai pihak.

“Workshop Penyempurnaan Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan dihadiri oleh 150 (seratus lima puluh) peserta yang terdiri dari para pejabat di lingkup Kementerian Pertanian dan instansi terkait di Pusat, dinas yang membidangi perkebunan provinsi se-Indonesia, perusahaan perkebunan negara/swasta, perbank-kan, dewan komoditas perkebunan, asosiasi petani perkebunan, lembaga penelitian perkebunan dan lembaga swadaya masyarakat” kata Gamal.

Menurut Mentan beberapa permasalah yang dihadapi adalah kewajiban perusahaan untuk membangun kebun masyarakat seluas 20 % dari kebun yang diusahakan perusahaan. Beberapa hal yang belum diatur dalam hal ini antara lain tentang penyediaan lahan untuk kebun masyarakat, waktu pelaksanaannya, penentuan calon petani dan calon lahan, bentuk perjanjian antara perusahaan dengan dengan masyarakat, pembayaran nilai pembangunan kebun serta tidak tersedianya lahan untuk pembangunan kebun masyarakat.

“Masalah lain yang terjadi yaitu penyediaan lahan untuk mendukung kapasitas unit pengolahan khususnya untuk komoditas kelapa sawit” kata Suswono. Dalam aturan yang ada sekarang, ditetapkan bahwa untuk memeproleh izin usaha perkebunan pengolahan (IUP-P), perusahaan harus menyediakan lahan guna memasok bahan baku sekurang-kurangnya 20% dari kapasitas unit pengolahan.

Masalah terjadi manakala tidak tersedianya lahan di sekitar pabrik, terutama untuk pabrik pengolahan kelapa sawit yang sudah terlanjur berdiri dan beroperasi namun tidak dapat memenuhi kewajiban pemenuhan pasokan bahan baku dari kebun yang diusahakan sendiri. Bentuk kemitraan yang dilakukan, memungkinkan terjadinya rebutan bahan baku antar perusahaan pengolah yang menyebabkan terjadinya  inefesiensi kegiatan pengolahan.

Mentan berharap dengan diselenggarakannya workshop ini, maka terdapat masukan terhadap penyempurnaan Permentan Nomor 26 Tahun 2007, sehingga dapat mengurangi atau meniadakan permasalahan dalam pemberian dan pelayanan izin usaha perkebunan.

Kita sudah cukup lama meminta masukan dari berbagai pihak, ini merupakan pertemuan terakhir kita untuk menerima masukan dari seluruh stakeholder perkebunan, setelah ini akan segera kita keluarkan Permentan hasil revisi” kata Suswono.

Bagikan Artikel Ini