Penerapan Sistem Jaminan Mutu Dan Keamanan Pangan Komoditi Strategis Perkebunan.
Diposting Jumat, 22 April 2016 07:04 pmMataram (21/04/16), Untuk meningkatkan mutu produk kakao dan karet dalam kaitan dengan penguatan implementasi Peraturan Menteri Pertanian No. 67 Tahun 2014 tentang Persyaratan Mutu dan Pemasaran Biji Kakao dan Peraturan Menteri Pertanian No. 38 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengolahan dan Pemasaran Bokar, Ditjen Perkebunan menyelenggarakan pertemuan teknis Penerapan Sistem Jaminan Mutu dan Pengawalan Regulasi Teknis di Puri Saron Hotel Senggigi, NTB, 20-22 April 2016.
Pertemuan dihadiri Inspektur III Itjen Kementan, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Nusa Tenggara Barat, serta perwakilan dari 17 Dinas Perkebunan Provinsi/Yang Membidangi Perkebunan yang memiliki dana dekonsentrasi kegiatan penerapan sistem jaminan mutu. Dalam sambutan pembukaan pertemuan, Dedi Junaedi, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, menyampaikan bahwa dalam Era Pasar Global, paling sedikit terdapat 4 (empat) isu utama yang sangat mempengaruhi perdagangan produk perkebunan, yaitu Keamanan Pangan (Food Safety Issue), Mutu dan Standar (Wholesomness Issue), Ramah Lingkungan (Environmental Issue) dan Sosial (Social Issue), termasuk Kesehatan, Keamanan dan Keselamatan Kerja. Niat baik Pemerintah untuk mendorong petani melakukan fermentasi biji kakao dan Bokar bersih tidak akan dapat berjalan dengan baik, apabila tidak ada dukungan dari Pemerintah Daerah, industri dan asosiasi di bidang perkebunan serta konsumen.
Dedi Junaedi menjelaskan bahwa, tuntutan konsumen terhadap standar mutu suatu produk baik pangan maupun non pangan sudah tidak bisa dihindarkan lagi. Penerapan jaminan mutu merupakan langkah penting bagi pelaku usaha untuk mendapatkan pengakuan formal terkait dengan jaminan mutu yang diwujudkan dalam bentuk sertifikat. Sertifikat tersebut merupakan alat bukti Penerapan Sistem Manajemen Mutu dan dapat menjadi jaminan keberterimaan pangan baik dipasar domestik maupun internasional. “Bagi Indonesia, kakao dan karet menjadi komoditas perkebunan utama dalam perdagangan, memiliki nilai yang strategis dan merupakan sumber penyumbang devisa terbesar setelah kelapa sawit dan kopi. Oleh karena itu kakao dan karet akan menjadi program prioritas perkebunan dalam beberapa tahun mendatang,” jelasnya.
Lebih lanjut Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan menjelaskan bahwa, Indonesia merupakan penghasil kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Berdasarkan data statistik kakao Indonesia tahun 2015 (data sementara BPS), luas lahan kakao Indonesia mencapai 1.724.092 ha, dengan produktivitas 820 kg/Ha dan produksi 661.243 ton. Ekspor kakao tahun 2015 mencapai 350.730 ton (senilai US$ 1.316.867.000). “Namun demikian dengan terbukanya pasar bebas, kita tidak akan bisa berpangku tangan mengandalkan produk kita tanpa upaya peningkatan daya saing kakao dengan memperhatikan tuntutan konsumen. Biji kakao Indonesia masih dikenal memiliki mutu yang rendah, (kadar kotoran, benda asing (filth), jamur, bakteri (salmonella) masih tinggi atau kerusakan fisik serta ukuran tidak seragam). Oleh karena itu, selain terus melakukan upaya peningkatan produksi, dan produktivitas kakao, pemerintah juga melakukan upaya peningkatan mutu kakao Indonesia, “ katanya.
Dijelaskan lebih lanjut, Indonesia merupakan produsen karet ke-2 terbesar di dunia dengan produksi pada tahun 2015 (angka sementara BPS) mencapai 3,1 juta ton dari total Luas kebun karet mencapai 3,62 juta Ha. Bahan olah karet yang selanjutnya disebut BOKAR adalah lateks dan atau gumpalan yang dihasilkan pekebun kemudian diolah lebih lanjut secara sederhana sehingga menjadi bentuk lain yang bersifat lebih tahan untuk disimpan serta tidak tercampur dengan kontaminan.
Bokar yang dihasilkan oleh petani kualitasnya banyak yang dibawah standar, hal ini disebabkan petani mencampur BOKAR dengan bahan pengotor seperti tanah, pupuk, lumpur, pasir, karet vulkanis, dan bahan pengotor lain yang bertujuan untuk menambah berat BOKAR, selain itu umumnya petani belum melaksanakan pemakaian asam semut atau penggumpal yang direkomendasikan. Kondisi pasar juga mempengaruhi terciptanya BOKAR bermutu rendah karena selisih harga yang ditawarkan pedagang dan prosesor terhadap mutu BOKAR standar dan mutu rendah masih kurang menarik, hal ini terlihat dari harga yang ditetapkan hampir sama. Mutu BOKAR yang dihasilkan tersebut erat kaitannya dengan harga BOKAR di tingkat petani yang secara langsung akan berpengaruh terhadap pendapatan petani. “Oleh karena itu, untuk memperbaiki kualitas bokar pemerintah telah menyusun Peraturan Menteri Pertanian No. 38 Tahun 2008 tentang pedoman pengolahan dan pemasaran bokar yang diikuti oleh keluarnya Peraturan Menteri Perdagangan No 53 tahun 2009 tentang Pengawasan Mutu Bahan Olahan Komoditi Ekspor Standard Indonesia Rubber yang Diperdagangkan, “ kata Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan