KEMENTERIAN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

Ekspor Teh Rempah: Varian Indonesia Aromatic Tea Kian Marak Diminati

Diposting     Jumat, 26 Juni 2020 09:06 pm    Oleh    ditjenbun



JAKARTA – Ditengah pandemik Covid-19 ini, masyarakat tentunya dituntut untuk selalu menjaga kondisi daya tahan tubuh, baik dengan mengkonsumsi makanan maupun minuman bergizi dan sehat.

Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo saat menghadiri webinar menuju new normal pada Jumat lalu (05/06) mengatakan, Dengan terjadinya Covid-19 ini kita semakin menyadari bahwa pertanian tidak boleh lagi diolah dengan cara yang biasa. Harus ada inovasi dan ide-ide kreatif dalam mengelola pertanian. Dimana penerapan inovasi menjadi bagian dari terobosan yang dilakukan untuk meningkatkan daya saing untuk mendukung ekspor produk-produk pertanian.

Sejalan dengan arahan Menteri Pertanian, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Kasdi Subagyono, mengapresiasi berbagai inovasi olahan produk perkebunan oleh para produsen baik untuk memenuhi kebutuhan konsumen dan bersaing di pasar baik lokal maupun global. Untuk itu perlunya mendorong diversifikasi produk yang diminati pasar tujuan ekspor.

Siapa yang tak kenal teh dan jeruk, tahukah bahwa apabila teh dikolaborasikan dengan jeruk dapat sangat berkhasiat bagi tubuh ?

Menurut owner Arafah Tea, Orange-Tea bisa membantu menjaga imun atau daya tahan tubuh kita terhadap Covid-19. Kandungan Orange-Tea adalah kolaborasi antara greentea yang mengandung antioksidan, dengan jeruk kaya akan vitamin C, ditambah dengan lemongrass, maka sinergi ini apabila diminum di pagi hari dapat melindungi tubuh dari virus.

“Pada bulan Juli ini, Arafah Tea akan mengirimkan 4 (empat) jenis teh rempah yaitu orange tea, cinnamon tea, pandan tea, dan herbs tea ke Negeri Sembilan di Malaysia, dimana masing-masing sebanyak 1 ton,” kata Ifah Syarifah pemilik Arafah Tea saat di hubungi oleh Ditjen Perkebunan (22/06).

Ditengah pandemik ini, Menurut Ifah, Pekebun tetap berupaya agar produksi tetap berjalan namun tak dapat dipungkiri jumlahnya berkurang karena para pemetiknya digilir ketika memetiknya. Yang biasanya 2 ton kering sekarang hanya 1 ton kering. Selain itu, selama covid ini penjualan hanya melalui online aja.

Hal yang sama dikemukakan Direktur Pengolahan & Pemasaran Hasil Perkebunan, Dedi Junaedi bahwa “Untuk menuju new normal kita harus persiapkan strategi-strategi mumpuni untuk meningkatkan ekspor. Disaat pembatasan fisik di berbagai Negara, perlu melihat peluang pemanfaatan Platform Digital Marketing (PDM). Produk yang dipasarkan melalui PDM harus produk-produk dengan kualitas baik dan terstandar. Selain itu kita siapkan dan kita jaga jaringan pasar dengan para buyer melalui trust, konsistensi dan kontinuitas,” ujarnya.


Bagikan Artikel Ini  

Pentingnya Hilirisasi Komoditas Lada

Diposting     Jumat, 19 Juni 2020 08:06 am    Oleh    ditjenbun



JAKARTA – Tak dapat dipungkiri bahwa Pandemik Covid-19 turut mempengaruhi pelambatan perdagangan komoditas perkebunan terutama masalah dinamika harga. Pada Mei lalu tercatat harga lada putih sebesar Rp. 46.360 per kg dan lada hitam Rp. 25.900 per kg. Dedy junaedi, Direktur Pengolahan dan pemasaran hasil perkebunan mengatakan beberapa sentra produksi lada Babel, Lampung, Sulsel dll mengalami fluktuasi harga ditingkat domestik. Pada tahun 2016 lada pernah mencapai masa jaya hingga 150rb/kg. Namun ditengah pandemik ini harga lada pun terkena dampaknya. Dinamika harga ini dialami hampir semua komoditas perkebunan.

Lanjut dedy, Tentunya saat ini, Pemerintah tidak tinggal diam, Kementerian Pertanian tetap berupaya, salah satunya dengan menyiapkan langkah-langkah antisipatif seperti mendorong penyerapan dalam negeri, membuka akses pasar di negara-negara non tradisional dan beberapa kebijakan di sektor hulu diantaranya fasilitasi bantuan pengembangan lada melalui bantuan benih dan saprodi. Perlu sinergitas yg kuat antara pemerintah pusat, daerah, pelaku usaha dan industri utk menjawab persoalan tersebut.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Perkebunan menyikapi persoalan harga lada ini dengan mendorong penguatan kelembagaan petani. “Pada dasarnya kelembagaan petani menjadi salah satu solusi dalam posisi tawar petani terhadap dinamika harga, tentunya kelembagaan dengan menjalin kemitraan yang kuat dengan industri/pelaku usaha,” kata Kasdi Subagyono Direktur Jenderal Perkebunan pada keterangan tertulisnya (17/06). Harga yang kompetitif, Lanjut Kasdi, akan terbentuk karena adanya mutu yang dihasilkan oleh petani berdasarkan standar yang ada.

“Terkait harga lada yang menurun dapat diatasi, salah satunya dengan meningkatkan produktivitas, tentunya dengan inovasi teknologi pemeliharaan, intensifikasi, GAP, dan lainnya,” tambahnya. Berdasarkan data Ditjen Perkebunan, diketahui bahwa produktivitas lada nasional rata-rata mencapai sebanyak 500 kg/ha.  “Dengan provitas naik, maka bisa mengatasi tingginya biaya faktor produksi di penanaman lada ditengah harga lada yang fluktuatif. Selain itu, pemerintah mendorong integrasi tanaman Lada dengan ternak (pemanfaatan tajar hidup dari lamtoro untuk pakan ternak) dan tanaman pangan lainnya sehingga bisa membantu pemasukan petani,” ujarnya.

Kasdi menekankan bahwa, Penting untuk hilirisasi komoditas lada, tidak hanya menjual lada utuh tetapi lada bubuk dengan nilai tambah tinggi. Bantuan alat pengolahan juga telah pemerintah fasilitasi. Fasilitasi pemda juga perlu didorong, Lanjut Kasdi, untuk mengatur distribusi dan tataniaga lada di sentra produksi. Dapat juga memanfaatkan fasilitasi Sistem Resi Gudang (SRG) dari Commodity Futures Trading Regulatory Agency (BAPPEBTI) atau sistem tunda jual saat panen raya, stock melimpah dan harga belum remuneratif. “Selain itu peran penyuluhan dan penguatan kelembagaan petani melalui kemitraan usaha dengan industri turut menjadi faktor penting dalam akselerasi pengembangan sosial ekonomi petani,” katanya.


Bagikan Artikel Ini  

Dimasa Pandemik Covid19, Kopi Gayo Serambi Mekah tetap Kuasai Pasar Amerika Serikat

Diposting     Rabu, 17 Juni 2020 10:06 am    Oleh    ditjenbun



Rasanya Indonesia patut berbangga manakala kopi Indonesia terutama kopi arabika Gayo Aceh sangat diminati pasar Amerika dan sebagian Eropa. Pada awal masa pandemic, pasar Amerika sangat dibatasi karena meningkatnya jumlah kasus positif covid19 sehingga banyak kopi gayo yang tertunda pengirimannya tetapi saat ini salahsatu pelaku usaha kopi gayo aceh yaitu Koperasi Pedagang Kopi (Kopepi) Ketiara yang bertempat di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah mulai dapat masuk ekspor ke pasar Amerika dan Eropa.
Menurut Rahmah, Ketua Kopepi Ketiara, pada bulan Juni-Juli 2020, pihaknya mengekspor Kopi arabika dari Dataran Tinggi Gayo (DTG) ke negara tujuan Amerika dan Eropa sekitar 20 container (volume 18-19,2 ton per container) dengan perkiraan nilai ekspor sekitar Rp.1,5 Milyar -1.6 Milyar per Container. Tetapi beberapa negara di Kawasan Eropa masih belum membuka kran impor kopi gayo Aceh seperti Inggris dan Prancis. Kedepan kami terus berkomunikasi dengan buyer-buyer di Eropa untuk dapat mengirimkan kopi gayo tersebut.
Direktur Jenderal Perkebunan, Kasdi Subagyono, mengapresiasi akselerasi ekspor kopi Gayo yang dilakukan Kopepi Ketiara Aceh ini karena bagaimanapun pasar Amerika dan Eropa merupakan pasar penting untuk ekspor komoditas perkebunan Indonesia terutama kopi. Hal yang menarik justru terjadi di pasar Amerika dan Eropa karena ditengah Pandemic Covid19 ini, berbagai Café hampir semua tertutup tetapi masih banyak permintaan kopi untuk tujuan Amerika dan Eropa. Justru pandemic ini merubah pola konsumsi sebagian besar masyarakat Amerika dan Eropa dari konsumsi skala café menjadi konsumsi rumahan. Peluang ini harus tetap kita tangkap, tentunya dengan didukung oleh kelancaran sarana distribusi nya terutama memanfaatkan platform online/ ecommerce.

Kasdi Subagyono menambahkan, sebagaimana data BPS diolah Ditjen. Perkebunan bahwa ekspor kopi Indonesia ke Uni Eropa periode Januari hingga April 2020 sebesar 26,9 ribu ton atau senilai USD 58,9 juta. Dari volume ekspor tersebut 93% ekspor kopi Indonesia ke negara Italia, Spanyol, Belgia dan Jerman. Sedangkan ekspor ke Amerika pada periode yang sama sebesar 20,7 ribu ton atau senilai USD 83,8 juta.

Dalam keterangan penutupnya, Dirjen. Perkebunan mengatakan Ditjen. Perkebunan terus mendorong akselerasi peningkatan ekspor komoditas perkebunan seperti yang ditargetkan Menteri Pertanian untuk peningkatan ekspor 3 kali lipat (Gratieks) hingga tahun 2024 melalui berbagai kebijakan dalam peningkatan produksi, nilai tambah dan daya saing.

Ditempat terpisah, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, Dedi Junaedi menambahkan bahwa selain pasar-pasar tradisional kopi Indonesia seperti Amerika Serikat dan Eropa, juga bisa kita jajaki pasar-pasar non tradisional lain yang selama ini dikuasai oleh kopi asal Brazil, Vietnam dan Kolombia. Indonesia memiliki keunggulan agroekosistem yang sangat kaya sehingga dari berbagai daerah di Indonesia muncul kopi-kopi spesialty dengan cita rasa dan aroma yang berbeda. Tentunya harus kita dorong bagaimana menyesuaikan dengan selera, standarisasi dan kebutuhan negara Buyer. Ditambah lagi peningkatan nilai tambah produk kopi dan perlu memanfaatkan peluang-peluang dari perundingan PTA, FTA dan CEPA untuk meningkatkan akses pasar kopi Indonesia ke negara-negara yang terlibat perundingan tersebut, tentunya dengan kesepakatan preferensial tarif yang sama-sama menguntungkan keduabelah pihak.


Bagikan Artikel Ini  

Kementerian Pertanian Tetap Berupaya Dorong Kualitas Produksi Karet

Diposting     Senin, 15 Juni 2020 12:06 pm    Oleh    ditjenbun



JAKARTA – Salah satu komoditas perkebunan yaitu karet tak dapat dipungkiri tak lepas menjadi sorotan karena tantangan pada harga karet yang menjadi dilema para pekebun karet. Mengatasi tantangan karet ini tentunya tidaklah mudah, namun Pemerintah khususnya dalam hal ini Kementerian Pertanian tetap terus berupaya mengatasi tantangan karet ini dengan harapan harga karet dapat semakin membaik kedepannya dan dapat mensejahterakan pekebun. Harga karet ditentukan oleh pasar dunia (pasar global) sehingga dapat sangat berfluktuatif, dengan pengalaman beberapa tahun belakang relatif cenderung menurun yang disebabkan beberapa tantangan, antara lain kelebihan suplai di pasar ekspor, mengingat terdapat sejumlah negara baru yang menjadi eksportir karet. Sebelumnya produksi karet alam dunia hanya berasal dari negara penghasil karet alam terbesar yaitu Thailand, Indonesia, dan Malaysia. Kemudian, beberapa negara produsen baru muncul belakangan seperti Vietnam, India, Myanmar, Laos, dan Kamboja.

Seperti yang diketahui bahwa negara Cina sebagai negara importir karet terbesar saat ini sedang mengalami permasalahan ekonomi sehingga turut berdampak pada harga karet tersebut. Ditambah dengan adanya pandemi covid-19 yang melanda hampir seluruh belahan negara di dunia awal tahun ini yang mengakibatkan adanya kebijakan dari masing-masing negara untuk membatasi penyebarannya, salah satunya pembatasan ekspor – impor.  “Pemerintah memberikan perhatian yang sangat besar untuk menangani kondisi karet saat ini, dengan membuat kebijakan, diantaranya peningkatan konsumsi karet dalam negeri yang mengkhususkan untuk penyerapan bokar dari petani. Disamping itu juga, kualitas bokar yang dihasilkan petani merupakan salah satu faktor penentu harga, dan diupayakan agar sistem pemasarannya dapat dilakukan secara berkelompok untuk memutus rantai pemasaran yang panjang,” kata Kasdi Subagyono pada keterangan tertulis (08/06).

Kasdi menambahkan, Untuk solusi jangka pendek petani dapat melakukan penanaman tanaman sela/tumpang sari dengan tanaman pangan atau tanaman pekebunan lain yang bernilai ekonomis, sehingga kebun karetnya lebih terpelihara yang secara tidak langsung akan meningkatkan produksi tanaman pokok (karet) dan sebagai subtitusi penambahan pendapatan.  “Pemerintah terus berupaya mengatasi tantangan karet dan meningkatkan harga karet, antara lain salah satunya dengan penguatan kelembagaan petani karet melalui Unit Pengolahan dan Pemasaran Bahan Olah Karet Rakyat/Bolkar (UPPB) untuk meningkatkan kualitas karet rakyat dan mekanisme pembelian karet rakyat melalui UPPB serta meningkatkan harga karet alam petani. UPPB juga menghasilkan bokar sesuai dengan baku mutu yang dipersyaratkan oleh industri crumb rubber,” tambahnya.

Berdasarkan data Ditjen Perkebunan diketahui bahwa pada 2019 UPPB sudah terbentuk 498 unit, dan sudah teregistrasi 353 unit. Pengembangan pasar lelang karet di sentra – sentra karet untuk kepastian harga yang lebih wajar serta memperpendek rantai pemasaran antara petani karet dengan pembeli. Tak hanya itu, Lanjutnya, mendorong peran lembaga penelitian untuk menghasilkan diversifikasi olahan karet alam seperti canal blocking, seismic bearing, dock fender, bantalan rel kereta api, paving block, bantalan embung, peralatan medis dan lain sebagainya.

“Mendorong penyerapan karet alam melalui program rubberized road, Mendorong kemitraan langsung dengan industri pengolahan karet dan mendorong penerapan harga insentif bagi petani karet, serta Mendorong konsolidasi dan kerjasama negara produsen dan konsumen karet dalam forum ITRC (terutama dalam implementasi Agreed Export Tonnage Scheme / AETS) dan ANRPC,” tambahnya. Penyerapan karet untuk kebutuhan dalam negeri, seperti untuk campuran aspal jalan, kanal di lahan gambut, dan lainnya,serta bantuan alsintan untuk pengolahan bokar.


Bagikan Artikel Ini  

Rebut Pasar Teh Hijau Maroko Melalui Indonesian Green Tea Incorporated

Diposting     Jumat, 05 Juni 2020 01:06 pm    Oleh    ditjenbun



Jakarta – Indonesia berpeluang meningkatkan volume ekspor teh hijau ke Maroko. Hal tersebut mengemuka pada Rapat Koordinasi Peningkatan Akses Pasar Teh Hijau Indonesia ke Maroko, Kamis (28/5) lalu. Pihak Maroko telah menyatakan keinginannya manjajaki pasokan teh hijau dari Indonesia. Peluang ini terbuka menyusul berkurangnya pasokan teh hijau dari Tiongkok akibat pandemi Corona-19.

Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, Kementerian Pertanian, Dedi Junaedi mengatakan keinginan Maroko mencari pemasok teh hijau dari Indonesia merupakan peluang yang perlu dimanfaatkan ditengah menurunnya industri teh nasional dalam beberapa tahun terakhir. “Ini dapat dijadikan momentum kebangkitan teh nasional,” ujarnya.

Menurut Dedi, Indonesia memiliki kapasitas produksi teh yang cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan ekspor. Tercatat produksi teh Indonesia tahun 2019 sebesar 137,8 ribu ton pada areal 108,75 hektar dengan produktivitas rata-rata mencapai 1,6 ton/ hektar/ tahun. Meski demikian, lanjut Dedi, kapasitas industri pengolahan teh hijau Indonesia masih terbatas.

Untuk itu, lanjut Dedi, diperlukan strategi berupa konsolidasi industri teh nasional dengan membangun Indonesian Green Tea Incorporation. “Mekanisme incorporate ini berfungsi semacam joint venture_yang akan menampung produk teh hijau, baik dari petani langsung maupun perusahaan. Teh mempunyai standard yang seragam, konsiten, melakukan proses blending, packing, marketing dan ekspor teh Indonesia dengan bentuk satu merk atau _brand,” paparnya.

Untuk mendukung ide tersebut, Direktur Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung, Dadan Rohdiana, mengatakan sudah mempersiapkan jenis-jenis klon teh hijau dari varietas sinensis dengan produktivitas diatas 1,8 ton per hektar sehingga dapat dikembangkan untuk penetrasi ekspor ke Maroko. “Saat ini yang sudah siap seperti klon GMBS 1-5 (2009),” terangnya.

Pada kesempatan yang berbeda, Direktur Jenderal Perkebunan, Kasdi Subagyono mengatakan perlu mendorong diversifikasi produk yang diminati pasar tujuan ekspor, termasuk pengolahan teh hijau yang sesuai gradenya dengan standar Maroko. Perlu penetapan Rencana Aksi baik jangka pendek, menengah hingga jangka panjang yang difokuskan peningkatan produksi, daya saing dan nilai tambah komoditas teh Indonesia seperti Program replanting lahan teh petani, Riset dan inovasi dalam hal pemupukan yang sesuai serta Teknologi pemeliharaan kebun dan pengolahan yang efisien.

Selanjutnya dikatakan bahwa pemerintah menargetkan setidaknya sampai tahun 2024, Indonesia dapat menguasai 2% sampai 2,5% share market teh hijau di Maroko. Selain itu, ekspor teh hijau Indonesia diharapkan dapat memenuhi pasar produk teh ke beberapa negara di Kawasan Afrika Utara & Negara-negara di Kawasan Sahara seperti Mauritania, Mali, Chad, Niger, Burkina Faso, Senegal, Pantai Gading dengan Maroko sebagai pintu gerbangnya.

Peningkatan ekspor tersebut, lanjutnya, sesuai dengan arahan Menteri Pertanian, bahwa Program Kementerian Pertanian melalui Gerakan Ekspor 3 kali Lipat (Gratieks) hingga 2024 untuk 14 komoditas, salah satunya teh akan difokuskan dalam peningkatan ekspor, produksi, daya saing dan nilai tambah melalui kegiatan Pengembangan Logistik Benih, Modernisasi Perkebunan, Pembiayaan melalui KUR, Peningkatan Kapasitas SDM dan Optimasi Jejaring Stakeholder.

Pasokan Teh Berkurang
Berkurangnya pasokan teh ke Maroko diungkapkan Ketua Asosiasi Pengusaha Kopi dan Teh Maroko (Pen Agri), Mohammed Astaib. Menurutnya, pandemi Covid 19 membuat pasokan teh dari Tiongkok terhambat. Stok teh yang tersedia diperkirakan hanya cukup untuk 6 bulan ke depan.

Berdasarkan data yang KBRI di Rabat, jika dibandingkan data impor year on year kuartal 1 (Januari-Maret) 2019 dengan kuartal 1 (Januari-Maret) 2020, dari segi volume impor teh Maroko mengalami penurunan yang cukup signifikan dimana Volume impor kuartal 1 2020 sebesar 13 ribu ton atau mengalami penurunan 45% jika dibandingan dengan volume impor kuartal 1, 2019 yaitu sebesar 24 ribu ton.

Kebutuhan teh Maroko setiap tahunnya menurut Kuasa Usaha Ad-Interm KBRI Rabat, Hanung Nugraha mencapai sekitar 60 ribu ton. Dipenuhi melalui impor dari China sekitar 97% dan Sri Langka 1,6%. Sedangkan konsumsi teh Maroko 98%-nya dari jenis teh hijau ( Gun Powder, Saw Mee dan Chunmee ) dalam bentuk bulk .

Maroko memang dikenal memiliki budaya konsumsi teh yang cukup tinggi. Rata-rata konsumsi tehnya mencapai 1,2 kg/kapita/tahun, hampir 4 kali lipat konsumsi rata-rata Indonesia. Dengan konsumsi per kapita yang cukup tinggi tersebut menjadikan Maroko sebagai negara pengkonsumsi teh nomor 6 dunia.


Bagikan Artikel Ini